Senin, 25 Mei 2015

Politik Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penegakan hukum (Law Enforcement) senantiasa menjadi persoalan menarik banyak pihak. Terutama karena adanya ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau Das Sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan atau Das Sein. Bilamana ketimpangan interaksi terus berlangsung, maka penegakan hukum pada umumnya kurang dapat mencerminkan wujud keadilan yang dicita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan suatu politik penegakan hukum sebagai upaya-upaya untuk melakukan perencanaan pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating), penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan (monitoring) yang terukur terhadap kualitas produk hukum, institusi dan aparat penegak hukum, dan budaya hukum.
Dalam kondisi penegakan hukum parsial, maka menjadi tidak mudah membangun kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum. Membangun citra baik suatu sistem peradilan, baik untuk urusan hukum publik maupun hukum privat atau keperdataan secara lebih berwibawa dan terpadu sangat diperlukan. Praktek mafia peradilan dan timbulnya campur tangan kekuasaan terhadap kemandirian peradilan, yang pada masa lalu acapkali menjadi cermin buruk sistem peradilan di Indonesia harus segera dihindarkan.
Kurangnya kesadaran menerapkan sistem peradilan terpadu (an integrated justice system), atau karena ego sektoral antara institusi penegak hukum yang ada, berakibat masyarakat tidak mudah mempercayai adanya peradilan yang berwibawa, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung. Melihat persoalan hukum sangat legal formal, kurang mau menggunakan yurisprudensi, atau karena hanya menggunakan logika berpikir hukum kaca mata kuda merupakan penyebab utama timbulnya peradilan tidak berwibawa.
Sistem penegakan hukum, termasuk proses peradilan berwibawa tampak ke depan semakin optimis. Sejak amademen UUD 1945 dilakukan, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan institusi Negara yang memberikan kontribusi positif pada lahirnya sistem penegakan hukum yang berwibawa dan berkeadilan.

 1.2 Rumusan masalah
1    Bagaimanakah Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum Dilihat dari Sejarah Hukum di Indonesia?
2    Bagaimanakah Pembangunan Hukum Berwatak Responsif?
3    Bagaimanakah Pradigma Baru dalam Politik Hukum?

1.3 Manfaat Penulisan
1    Mengetahui Bagaimana Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum Dilihat dari Sejarah Hukum di Indonesia
2    Mengetahui Bagaimana Pembangunan Hukum Berwatak Responsif
3    Mengetahui Pradigma Baru dalam Politik Hukum


