BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penegakan
hukum (Law Enforcement) senantiasa menjadi persoalan menarik banyak
pihak. Terutama karena adanya ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum
dalam harapan atau Das Sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam
kenyataan atau Das Sein. Bilamana ketimpangan interaksi terus
berlangsung, maka penegakan hukum pada umumnya kurang dapat mencerminkan wujud
keadilan yang dicita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan
suatu politik penegakan hukum sebagai upaya-upaya untuk melakukan perencanaan
pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating),
penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan
(monitoring) yang terukur terhadap kualitas produk hukum, institusi dan
aparat penegak hukum, dan budaya hukum.
Dalam
kondisi penegakan hukum parsial, maka menjadi tidak mudah membangun kepercayaan
masyarakat pada aparat penegak hukum. Membangun citra baik suatu sistem
peradilan, baik untuk urusan hukum publik maupun hukum privat atau keperdataan
secara lebih berwibawa dan terpadu sangat diperlukan. Praktek mafia peradilan
dan timbulnya campur tangan kekuasaan terhadap kemandirian peradilan, yang pada
masa lalu acapkali menjadi cermin buruk sistem peradilan di Indonesia harus
segera dihindarkan.
Kurangnya
kesadaran menerapkan sistem peradilan terpadu (an integrated justice system),
atau karena ego sektoral antara institusi penegak hukum yang ada, berakibat
masyarakat tidak mudah mempercayai adanya peradilan yang berwibawa, baik di
tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga di tingkat Kasasi,
Mahkamah Agung. Melihat persoalan hukum sangat legal formal, kurang
mau menggunakan yurisprudensi, atau karena hanya menggunakan logika berpikir
hukum kaca mata kuda merupakan penyebab utama timbulnya peradilan tidak
berwibawa.
Sistem
penegakan hukum, termasuk proses peradilan berwibawa tampak ke depan semakin
optimis. Sejak amademen UUD 1945 dilakukan, Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan institusi Negara
yang memberikan kontribusi positif pada lahirnya sistem penegakan hukum yang
berwibawa dan berkeadilan.
1.2 Rumusan masalah
1 Bagaimanakah
Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum Dilihat dari Sejarah Hukum di
Indonesia?
2 Bagaimanakah
Pembangunan Hukum Berwatak Responsif?
3 Bagaimanakah
Pradigma Baru dalam Politik Hukum?
1.3 Manfaat Penulisan
1 Mengetahui
Bagaimana Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum Dilihat dari Sejarah
Hukum di Indonesia
2 Mengetahui
Bagaimana Pembangunan Hukum Berwatak Responsif
3 Mengetahui
Pradigma Baru dalam Politik Hukum
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konfigurasi
Politik
Hukum
mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang
dan tidak akan kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu
peristiwa konkret. Peraturan hukum juga bersifat abstrak, yakni mengatur
hal-hal yang belum terkait-dengan kasus-kasus konkret. Selain itu ada yang
mengidentifikasi sifat hukum ke dalam sifat imperatif dan
fakultatif. Sifat imperatif, peraturan bersifat apriori harus ditaati,
mengikat, memaksa. Sedangkan, sifat fakultatif, peraturan hukum tidak bersifat
apriori memaksa, melainkan hanya melengkapi, subsider, dan
dispotitif. Sifat atau karakter produk hukum yang secara dikotomis
dibedakan atas hukum otonom dan hukum menindas, hukum ortodoks dan responsif.
a. Periode Demokrasi Liberal
Setelah
tanggal 7 September 1944 Pemerintah Jepang mengumumkan memberi janji
kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, yang kemudian diperjelas pada tanggal 1
Maret 1945. Kemudian dibentuk Panitia Perancang UUD yaitu BPUPKI yang diketuai
oleh Radjiman Wediodiningrat. dalam sidang I dibahas mengenai “Dasar Negara”,
karena tidak menemukan ujungnya maka dibentuk Panitia Sembilan, yang akhirnya
mencapai kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menyetujui “ The
Jacarta Charter” sebagai dasar negara. Hasil kesepakatan ini atau Modus
Vivendi diterima pada Sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945.
