BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum, dimana tatanan hukum
yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan
cita hukum yang dianut dalam masyarakat diberbagai perangkat aturan hukum
positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan
masyarakat). Paham Negara Hukum Indonesia mendudukan kepentingan orang perorang
secara seimbang dengan kepentingan umum. Negara mengakui hak dan kewajiban
asasi warga negara serta membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan
terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai.
Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang
memerukan ikut sertanya semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti
ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud
kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia ialah dengan cara mempergunakan
hukum sebagai alatnya. Dengan kata lain hukum hukum dipakai sebagai sarana
untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya dibidang agraria.
Pada jaman kolonial tujuan politik hukum pemerintah
penjajah jelas berorientasi pada kepentingan penguasa sendiri. Sedang politik
hukum indonesia, dalam hal ini politik hukum agraria nasional merupakan alat
bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera, bahagia, adil dan makmur.
Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik
hukum agraria nasional memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum
adat dijadikan dasar dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional.
Pengambilan hukum adat sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena
hukum adat merupakan hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian
besar masyarakat indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang
mengandung kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat
pluralistis hukum adat itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu
harus dicari dan dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan
sistem hukunya. Hal inilah dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pembentukan
hukum agraria nasional.
Pembahasan mengenai struktur hukum tanah nasional tidak
dapat dilepaskan dari fakta sejarah tentang perkembangan hukum agraria di
Indonesia pernah mengalami jaman penjajahan yang secara langsung ataupun tidak
langsung mempengaruhi perkembangan hukumnya. Secara garis besar sejarah hukum
agraria dikelompokkan menjadi dua yaitu pada jaman sebelum berlakunya
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian
berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian
berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang
pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal
maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari
memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih
primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan
warga masih belum serasi.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut
menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap
demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana
juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang
lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk
menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan,
yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu
sendiri.
Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria
dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu
yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan
untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk
mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari
Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke
dalam undang-undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55.
Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang
dikeluarkan tahun 1870.
1.2 Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan makalah saya ini adalah :
Menjelaskan proses perkembangan politik hukum agraria di
Indonesia yang sebelumnya dikenal pada jaman kolonial Belanda sebelum
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria atau sering disebut dengan masyarakat
lokal hukum adat dan hukum barat serta menjelaskan perkembangan berlakunya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria dari
jaman kolonial hingga era reformasi.
1.3 Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan penulisan makalah saya sebagai
berikut :
1.
Memberikan pengertian hukum agraria
2.
Menjelaskan reformasi hukum agraria yang telah mengalami
berbagai perubahan dari masa kolonial sampai pada reformasi sekarang
3.
Memberi informasi bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi
masyarakat dalam bidang pertanahan yang kadang kala menuju pada konflik
pertanahan yang dapat merugikan dan jatuhnya korban jiwa seperti yang telah
terjadi sebelumnya.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan makalah saya ini yaitu :
Memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat akan
pentingnya penataan kepemilikan tanah baik secara hukum adat maupun oleh badan
pertanahan nasional yang seharusnya menjadi tugas penting keterlipatan
stakeholder dan seluruh elemen masyarakat banyak untuk menghindari konflik
pertanahan secara horizontal maupun vertikal yang dapat merusak moral bangsa
ini maka dari pada itu seharusnya pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan
masyarakat harus lebih tanggap dalam hal pertanahan baik secara daerah maupun
nasional.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
PENGERTIAN DAN LINGKUP
HUKUM AGRARIA
Sebelum membahas tentang definisi Hukum Agraria tidak ada
salahnya kita pahami terlebih dahulu definsi hukum dan fungsinya secara umum.
Ada berbagai pendapat yang berbeda mengenai definisi hukum dari masing-masing
pakar hukum yang diakibatkan oleh sebuah kenyataan bahwa ternyata kita tidak
mungkin mendefinisikan hukum secara tepat, disamping itu sudut pandang yang
digunakan untuk menelaah hukum juga berbeda-beda. Hukum merupakan objek ilmu
hukum di mana berbeda dengan objek ilmu-ilmu lain yang lebih eksak dan memiliki
sifat abstrak.
2.1 PENGERTIAN
HUKUM
Menurut Friedman hukum berada di awing-awang, tidak
tampak dan tidak terasa bahkan biasanya selembut udara dalam sentuhan normal.