  
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Konfigurasi Politik
Hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akan kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga bersifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait-dengan kasus-kasus konkret. Selain itu ada yang mengidentifikasi sifat hukum ke dalam sifat imperatif dan fakultatif. Sifat imperatif, peraturan bersifat apriori harus ditaati, mengikat, memaksa. Sedangkan, sifat fakultatif, peraturan hukum tidak bersifat apriori memaksa, melainkan hanya melengkapi, subsider, dan dispotitif. Sifat atau karakter produk hukum yang secara dikotomis dibedakan atas hukum otonom dan hukum menindas, hukum ortodoks dan responsif.
a.  Periode Demokrasi Liberal
Setelah tanggal 7 September 1944 Pemerintah Jepang mengumumkan memberi janji kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, yang kemudian diperjelas pada tanggal 1 Maret 1945. Kemudian dibentuk Panitia Perancang UUD yaitu BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat. dalam sidang I dibahas mengenai “Dasar Negara”, karena tidak menemukan ujungnya maka dibentuk Panitia Sembilan, yang akhirnya mencapai kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menyetujui “ The Jacarta Charter” sebagai dasar negara. Hasil kesepakatan ini atau Modus Vivendi diterima pada Sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Selanjutnya Soekarno membentuk Panitia kecil yang diketuai “Soepomo” untuk membuat ”Rancangan UUD” , pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI menyetujui rancangan UUD yang telah diselesaikan panitia kecil pada tanggal 13 Juli 1945 untuk dijadikan konstitusi tertulis Negara dan rancangan UUD. Setelah rumusan ini terselesaikan BPUPKIpun dibubarkan diganti oleh PPKI yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 diketuai oleh  “Soekarno” dan wakilnya “Moh. Hatta” dan 6 orang anggota. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia atas nama “Soekarno-Hatta” menyatakan kemerdekaannya, sehari setelah Proklamasi, PPKI menggelar Sidang I yang memutuskan “Mengesahkan Pembukaan dan Batang tubuh UUD” serta ”Memilih Presiden dan Wakil Presiden”. Sistem pemerintahan yang dibangun adalah sistem pemerintahan yang “Demokrasi”, yang ditegaskan Pasal 1 (2) yang berbunyi “Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawarahan Rakyat”. Hal ini juga tersurat dalam Pasal 4 (1) yang berbunyi “Presiden menjadi Kepala Pemerintahan dan tidak bertanggung jawab kepada DPR”, Pasal 17 yang berbunyi “Mentri diangkat, diberhentikan,dan bertanggungjawab kepada Presiden, bukan kepada DPR, serta Pasal 6 yang berbunyi “Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)” (Presiden bertanggungjawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR). Dari ketiga pasal diatas menggambarkan hubungan antar lembaga check and balance, mempunyai kekuatan yang sama dan tidak dapat menjatuhkan satu sama lain. Dimana Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR yang separuh anggotanya adalah anggota DPR, sedangkan upaya DPR untuk meminta Pertanggungjawaban Presiden dalam Sidang Istimewa MPR yang prosedurnya tidak mudah. Akibat belum dibentuknya lembaga-lembaga Negara konstitusional, maka pemusatan kekuasaan terletak di tangan Presiden berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Pengalihan kekuasaan ini menimbulkan opini bahwa Indonesia merupakan Negara fasis atau nazi yang dipimpin olehFuhrer/Duce, sehingga munculah gerakan parlementeris. Pada tanggal 7 Oktober lahir satu memorandum yang ditandatangani 50 orang anggota KNIP yang isinya mendesak presiden agar mengunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR, dan sebelum MPR itu terbentuk hendaknya anggota-anggota  KNIP dianggap sebagai MPR. Menindaklanjuti memorandum itu pada tanggal 16 Oktober 1945 KNIP mengusulkan kepada pemerintah agar diserahi kekuasaan legislatif, kekuasaan menetapkan GBHN, dan dibentuk BP-KNIP. Pemerintah yang diwakili Moh. Hatta menyetujuinya dengan dikeluarkannya “Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945”. Perubahan sistem kabinet dari Quasi Predensial ke Parlementer dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah 14 November 1945, dengan ini Presiden kehilangan kedudukannya sebagai Kepala Pemerintahan, serta Presiden hanya berfungsi sebagai Kepala Negara atau Kepala Konstitusional. Yang sebelumnya dikeluarkan Maklumat 3 November 1945 yang berisi harapan pemerintah agar aliran-aliran dalam masyarakat membentuk parpolnya sebelum dilangsungkan Pemilu Januari 1946.
Perubahan ini mengakibatkan bergesernya konfigurasi Politik keaarah yang lebih Pluralistik atau liberal, tetapi tidak diikuti dengan perubahan UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, hanya praktek ketatanegaraan saja.