Selanjutnya Soekarno membentuk Panitia kecil yang diketuai “Soepomo”
untuk membuat ”Rancangan UUD” , pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI menyetujui
rancangan UUD yang telah diselesaikan panitia kecil pada tanggal 13 Juli 1945
untuk dijadikan konstitusi tertulis Negara dan rancangan UUD. Setelah rumusan
ini terselesaikan BPUPKIpun dibubarkan diganti oleh PPKI yang dibentuk pada
tanggal 7 Agustus 1945 diketuai oleh “Soekarno” dan wakilnya
“Moh. Hatta” dan 6 orang anggota. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
atas nama “Soekarno-Hatta” menyatakan kemerdekaannya, sehari setelah
Proklamasi, PPKI menggelar Sidang I yang memutuskan “Mengesahkan Pembukaan
dan Batang tubuh UUD” serta ”Memilih Presiden dan Wakil Presiden”. Sistem
pemerintahan yang dibangun adalah sistem pemerintahan yang “Demokrasi”, yang
ditegaskan Pasal 1 (2) yang berbunyi “Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawarahan Rakyat”. Hal ini juga
tersurat dalam Pasal 4 (1) yang berbunyi “Presiden menjadi Kepala Pemerintahan
dan tidak bertanggung jawab kepada DPR”, Pasal 17 yang berbunyi “Mentri
diangkat, diberhentikan,dan bertanggungjawab kepada Presiden, bukan kepada DPR,
serta Pasal 6 yang berbunyi “Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR)” (Presiden bertanggungjawab dan tunduk kepada MPR serta wajib
menjalankan putusan-putusan MPR). Dari ketiga pasal diatas menggambarkan
hubungan antar lembaga check and balance, mempunyai kekuatan yang
sama dan tidak dapat menjatuhkan satu sama lain. Dimana Presiden dipilih dan
diangkat oleh MPR yang separuh anggotanya adalah anggota DPR, sedangkan upaya
DPR untuk meminta Pertanggungjawaban Presiden dalam Sidang Istimewa MPR yang
prosedurnya tidak mudah. Akibat belum dibentuknya lembaga-lembaga Negara
konstitusional, maka pemusatan kekuasaan terletak di tangan Presiden
berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Pengalihan kekuasaan ini
menimbulkan opini bahwa Indonesia merupakan Negara fasis atau nazi yang
dipimpin olehFuhrer/Duce, sehingga munculah gerakan parlementeris.
Pada tanggal 7 Oktober lahir satu memorandum yang ditandatangani 50 orang
anggota KNIP yang isinya mendesak presiden agar mengunakan kekuasaan
istimewanya untuk segera membentuk MPR, dan sebelum MPR itu terbentuk hendaknya
anggota-anggota KNIP dianggap sebagai MPR. Menindaklanjuti
memorandum itu pada tanggal 16 Oktober 1945 KNIP mengusulkan kepada pemerintah
agar diserahi kekuasaan legislatif, kekuasaan menetapkan GBHN, dan dibentuk
BP-KNIP. Pemerintah yang diwakili Moh. Hatta menyetujuinya dengan
dikeluarkannya “Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945”. Perubahan sistem
kabinet dari Quasi Predensial ke Parlementer dengan dikeluarkannya Maklumat
pemerintah 14 November 1945, dengan ini Presiden kehilangan kedudukannya
sebagai Kepala Pemerintahan, serta Presiden hanya berfungsi sebagai Kepala
Negara atau Kepala Konstitusional. Yang sebelumnya dikeluarkan Maklumat 3
November 1945 yang berisi harapan pemerintah agar aliran-aliran dalam
masyarakat membentuk parpolnya sebelum dilangsungkan Pemilu Januari 1946.
Perubahan
ini mengakibatkan bergesernya konfigurasi Politik keaarah yang lebih
Pluralistik atau liberal, tetapi tidak diikuti dengan perubahan UUD 1945
sebagai konstitusi tertulis, hanya praktek ketatanegaraan saja.