Hukum adalah sebuah kata dengan banyak arti, selicin kaca, segesit gelembung
sabun. Hukum adalah konsep, abstraksi, konstruksi sosial dan bahkan objek nyata
di dunia sekitar kita.
Menurut Black menyatakan bahwa “law is government social
control” hukum merupakan pengendalian sosial pemerintah, yang merupakan legislasi,
litigasi, dan ajudikasi. Balack membedakan antara perilaku yang dikendalikan
oleh bentuk pengendalian sosial lainnya seperti sopan santun, adat istiadat dan
birokrasi.
Menrut Hugo Grotius (1583-1645) menyatakan bahwa hukum
adalah suatu aturan moral yang sesuai dengan apa yang benar.
Menurut Thomas Hobbes (1588-1645) menyatakan bahwa civil
law adalah perintah-perintah hukum yang didukung oleh kekuasaan tertinggi
negara itu, mengenai tindakan-tindakan oleh kekuasaan negara itu. Mengenai
tindakan-tindakan dimasa akan datang yang akan dilakukan oleh subjeknya.
Menurut Prof. Padmo Wahyono, SH menyatakan pengertian
hukum adalah alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau
ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan
sosial.
2.2 PENGERTIAN
AGRARIA DAN HUKUM AGRARIA
1. Pengertian agraria dalam bahasa umum
Dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang
tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanahan. Dalam kamus besar
bahasa indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga
urusan pemilikan tanah. Sebagai kata sifat agraris dipergunakan untuk membedkan
corak kehidupan ekonomi masyarakat pertanian di pedesaan dengan masyarakat
non-agraris diperkotaan.
2. Pengertian agraria dilikungan Administrasi Pemerintah:
perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi
penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan.
3. Pengertian agraria dalam UUPA
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria tidak memberikan batasan secara tegas pengertian agraria,
tetapi istilah agraria ditemukan diberbagai bidang ketentuan dalam UU tersebut
yaitu : Konsideran huruf a21 dan penjelasan UU22.
Dari beberapa rumusan ini maka dapat disimpulkan :
a.
Kata agraris dipergunakan untuk menggambarkan corak
kehidupan dari susunan kehidupan, termasuk perekonomian rakyat indonesia.
b.
Materi yang diatur menyangkut pengelolahan bumi, air,
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
c.
Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah, hak guna
air, pemeliharaan dan penangkapan ikan serta hak guna ruang angkasa.
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa
yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah
ini.
Menurut Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah
keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang
mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh
wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan
tersebut.
Menurut Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum
agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji
hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang
meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan
atas hutan dan hasil hutan; Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit,
hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah. Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4
ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4
ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan
tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang
lebih tinggi.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada awal penjajahan Belanda, tanah tidak diatur secara
sistematis. Barulah pada masa penjajah Inggris, tanah untuk pertama kali
diatur. Penjajah Inggris di bawah Stamford Raffles (1811) membentuk Komisi
McKenzie untuk menelaah masalah agraria dan merekomendasi cara untuk
memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi ini menetapkan bahwa seluruh tanah hanya
dimiliki raja atau pemerintah. Ketika Belanda kembali menjajah menggantikan
Inggris, pada 1830 diperkenalkan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Seperlima
dari tanah petani harus menanam tanaman yang telah ditentukan pemerintah
kolonial Belanda, antara lain: tembakau, tebu, teh, kopi dan berbagai tanaman
untuk ekspor. Pada masa ini, pihak swasta Belanda memperjuangkan hak milik
tanah pribumi (eigendom). Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet yang mengatur
tentang tanah hak milik mutlak (eigendom) bagi pribumi dan tanah negara. Masa
ini sering disebut sebagai periode liberal (1870-1900). Sejak itu modal swasta
Belanda dan Eropa masuk ke sektor perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Mereka
menyewa tanah rakyat dengan skala tak terbatas. Pengelolaan liberal ini justru
membuat petani hanya menjadi buruh tani, sementara raja-raja cenderung memberi
konsesi lahan kepada pihak asing. Berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Di
masa penjajahan Jepang, banyak perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani
malah diwajibkan membayar pajak hingga 40% dari hasil produksi.