Kedatangan Belanda untuk melucuti tentara Jepang dan mengambil kekuasaannya kembali, pada saat kedatangnnya Belanda menyadari darah rakyat Indonesia yang telah berevolusi, yang tidak dapat dikalahkan dengan perang konvesional biasa, maka Belanda melakukan Politik Pecah Belah atau devide et impera. atas rekayasa Belanda, maka Negara Indonesia terpecah belah dari negara kesatuan (unitaris) menjadi Negara federal (serikat). Rekayasa dilakukan bersamaan dengan Agresi Militer I dan Agresi Militer II. Penyerangan ini menyita perhatian PBB sehingga menawarkan kedua belah pihak untuk mengadakan KMB yang dihadiri BFO. Seperti diketahui, karena kehendak rakyat Inndonesia susunan federasi tidak berlangsung lama. Pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara Republik Indonesia kemnbali menjadi Negara kesatuan dengann UUDS 1950 sebagai konnstitusi tertulisnya. Perubahan konnstitusi ini didahului dengan penandatannganan Piagan Persetujuan antara Republik Indonesia Serikat dengan Repunblik Indonesia pada tannggal 19 Mei 1950 yanng kemudian diberi dasar hokum dengan dikeluarkannya UU federal No. 7 Tahun 1950. Menurut Wilopo dengan berlakunya UUDS 1950, maka secara  konstitusional Indonesia mengannut system demokrasi parlemennter pennuh baik dalam arti pemberian dasar dalam konstitusi maupun praktik ketatanegaraannnya. Secara konsitusional penganutan atas system parlementer dicantumkan dalam Pasal 83 yanng mennentukan bahwa Presiden dan wakil Presiden tidak dapat digangu-gugat dalam penyelenggaraan pemerintahann, tetapi yang harus bertanggungjawab dalam menteri-menteri, baik secara bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagian-bagiannnnya sendiri. Secara praktis konfigurasi liberal demokratis ini ditandai oleh dominannya parlemen dalam spectrum politik, sehingga selama kurun waktu berlakunya UUDS 1950 yang terjadi adalah instabilitas pemerintahan karena pemerintah serinng kali dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi. Demokrasi liberal dengan system banyak partai yang menjadi salah satu sendi ketatanegaraan pada periode ini telah mengalami kegagalan untuk mengkombinasikan secara optimum dua niali, yakni jaminann dan penghargaan terhadap hak-hak rakyat unntuk turut serta dalam proses pembuatan keputusan denngan jalan memilih wakil-wakil secara bebas serta tingkat stabilitas politik sebagai syarat bagi aktivitas bureaucratic power unntuk mencapai tujuan Negara.
b.      Periode Demokrasi Terpimpin
Akibat dari instabilitas politik dan pemerintahan yang timbul maka berakhirlah sistem politik liberal dengan dikeluarkannya “Dekrit Presiden 5 Juli 1959” yang isinya:
1.      Bubarkan konstituante
2.      Berlakukan kembali UUD 1945 sebagai ganti UUDS 1950
Dan digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin, dalam sistem ini Presiden dan Angkatan Darat memiliki peran yang lebih besar dalam Politik Nasional. Demokrasi terpimpin sangat bertolak belakang dengan Demokrasi liberal. Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta dan Prawoto Mangkusasmito mengatakan bahwa dekrit Presiden merupakan Produkinkonstitusional dan merupakan coup. Dalam Demokrasi ini diaktiri oleh tiga peran penting yakni Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Dengann dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, maka berakhirlah system politik liberal dan digantikan oleh system demokrasi terpimpin. Lahirnya dekrit itu mendapat dukungan utama dari Angkatan Darat maupun Presiden, angkatan Darat mendukung pemberlakuan kembali UUD 1945 karena konstitusi tersebut memberikan kemungkinan bagi masuknya perwakilan kepentingan dalam MPR sehinngga angkatan Darat dapat berperann didalamnya. Sedangkan soekarno, mendukung karena dengan diberlakukan kembali UUd 1945 membuka peluang tampilnya Kabinet Presidensial yang kuat. Konfigurasi politik pada era demokrasi terpemimpinan ditandai oleh tarik tambang antara tiga kekuatan politik utama, yaitu: Soekarnno, Anngkatan Darat, PKI. Soekarno memerlukan PKI untuk mengahadapi kekuatan Angkatan Darat, PKI memerlukan PKI untuk menndapatkan perlindungan daei presidenn dalam melawann Angkatannn Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannnya di dalam politik. Seperti yang tertuanng dalam Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965, mengenai pengambilan keputusan berdasarkan “musyawarah untuk mufakat”, apabila mufakat bulat tidak dapat dicapai, maka keputusan tenntang masalah yang dimusyawarahkan itu diserahkann kepada pimpinan utnuk menentukannya. Tetapi mekanisnme pengambilan keputusan dalam semua proses politik lebih didominasi oleh Soekarno. Dari uraian di atas dapat memberikan kualifikasi bahwa konfigurasi pada era demokrasi terpimpin adalah otoriter, sentralistik, dann di tanngan Presiden Soekarno. Afan Gahar menyebutkan, dengan kondisi kepartaian seperti ini, maka dapat dikatakan pada demokrasi terpimpin itu di Indonesia sebenarnya tidak ada system kepartaian. Bahkan DPR.
yang dibentuk melalui pemilu 1955 dibubarkan oleh presiden pada tahun 1960, Karena menolak rancangan APBN yang dibuat oleh pemerintah. Melaui Penpres No. 4 Tahun 1960 membentuk DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Soekarno. Berbalik denngann posisi DPR dan partai-partai posisi eksekutif pada era demokrasi terpimpin sangat kuat. Gagasan-gagasan politiknya menggunakan Dewan Pertimbangann Agung dimana dalam UUD 1945 merupakan council of state. Dewan yang sederajat dengan eksekutif dan diberi peran besar dalam bidang pemerintahan serta berwenang mutlak memberikan pertimbangan lebih dulu bagi setiap rancangan UU yang akan disampaikan oleh DPR dipimpin oleh Soekarno.
c.  Era Orde Baru
Kondisi ekonomi sangat parah dan kondisi politik memanas karena adanya persaingan politik antara PKI dan TNI AD. Puncaknya terjadi peristiwa G 30 S/PKI. Akibatnya kehidupan berbangsa mengalami kekacauan, oleh karena itu untuk memulihkan keadaan, Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden. Sejak gerakan PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI, pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mendatangi DPR-GR dan mengajukan Tritura yang isinya:
1.      pembubaran PKI,
2.      pembubaran kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI,
3.      penurunan harga.

Kedudukan Supersemar secara hukum semakin kuat setelah dilegalkan melalui Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Sebagai pengemban dan pemegang Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah strategis berikut.
1.    Pada tanggal 12 Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya.
2.    Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam G 30 S/PKI.
3.    Membersihkan MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh PKI dan unsur-unsur komunis.
Ketika pemerintahan orde baru ini naik ke pentas politik nasional, Negara Indonesia sedang menghadapi krisis luar bias di bidang politik dan ekonomi. Pemerintah orde baru bertekad mengoreksi penyimpangan politik yang terjadi pada era orde lama dengan pemulihan tata tertib politik berdasarkann pancasila sekaligus meletakkan program rehabilitasi dan konnsolidasi ekonomi dengan asas Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan
Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.    Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.     Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri.
Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.

B.  Produk Hukum Dilihat dari Sejarah Hukum di Indonesia
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.Pembangunan Hukum Berwatak Responsif
Semua konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesiasecara resmi mencantumkan “Demokrasi” sebagai salah satu asas kenegaraannya. Akan tetapi, tidak semua rezim yang tampil di pentas politk menjalankan roda pemerintahannya. Spesifikasi perkembangan politik di Indonesia dapat dilihat mulai:
Perkembangan karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk hukum yang dilahirkan cenderung responsif/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis. Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya.
Pradigma Baru dalam Politik Hukum
Karena hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Pada saat, konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkan berkarakter ortodaks. Semakin kental muatan hukum dengan masalah hukum kekuasaan, semakin kuat pula pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum tersebut.
Perubahan berbagai undang-undang yang merupakan produk politik Orde Baru ke Reformasi dimana produk politik yang bebas dari asumsi-asumsi serta penghilangan atas kekerasan-kekerasan politik yang menandakan digulingkannya pemerintahan Soeharto, dimana pada saat Orde Baru pemikiran dari produk hukum bersifat apatis dan tidak memihak rakyat, pemikiran idealis dan pragmatis pun ditolak karena dapat membahayakan kelanggengan kekuasaan pemimpin [2]. Pergantian segala bentuk Undang-Undang yang mencerminkan Orde Baru,terlihat dari:
1.    Digantinya UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya menjadi UU tentang Kepartaian;
2.    UU tentang Pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden;
3.    Perombakan UU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD menjadi sejalan dengan perubahan UU tentang pemilu;
4.    UU tentang Pemerintahan Daerah diganti dari yang semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi berasas otonomi luas, dari yang secara politik sentralistik menjadi desentralistik;
5.     Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP);
6.     Penghapusan Dwifungsi ABRI, TNI dipisahkan dari Polri;
7.     Penghapusan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4);
8.    Kekuasaan Kehakiman disatuatapkan, dll
Pasca Reformasi 1998, perubahan tidak hanya menyentuh Undang-Undang tetapi juga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Amademen 1945 mengubah hubungan antar lembaga Negara dari yang vertical-struktural menjadi horizontal-fungsional sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi di Negara. MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi di Negara diturunkan derajatnya menjadi lembaga Negara biasa yang sejajar dengan lembaga Negara lainnya yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK,dan Komisi Yudisial [3]. TAP MPR yang sebelumnya dikenal sebagai peraturan (regeling) perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah UUD, kini kedudukannya digantikan oleh UU/ Perpu, sedangkan kedudukannya sendiri hanya bersifat penetapan (beschikking
Perubahan UUD 1945 merupakan agenda atau produk utama reformasi. Sistem politik yang otoriter menyebabkan terjadinya krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia. Dari beragam sistem politik yang ada di Indonesia sistem demokrasi hanya terjadi pada periode 1945-1959. 
Pada awal kemerdekaan 1945 berlaku UUD 1945, tetapi demokrasi berkembang setelah UUD 1945 “Tidak Diberlakukan” , dengan dikeluarkannya Maklumat No. X Tahun 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945. Yang kemudian disusul dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Oktober 1945 yang menyangkut sistem pemerintahan, serta dengan diberlakukannya dua UUD yakni, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Amademen atau perubahan UUD 1945 dilandaskan pada konstitusi sebagai resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai keadaan politik, ekonomi, social, dan budaya sebagaimana dikemukakan oleh KC Wheare. Hal ini secara khusus tersirat dalam pernyataan Bung Karno dalam Pidato (lisan), serta tersurat dalam UUD 1945, yakni Aturan Tambahan Butir (1) dan Butir (2) yang berbunyi:
1.    Dalam enam bulan setelah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
2.    Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyawarahan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Jika kita ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik.[6] Hukum yang responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem politik yang otoriter. Dalam mengaktualisasi sistem yang demokratis perlu diperhatikan dua hal, yaitu:
1.    Sistem demokrasi yang telah dikukuhkan melalui amademen konstitusi haruslah diikuti dengan moralitas serta diwujudkan oleh penyelenggara Negara.
2.    UUD  yang merupakan produk kesepakatan (resultante) tidak boleh bersifat tertutup, melainkan bersifat pragmatis menerima segala perubahan yang bersifat positif yang sebelumnya didahulukan dengan kesepakatan baru. Meskipun demikian UUD dirancang dengan muatan isi yang mendasar dan abstrak-umum dan prosedur yang tidak mudah, perubahan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat penting.



BAB III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Sistem pemerintahan pada saat proklamasi yang dilandasi UUD 1945 mencerminkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan yang demokrasi. Semua konstitusi yang berlaku sejak Indonesia merdeka secara eksplisit menyebutkan “Demokrasi” sebagai salah satu prinsip yang fundamental, tetapi dalam praktiknnya yang tampil tidaklah selalu demokratis. Karakter produk hukum senantiasa berubah sejalann dengann perkembangan konfigurasi politik meskipunn kualifikasinya tidaklah eksak.

No.
Tahun
Periode
Konfigurasi Politik
Kecenderungan Karakter Produk Hukum
Pemilu
Pemda
Agraria
1
1945-1959
Demokrasi Liberal
Demokratis
Responsif
Responsif
Responsif
2
1959-1966
Demokrasi Terpimpin
Otoriter
-
Ortodoks/konservatif/elitis
R   Responsif (dengan alasan tertentu)
3
1966-1998
Orde Baru
Otoriter
Ortodoks/konservatif/elitis
Ortodoks/konservatif/elitis
Ortodoks/konservatif/elitis (parsial)

Konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk hukum yang dilahirkan cenderung responsif/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.

Perubahan UUD 1945 merupakan agenda atau produk utama reformasi. Sistem politik yang otoriter menyebabkan terjadinya krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia. Jika kita ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik. Hukum yang responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem politik yang otoriter
B.     Saran
Kematangan mengenai Prinsip dan landasan merupakan modal awal untuk membentuk suatu Negara agar tidak gampang untuk dipropaganda. Landasan fundamental yang belum kuat serta keinginan atas kekuasaan mengakibatkan terpecah belahnya Rakyat Indonesia. Jadi apapun bentuknya kematangan dari sebuah dasar, serta tidak adanya campur tangan antara jabatan dengan kelobaan akan kekuasaan merupakan cermin dari keberhasilan pemerintahan dan produk hukum yang sejatinya.



DAFTAR PUSTAKA

Moh. Mafhud M. D.,2010, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Uraian dalam bentuk  tabel lihat dalam  Moh. Mafhud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Produk politik pada jaman Orde Baru secara gamblang menggambarkan bahwa“hukum sebagai produk politik”, dimana hukum sangat ditentukan oleh produk politik. Semangat Reformasi 1998 mengarah kepada kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan penataan kelembagaan Negara yang berprinsip saling mengawasi dan mengimbangi, menjadi dasar amademen (perubahan) terhadap UUD 1945.
Regeling (peraturan) bersifat Umum-Abstrak, sedangkan Beschikking (penetapan) bersifat Konkret-Individual



Tidak ada komentar:

Posting Komentar