Kedatangan
Belanda untuk melucuti tentara Jepang dan mengambil kekuasaannya kembali, pada
saat kedatangnnya Belanda menyadari darah rakyat Indonesia yang telah
berevolusi, yang tidak dapat dikalahkan dengan perang konvesional biasa, maka
Belanda melakukan Politik Pecah Belah atau devide et impera. atas rekayasa
Belanda, maka Negara Indonesia terpecah belah dari negara kesatuan (unitaris)
menjadi Negara federal (serikat). Rekayasa dilakukan bersamaan dengan Agresi
Militer I dan Agresi Militer II. Penyerangan ini menyita perhatian PBB sehingga
menawarkan kedua belah pihak untuk mengadakan KMB yang dihadiri BFO. Seperti
diketahui, karena kehendak rakyat Inndonesia susunan federasi tidak berlangsung
lama. Pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara Republik Indonesia kemnbali menjadi
Negara kesatuan dengann UUDS 1950 sebagai konnstitusi tertulisnya. Perubahan
konnstitusi ini didahului dengan penandatannganan Piagan Persetujuan antara
Republik Indonesia Serikat dengan Repunblik Indonesia pada tannggal 19 Mei 1950
yanng kemudian diberi dasar hokum dengan dikeluarkannya UU federal No. 7 Tahun
1950. Menurut Wilopo dengan berlakunya UUDS 1950, maka
secara konstitusional Indonesia mengannut system demokrasi
parlemennter pennuh baik dalam arti pemberian dasar dalam konstitusi maupun
praktik ketatanegaraannnya. Secara konsitusional penganutan atas system
parlementer dicantumkan dalam Pasal 83 yanng mennentukan bahwa Presiden dan
wakil Presiden tidak dapat digangu-gugat dalam penyelenggaraan pemerintahann,
tetapi yang harus bertanggungjawab dalam menteri-menteri, baik secara
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagian-bagiannnnya
sendiri. Secara praktis konfigurasi liberal demokratis ini ditandai oleh
dominannya parlemen dalam spectrum politik, sehingga selama kurun waktu
berlakunya UUDS 1950 yang terjadi adalah instabilitas pemerintahan karena
pemerintah serinng kali dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi. Demokrasi
liberal dengan system banyak partai yang menjadi salah satu sendi
ketatanegaraan pada periode ini telah mengalami kegagalan untuk
mengkombinasikan secara optimum dua niali, yakni jaminann dan penghargaan
terhadap hak-hak rakyat unntuk turut serta dalam proses pembuatan keputusan
denngan jalan memilih wakil-wakil secara bebas serta tingkat stabilitas politik
sebagai syarat bagi aktivitas bureaucratic power unntuk
mencapai tujuan Negara.
b. Periode
Demokrasi Terpimpin
Akibat dari instabilitas politik dan
pemerintahan yang timbul maka berakhirlah sistem politik liberal dengan
dikeluarkannya “Dekrit Presiden 5 Juli 1959” yang isinya:
1. Bubarkan
konstituante
2. Berlakukan
kembali UUD 1945 sebagai ganti UUDS 1950
Dan
digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin, dalam sistem ini Presiden dan
Angkatan Darat memiliki peran yang lebih besar dalam Politik Nasional.