3.1 Hukum Agraria Kolonial.
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hukum agraria
Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum
diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2. Hukum Agraria
nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat
diketahui beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d,
sebagai berikut :
1.Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan
semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme,
dengan berlakunya hukum adat di samping
hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial
beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum
tahun 1870.
a. Pada masa
VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan
perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda
kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali
pajak hasil dan kerja rodi. Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang
sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain;
1).
Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada
penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil
pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2). Verplichte
leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni
dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan
pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan
ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa
atas apa yang mereka hasilkan.
3).
Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
b. Masa
Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan
tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya
itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina,
Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah
partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan
corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya
hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke
rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya.
a. Hak untuk
mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepala-kepala
kampung/desa;
b. Hak untuk
menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;
c. Hak untuk
mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari
penduduk;
d. Hak untuk
mendirikan pasar-pasar;
e. Hak untuk
memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f. Hak untuk
mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan
tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
3. Masa Pemerintahan Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah
kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini
setiap tanah dikenakan pahaj bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan
tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik
raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan
telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah
pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja
Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat
itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib
memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan
kepada raja mereka sendiri. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak
tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani
pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi
kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan
perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna
memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut
penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu
membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan
dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang
mengatur tentang pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa.
Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus
dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang
sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah
yang boleh dikuasai seseorang.
4.Masa Pemerintahan Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch
menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau
Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam
suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung
dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut
diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan
bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga
kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu
satu tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan
pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di
samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang
cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah
dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada
waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa
adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk
membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta
agar dapat berkembang di Hindi Belanda. Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a.
Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar
dengan jalan.
1.
Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht
yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.
2.
Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat.
b.
Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1.
Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2.
Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah
baru (Agrarische eigendom). Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih
lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische
Besluit.
3.
Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik
hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan
beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di
Indonesia. Kaitannya dengan pemberlakuan
hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum
pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk
Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi
golongan penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal
163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni
1.
Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;
2.
Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing
Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti
Arab, India, dan lain-lain;
3.
Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli
yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang
beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala
golongan warga negara seperti yang sudah diuraikan di atas :
1. Untuk bangsa
Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku
di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup
dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan
masyarakat.
2. Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari
Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-udang
Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan
pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit
penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang
mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi
mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand tersendiri.
Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena
hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana
halnya hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan
berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang
bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang
pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum
tertulis. Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa
hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan menurut
ketentuan-ketentuan hukum adatnya masing-masing. Demikian pula dengan kalangan
orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan adalah hukum yang
berlaku untuk golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum antara orang-orang pribumi
dan orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar Golongan
atau hukum intergentiel. Dalam peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul
pertanyaan hukum mana yang berlaku. Pertanyaan itu timbul karena pemerintah
Hindia Belanda menganut apayang disebut asas persamaan derajat atau persamaan
penghargaan bagi stelse-stelsel hukum yang
berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat
golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya yang
superior atau dihargai lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam menyelesaikan
peristiwa hukum antar golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu
yang harus diberlakukan. Perihal
peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah
Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa. Dalam
buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang
dikenal yaitu :
1) Tanah
eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas
tanah tersebut;
2) Tanah hak
opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang dapat berbentuk
rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak opstal tersebut
memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada pemegang haknya juga
diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a).
Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b). Dapat
dijadikan jaminan utang;
c). Dapat
diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya
menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat
diusahakan/mengolah tanah orang lain dan menarik atau hasil yang
sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan pemegang hak erfacht
hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4) Tanah hak
gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
4. Sesudah Tahun 1942.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang
cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan
kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan
akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha pengembalian
kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan
fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas
kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum
agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah
setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal,
bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah
mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak
persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik,
hak yayasan;
4) Hak pakai;
2) Hak wenang
pilih, hak mendahulu; 5)
Hak imbal jabatan;
3) Hak
menikmati hasil;
6) Hak wenang beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak
terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah
dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai
pembuktian hak.
3.2. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan
bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan
tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat
yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat
berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas
negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh
rakyat dengan melakukan hal-hal berikut:
a.
Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh
semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu
cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan
produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah
perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha
pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
b.
Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah
pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan
air.
c.
Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah
menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban
umum.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh
rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan
tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan
pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1.
Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan
Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2.
Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan
Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3.
Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan
Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4.
Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah
milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
3.3 Masa kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, pemerintahan Soekarno – Hatta sudah
memberi perhatian pada masalah agraria. Pemerintah membentuk Panitia Agraria
berdasarkan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Panitia Agraria ini diketuai
Sarimin Reksodihardjo. Tugasnya adalah memberi usulan dan pemikiran untuk
membuat Undang-Undang Agraria menggantikan UU Kolonial. Inilah cikal bakal
lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
sering disingkat UUPA. Lahirnya UUPA ini melalui proses yang panjang dengan
berganti Panitia Agraria. Mulai dari Panitia Agraria Jogja (1948), kemudian
Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1956), Rancangan Soenario (1958),
sampai dengan Rancangan Sadjarwo (1960). Proses panjang ini tidak lepas dari
persoalan negara baru yang menyesuaikan berbagai aturan. Di samping itu terjadi
pula perdebatan filosofis dan teknis tentang arah UUPA. Namun, semua rancangan
UUPA itu sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan pada rakyat dan petani.
Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di bawah Soewahjo Soemodilogo berhasil
menyusun Rancangan Undang-Undang
pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani
berupa tanah, dengan maksud ada pembagian hasil yang adil pula. Tidak dapat
dipungkiri bahwa UUPA, seperti kata Presiden Soekarno, adalah tonggak untuk
mengikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan agar rakyat
tani dapat membebaskan diri dari berbagai macam penghisapan manusia atas
manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung Karno menyebut, “Land-reform adalah
bagian mutlak dari Revolusi kita.” Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan
Presiden RI No. 169 Tahun 1963, tanggal 24
September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari
Tani. Sayangnya pada masa Orde Lama, UUPA ini tidak sempat dilaksanakan dalam
kehidupan masyarakat.
3.4 Masa Orde Baru dan Reformasi
Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi perubahan haluan
dan orientasi pembangunan. Prioritasnya adalah stabilisasi ekonomi, pembangunan
basis industri, penciptaan lapangan kerja, dan yang tak kalah penting adalah
swasembada pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk “kotak”. Namun, seiring
dengan maraknya kasus sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta Menteri Riset Prof.
Soemitro Djojohadikusumo membentuk sebuah tim untuk mengkaji masalah
pertanahan. Hasilnya, pada 1979, pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960 tetap
sah sebagai panduan dasar menyelesaikan persoalan pertanahan. Pada 1981,
pemerintah mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi masyarakat ekononi
lemah. Program sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun,
implementasi UUPA itu sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah Orde Baru
terlanjur mengandalkan Revolusi Hijau dan Trilogi Pembangunan tanpa Reforma
Agraria. Pasca Orde Baru, ada upaya untuk melaksanakan dan menyempurnakan UUPA
dengan lahirnya Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir dari MPR hasil Pemilu pertama di
era reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu merupakan produk reformasi yang
sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Sama seperti pemerintahan sebelumnya,
pemerintahan pasca Orde Baru juga belum melaksanakan amanah Tap MPR itu.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan
adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi pecerahan
kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui oleh
SK Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional.
Dimana masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang
secara tegas diatur dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai titik awal
dasar politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai warga negara sangat
merindukan upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham
konstitusionalisme yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha
mewujudkan keadilan agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi
yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,
kekayaan alam dan wilayah hidup warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya
hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap
tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.
4.2 SARAN
Kesemua
hal ini selayaknya dijadikan alas bagi kehadiran upaya-upaya dan
sungguh-sungguh mengerjakan dan membentuk kembali birokrasi agraria dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial yang harus ditempatkan seiring sejalan dengan
upaya sungguh-sungguh mengubah posisi rakyat miskin pedesaan dari penduduk
menjadi warga negara serta menjamin hak-hak atas kepunyaan kepemilikan tanah
milik rakyat dalam hal ini diberikan kemudahan dari Badan Pertanahan Nasional
untuk mendata serta mengeluarkan sertifat tanah warga negara dengan harga
terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik
Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.
John Gilissen ,
Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung, 2005
Lili Rasjidi dan
B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994
W. Friedmann,
Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan
(susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Boedi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Urip Santoso,
Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama
Cet. Ke-2 2005.
Djuhaendah Hasan,
Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada
Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya,
Bandung, 1996
Urip Santoso,
Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet.
Ke-2, 2005
Boedi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999