Demokrasi terpimpin sangat bertolak belakang dengan Demokrasi liberal. Mantan
Wakil Presiden Moh. Hatta dan Prawoto Mangkusasmito mengatakan bahwa dekrit
Presiden merupakan Produkinkonstitusional dan merupakan coup. Dalam
Demokrasi ini diaktiri oleh tiga peran penting yakni Soekarno, Angkatan Darat,
dan PKI. Dengann dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, maka berakhirlah system
politik liberal dan digantikan oleh system demokrasi terpimpin. Lahirnya dekrit
itu mendapat dukungan utama dari Angkatan Darat maupun Presiden, angkatan Darat
mendukung pemberlakuan kembali UUD 1945 karena konstitusi tersebut memberikan
kemungkinan bagi masuknya perwakilan kepentingan dalam MPR sehinngga angkatan
Darat dapat berperann didalamnya. Sedangkan soekarno, mendukung karena dengan
diberlakukan kembali UUd 1945 membuka peluang tampilnya Kabinet Presidensial
yang kuat. Konfigurasi politik pada era demokrasi terpemimpinan ditandai oleh
tarik tambang antara tiga kekuatan politik utama, yaitu: Soekarnno, Anngkatan
Darat, PKI. Soekarno memerlukan PKI untuk mengahadapi kekuatan Angkatan Darat,
PKI memerlukan PKI untuk menndapatkan perlindungan daei presidenn dalam
melawann Angkatannn Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk
mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannnya di dalam politik. Seperti yang
tertuanng dalam Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965, mengenai pengambilan keputusan
berdasarkan “musyawarah untuk mufakat”, apabila mufakat bulat tidak dapat
dicapai, maka keputusan tenntang masalah yang dimusyawarahkan itu diserahkann
kepada pimpinan utnuk menentukannya. Tetapi mekanisnme pengambilan keputusan
dalam semua proses politik lebih didominasi oleh Soekarno. Dari uraian di atas
dapat memberikan kualifikasi bahwa konfigurasi pada era demokrasi terpimpin
adalah otoriter, sentralistik, dann di tanngan Presiden Soekarno. Afan Gahar
menyebutkan, dengan kondisi kepartaian seperti ini, maka dapat dikatakan pada
demokrasi terpimpin itu di Indonesia sebenarnya tidak ada system kepartaian.
Bahkan DPR.
yang
dibentuk melalui pemilu 1955 dibubarkan oleh presiden pada tahun 1960, Karena
menolak rancangan APBN yang dibuat oleh pemerintah. Melaui Penpres No. 4 Tahun
1960 membentuk DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Soekarno. Berbalik denngann
posisi DPR dan partai-partai posisi eksekutif pada era demokrasi terpimpin
sangat kuat. Gagasan-gagasan politiknya menggunakan Dewan Pertimbangann Agung
dimana dalam UUD 1945 merupakan council of state. Dewan yang
sederajat dengan eksekutif dan diberi peran besar dalam bidang pemerintahan
serta berwenang mutlak memberikan pertimbangan lebih dulu bagi setiap rancangan
UU yang akan disampaikan oleh DPR dipimpin oleh Soekarno.
c. Era Orde Baru
Kondisi
ekonomi sangat parah dan kondisi politik memanas karena adanya persaingan
politik antara PKI dan TNI AD. Puncaknya terjadi peristiwa G 30 S/PKI.
Akibatnya kehidupan berbangsa mengalami kekacauan, oleh karena itu untuk
memulihkan keadaan, Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah
Sebelas Maret) yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil
tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan
serta keselamatan pribadi presiden. Sejak gerakan PKI berhasil ditumpas,
Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI, pada tanggal 26
Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya
mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam
kondisi ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mendatangi DPR-GR dan mengajukan
Tritura yang isinya:
1. pembubaran
PKI,
2. pembubaran
kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI,
3. penurunan
harga.
Kedudukan
Supersemar secara hukum semakin kuat setelah dilegalkan melalui Ketetapan MPRS
No. IX/ MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Sebagai pengemban dan pemegang
Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah strategis
berikut.
1. Pada
tanggal 12 Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan
membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya.
2. Pada
tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam G 30
S/PKI.
3.
Membersihkan MPRS dan DPR serta
lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh PKI dan unsur-unsur komunis.
Ketika
pemerintahan orde baru ini naik ke pentas politik nasional, Negara Indonesia
sedang menghadapi krisis luar bias di bidang politik dan ekonomi. Pemerintah
orde baru bertekad mengoreksi penyimpangan politik yang terjadi pada era orde
lama dengan pemulihan tata tertib politik berdasarkann pancasila sekaligus
meletakkan program rehabilitasi dan konnsolidasi ekonomi dengan asas Trilogi
Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
Pada
masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil
dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada
Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi.
3.
Stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis.
Pembangunan
nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional
disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30
tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 –
1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan
tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian.
Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima
tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu
meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang
untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor
industri.
Dalam
membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping
mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan
kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan
penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai
kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya
dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi
tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga
ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu
bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa
Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan
IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah
yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru
tahun 1998.
B. Produk
Hukum Dilihat dari Sejarah Hukum di Indonesia
Selama
masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali
yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde
Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara
tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan
pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu
mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi
tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di
MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden
Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap
Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.Pembangunan Hukum Berwatak Responsif
Semua
konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesiasecara resmi mencantumkan
“Demokrasi” sebagai salah satu asas kenegaraannya. Akan tetapi, tidak semua
rezim yang tampil di pentas politk menjalankan roda pemerintahannya.
Spesifikasi perkembangan politik di Indonesia dapat dilihat mulai:
Perkembangan
karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan
konfigurasi politik. Konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk
hukum yang dilahirkan cenderung responsif/populistik. Sedangkan ketika
konfigurasi politik bergeser ke sisi otoriter, maka produk hukum yang lahir
lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis. Setiap produk hukum
merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya.
Pradigma
Baru dalam Politik Hukum
Karena
hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika
konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Pada saat, konfigurasi politik
tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya
berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara
otoriter, hukum-hukum yang dilahirkan berkarakter ortodaks. Semakin kental
muatan hukum dengan masalah hukum kekuasaan, semakin kuat pula pengaruh
konfigurasi politik terhadap hukum tersebut.
Perubahan
berbagai undang-undang yang merupakan produk politik Orde Baru ke Reformasi
dimana produk politik yang bebas dari asumsi-asumsi serta penghilangan atas
kekerasan-kekerasan politik yang menandakan digulingkannya pemerintahan
Soeharto, dimana pada saat Orde Baru pemikiran dari produk hukum bersifat
apatis dan tidak memihak rakyat, pemikiran idealis dan pragmatis pun ditolak
karena dapat membahayakan kelanggengan kekuasaan pemimpin [2]. Pergantian segala bentuk Undang-Undang
yang mencerminkan Orde Baru,terlihat dari:
1.
Digantinya UU tentang Partai Politik
dan Golongan Karya menjadi UU tentang Kepartaian;
2.
UU tentang Pemilu dibongkar dengan
menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden;
3.
Perombakan UU tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPRD menjadi sejalan dengan perubahan UU tentang pemilu;
4.
UU tentang Pemerintahan Daerah
diganti dari yang semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi
berasas otonomi luas, dari yang secara politik sentralistik menjadi
desentralistik;
5.
Pencabutan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP);
6.
Penghapusan Dwifungsi ABRI,
TNI dipisahkan dari Polri;
7.
Penghapusan Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4);
8.
Kekuasaan Kehakiman disatuatapkan,
dll
Pasca
Reformasi 1998, perubahan tidak hanya menyentuh Undang-Undang tetapi juga
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Amademen 1945 mengubah hubungan antar lembaga Negara dari yang
vertical-struktural menjadi horizontal-fungsional sehingga tidak ada lagi
lembaga tertinggi di Negara. MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi di
Negara diturunkan derajatnya menjadi lembaga Negara biasa yang sejajar dengan
lembaga Negara lainnya yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK,dan Komisi
Yudisial [3]. TAP MPR yang sebelumnya dikenal sebagai
peraturan (regeling) perundang-undangan yang kedudukannya berada di
bawah UUD, kini kedudukannya digantikan oleh UU/ Perpu, sedangkan kedudukannya
sendiri hanya bersifat penetapan (beschikking)
Perubahan
UUD 1945 merupakan agenda atau produk utama reformasi. Sistem politik yang
otoriter menyebabkan terjadinya krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia.
Dari beragam sistem politik yang ada di Indonesia sistem demokrasi hanya
terjadi pada periode 1945-1959.
Pada
awal kemerdekaan 1945 berlaku UUD 1945, tetapi demokrasi berkembang setelah UUD
1945 “Tidak Diberlakukan” , dengan dikeluarkannya Maklumat No. X Tahun
1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945. Yang
kemudian disusul dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Oktober 1945 yang
menyangkut sistem pemerintahan, serta dengan diberlakukannya dua UUD yakni,
Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Amademen atau perubahan UUD 1945 dilandaskan pada
konstitusi sebagai resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat
sesuai keadaan politik, ekonomi, social, dan budaya sebagaimana dikemukakan
oleh KC Wheare. Hal ini secara khusus tersirat dalam pernyataan Bung Karno
dalam Pidato (lisan), serta tersurat dalam UUD 1945, yakni Aturan Tambahan
Butir (1) dan Butir (2) yang berbunyi:
1.
Dalam enam bulan setelah berakhirnya
peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan
segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
2.
Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyawarahan
Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Jika
kita ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang
harus dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik.[6] Hukum yang responsif tidak mungkin
lahir di dalam sistem politik yang otoriter. Dalam mengaktualisasi sistem yang
demokratis perlu diperhatikan dua hal, yaitu:
1.
Sistem demokrasi yang telah
dikukuhkan melalui amademen konstitusi haruslah diikuti dengan moralitas serta
diwujudkan oleh penyelenggara Negara.
2.
UUD yang merupakan produk
kesepakatan (resultante) tidak boleh bersifat tertutup, melainkan bersifat
pragmatis menerima segala perubahan yang bersifat positif yang sebelumnya
didahulukan dengan kesepakatan baru. Meskipun demikian UUD dirancang dengan
muatan isi yang mendasar dan abstrak-umum dan prosedur yang tidak mudah,
perubahan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat penting.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem
pemerintahan pada saat proklamasi yang dilandasi UUD 1945 mencerminkan bahwa
Indonesia menganut sistem pemerintahan yang demokrasi. Semua konstitusi yang
berlaku sejak Indonesia merdeka secara eksplisit menyebutkan “Demokrasi”
sebagai salah satu prinsip yang fundamental, tetapi dalam praktiknnya yang
tampil tidaklah selalu demokratis. Karakter produk hukum senantiasa berubah
sejalann dengann perkembangan konfigurasi politik meskipunn kualifikasinya
tidaklah eksak.
No.
|
Tahun
|
Periode
|
Konfigurasi
Politik
|
Kecenderungan
Karakter Produk Hukum
|
||
Pemilu
|
Pemda
|
Agraria
|
||||
1
|
1945-1959
|
Demokrasi
Liberal
|
Demokratis
|
Responsif
|
Responsif
|
Responsif
|
2
|
1959-1966
|
Demokrasi
Terpimpin
|
Otoriter
|
-
|
Ortodoks/konservatif/elitis
|
R Responsif
(dengan alasan tertentu)
|
3
|
1966-1998
|
Orde Baru
|
Otoriter
|
Ortodoks/konservatif/elitis
|
Ortodoks/konservatif/elitis
|
Ortodoks/konservatif/elitis
(parsial)
|
Konfigurasi
politik tampil secara demokratis, maka produk hukum yang dilahirkan cenderung
responsif/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi
otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter
konservatif/ortodoks/elitis.
Perubahan
UUD 1945 merupakan agenda atau produk utama reformasi. Sistem politik yang
otoriter menyebabkan terjadinya krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia.
Jika kita ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama
yang harus dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik. Hukum
yang responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem politik yang otoriter
B. Saran
Kematangan
mengenai Prinsip dan landasan merupakan modal awal untuk membentuk suatu Negara
agar tidak gampang untuk dipropaganda. Landasan fundamental yang belum kuat
serta keinginan atas kekuasaan mengakibatkan terpecah belahnya Rakyat
Indonesia. Jadi apapun bentuknya kematangan dari sebuah dasar, serta tidak
adanya campur tangan antara jabatan dengan kelobaan akan kekuasaan merupakan
cermin dari keberhasilan pemerintahan dan produk hukum yang sejatinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Moh. Mafhud M. D.,2010, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Uraian dalam bentuk tabel lihat dalam Moh. Mafhud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA
Produk politik pada jaman Orde Baru secara gamblang menggambarkan bahwa“hukum
sebagai produk politik”, dimana
hukum sangat ditentukan oleh produk politik. Semangat Reformasi 1998 mengarah
kepada kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan penataan kelembagaan Negara
yang berprinsip saling mengawasi dan mengimbangi, menjadi dasar amademen
(perubahan) terhadap UUD 1945.
Regeling (peraturan) bersifat Umum-Abstrak,
sedangkan Beschikking (penetapan) bersifat Konkret-Individual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar