Jumat, 19 September 2014

segelintir sejarah bagian dari perjalanan hidupku


EKSISTENSI VONIS HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TIDAK PIDANA KORUPSI

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG

Kedaulatan hukum Indonesia bersumber pada Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum. Hal ini tergambar jelas dalam konstitusi sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (3) yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, ketentuan ini  mengindikasikan  bahwa hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang memuat premis yang mendahuluinya disebut “central organ”. Perwujudan pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu.[1]
Reformasi hukum di Indonesia merupakan jargon yang kian hari kian santer disuarakan dalam rangka melakukan perbaikan hukum baik dalam arti pembangunan hukum (building of law) maupun pembinaan hukum[2], dalam hal ini baik dalam arti semua kegiatan yang mengarah pada pembaharuan hukum dalam makna penciptaan dan penyempurnamaan peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara dan menumbuhkan semua kegiatan hukum.
Kemudian Bagir Manan mengajukan suatu pemikiran bahwa perbaikan hukum di Indonesia lebih tepat dimulai dari sistem hukum itu sendiri, apa yang dimaksud dengan reformasi hukum menurutnya adalah reformasi hukum secara menyeluruh.
Sementara itu sistem menurut Campbel adalah “suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang konples atau utuh”[3]. Campbell juga menyatakan bahwa sistem adalah himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. Akhirnya Shrode dan Voich, menyimpulkan bahwa berdasarkan definis-definisi tentang sistem yang ada, maka unsur-unsur suatu sistem adalah: (1) himpunan bagian-bagian, (2) bagian-bagian itu saling berkaitan, (3) masing-masing bagian bekerja sercara mandiri dan bersama-sama, satu sama lain saling mendukung, (4)semuanya ditujukan pada pencapaian tujuan bersama atau tujuan sistem, dan (5)terjadi di dalam lingkungan yang rumit atau kompleks.[4]
Disebutkan oleh Lawrence M.Friedman, bahwa sistem hukum merupakan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Bila dilihat sebagai sistem tersendiri, maka sistem hukum terdiri dari: (1) Substansi Hukum ,(2) Struktur Hukum, dan (3) Budaya Hukum(legal culture)[5]
Pemahaman itu menunjukkan, bahwa penegakan hukum itu terletak pada aktivitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aktivitas  penegakan hukum ini terletak pada upaya yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan norma-norma yuridis. Mewujudkan norma berarti menerapkan aturan yang ada untuk menjerat atau menjaring siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum.
Kemudian kalau berbicara penegakan hukum pada tindak pidana korupsi, penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak pidana korupsi harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu, akan tetapi mayoritas kasus korupsi banyak yang divonis sangat tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan sehingga tidak ada efek jera bagi koruptor, ada beberapa vonis hakim yang sangat tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan salah satunya: M. Nazaruddin divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda 200 juta, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terbukti bersalah. Meski putusan pemidanaan terhadapnya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Putusan majelis hakim Tipikor masih sangat mengecewakan.
Majelis hakim yang diketuai Darmawati Ningsih, memutus terdakwa terbukti menerima suap 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah, terkait proyek pembangunan wisma atlet. Hukuman buat M. Nazaruddin ringan dari tuntutan Jaksa yakni 7 tahun penjara.
Vonis untuk terdakwa M Nazaruddin dinilai belum memenuhi azas manfaat jika berkaca pada biaya yang telah dikeluarkan negara mulai dari proses penyelidikan hingga saat ini. Untuk itu, penanganan berbagai kasus yang diduga melibatkan Nazaruddin lainnya diharapkan dapat memenuhi azas tersebut.
Padahal, menurut  Aboe Bakar Habsy, Kapoksi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Komisi III DPR, menegakkan hukum selain harus memperhatikan aspek kepastian hukum, harus pula memperhatikan aspek kemanfaatan. Sementara pada putusan kasus Nazaruddin semangat itu tidak terlihat[6]. Ia juga  menanggapi vonis untuk Nazaruddin yakni penjara empat tahun 10 bulan ditambah denda Rp 200 juta terkait kasus suap proyek wisma atlet SEA Games yang diberikan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terlalu rendah.
Tidak hanya itu, Aboe Bakar juga mengingatkan biaya proses pemulangan Nazaruddin dari Kolombia ke Indonesia yang begitu besar. Misalnya carter pesawat butuh Rp 4 miliar. Belum lagi ongkos pengejaran yang berlangsung hingga berbulan-bulan. Ini menunjukkan bahwa penanganan perkara Nazaruddin hanya berat diongkos. Meski tak sesuai dengan keinginan masyarakat, penanganan perkara korupsi harus menyelesaikan persoalan kerugian negara. Menjadi aneh jika justru kegiatan peradilan yang dilakukan membuat kita tekor. Gimana tidak ironis!
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengaku kecewa terhadap vonis M. Nazaruddin. Menurutnya, vonis tersebut tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.   Vonis yang terbilang ringan untuk kasus korupsi besar dalam sejarah Indonesia. Seharusnya tuntutan dan putusan yang dijatuhkan sebanding dengan kualitas perbuatannya.[7]
Tersangka kasus suap cek pelawat Nunun Nurbaeti Divonis 2 tahun 6 bulan serta denda Rp 150 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Putusan ini lebih rendah dari tunutan JPU KPK yaitu empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara[8]
Dalam kasus lain Mohammad El Idris dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap pembangunan wisma atlet untuk SEA Games ke-26 di Palembang. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama (2) tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp200  juta subsidair 6 bulan kurungan. Putusan ini sebagai mana disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim, Suwidya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor[9].
Menurut hakim, Idris terbukti melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 huruf b UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.  Putusan pidana penjara dalam persidangan kali ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yaitu 3 tahun 6 bulan. Sedangkan pidana dendanya bertambah dari Rp150 juta menjadi Rp200 juta. Majelis hakim menjelaskan kalau Idris terbukti memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara berupa cek kepada Seskemenpora Wafid Muharram sebesar Rp3,28 miliar dan mantan anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nazaruddin sebesar Rp4,34 miliar. [10]
Terlepas dari otoritas hakim di pengadilan untuk menentukan fakta yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menetapkan putusan, hakimpun semestinya memperhatikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat yang sudah tentu merasa terluka dengan putusan yang begitu ringannya terhadap terdakwa kasus pengemplang uang negara, dan atau rakyat itu.
Sebagaimana seringkali terjadi di negeri ini, seorang terdakwa tindak pidana kasus pencurian seekor ayam saja divonis dengan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan vonis terhadap Nazaruddin sekarang ini. Padahal pencuri ayam itu melakukan kejahatan karena terdesak oleh kebutuhan untuk menyambung hidup di hari itu saja. Sementara seorang koruptor sekelas Nazaruddin, bukan rahasia lagi kalau bukan untuk menambah pundi-pundi rekeningnya agar lebih bertumpuk lagi. Melihat deretan kasus diatas, publik bertanya-tanya, jangan-jangan KPK jilid III mulai masuk angin.  Kerena sebagian besar dari kasus korupsi (extra ordinary crime) yang ditangani KPK jilid III diputus ringan. Dan itu sangat tidak sepadan dengan beberapa kasus kecil yang diputus cukup berat. Tetapi memang itulah kenyataannya. Keadilan di negeri ini warnanya masih samar, kalau tidak disebut gelap dan kelam juga. Apalagi kalau sudah terkait dengan kekuasaan. Rakyat janganlah terlalu banyak berharap.
Perilaku koruptif para birokrat dan pejabat di lingkungan pemerintahan merupakan sasaran empuk bagi kuli tinta untuk diolah menjadi berita yang menggugah perhatian masyarakat. Munculnya berita di media massa tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan birokrat dan pejabat pemerintah menimbulkan pertanyaan yang klise oleh masyarakat: apakah yang salah dalam birokrasi?
Sejauh ini, dalam 2 periode pemerintahan Presiden SBY memang permasalahan terkait korupsi para birokrat dan pejabat menjadi keprihatinan dan perhatian yang serius. Upaya pemerintah dalam menegakkan hukum melalui produk Undang-undang Tipikor dan diselenggarakannya pengadilan Tipikor, serta penanganan kasus korupsi oleh lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus dievaluasi. Di samping itu, masyarakat juga turut menunjukkan kepedulian yang sama terhadap korupsi dan ikut menggagas solusi berkaitan dengan merajalelanya praktek korupsi yang berimplikasi pada kerugian, yakni seperti yang kita rasakan sekarang bahwa korupsi menjadikan pembangunan nasional menjadi terhambat, serta merosotnya kualitas infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum.[11]
Konsep birokrasi, secara lazim merujuk pada gagasan Max Weber (1864-1920). Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie(Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Cracy (kratos) menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam pandangan kata yang lain seringkali kata birokrasi dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan merupakan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.(1) Untuk memahami konsep birokrasi dari pemikiran Weber agaknya terlampau luas dan diperlukan kajian yang cukup mendalam. Namun dapat penulis kutip secara ringkas, dalam perspektif Weber birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap karakteristik yang melekat di dalamnya. Karakteristik yang dimaksud antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas.(2) Dari pendapat tersebut, birokrasi dapat diartikan sebagai organisasi itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintahan yang memiliki struktur terkait jabatan, tugas, wewenang, dan lainnya. Namun demikian, dengan segenap karakteristik yang disebutkan sebelumnya, birokrasi secara sempit dapat dipahami sebagai suatu sarana untuk dapat mencapai tujuan organisasi tersebut (pemerintahan/negara).
Di lingkungan internal pelaksana birokrasi, apabila diketahui melakukan tindakan kecurangan pada saat bekerja di kantor maupun di luar kantor. Selain itu agar kita tidak bersikap permisif, yakni membiarkan tumbuh suburnya perilaku koruptif ini, tiap-tiap individu baik masyarakat maupun pemerintah sendiri dapat mencegah tumbuhnya korupsi melalui kontribusi pemikiran logis dalam rangka membenahi tatanan sistem administrasi yang sudah ada. Misalnya, pemerintah memberikan gagasan pemberatan hukuman bagi koruptor dan membahasnya lebih lanjut, dan sebagai masyarakat kita juga dapat menyampaikan gagasan baik melalui tulisan maupun dengan aksi “turun ke jalan”. Sikap inilah yang disebut komitmen masing-masing individu, untuk saling bekerja sama dalam rangka mewujudkan good governance, yakni pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Kemudian mengigat tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak hanya pada perekonomian nasional tetapi jugak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak dapat lagi di golongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luarbiasa (extra ordinary crime)[12]
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan untuk itu di perlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenagan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

1.2. Rumusan Permasalahan
 Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas bahwa vonis hakim  tidak seimbang dengan akibat yang di timbulkan, mengigat korupsi kejahatan luar biasa sehingga perlu penanganan khusus, karena sukses dan tidaknya penegakan hukum bergantung kepada eksistensi vonis hakim. pemberantasan kurupsi tidak hanya menerbitkan undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 20001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasrakan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Mengapa sanksi pidana terhadap koruptor tidak memberikan efek jera?
2.      Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi para koruptor?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.                Tujuan teoritis
1.      Untuk merngetahui mengapa sanksi pidana terhadap koruptor tidak memberikan efek jera?
2.      Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi para koruptor?


1.3.2.                Tujuan Praktis
1.      Untuk mengetahui secara mendalam bahwa menurut pengalaman empirik di Indonesia, mengapa sanksi pidana terhadap koruptor tidak memberikan efek jera.
2.      Untuk mendapatkan diskripsi kasus-kasus yang korupsi yang pernah di vonis oleh hakim, agar kasus ini menjadi sumber penting baik sebagai rujukan maupun sebagai masukan bagi penulis

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.                Manfaat Teoritis
1.      Dapat digunakan sebagai bahan pengembangan teori hukum yang di tinjau dari hukum pidana.
2.      Bagi peneliti lainya, diharapkan agar nantinya hasil dari penelitian hukum ini berguna sebagai masukan dan bahan untuk melakukan selanjutnya.

1.4.2.                Mamfaat Praktis
1.      Bagi lembaga terkait
Diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pelaksanaan peradilan agar supaya tercipta keadilan
2.      Bagi masyarakat
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang dunia peradilan yang ada di Indonesia


1.5. Metode Penelitian
1.5.1.                Jenis Dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengkaji UU RI No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi, yang mengatur khusus tentang tindak pidana korupsi.
Dengan penggunaan penelitian yuridis nomatif ini, permasalahan diatas akan dikaji melalui sejumlah peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.

1.5.2.                Sumber Bahan Hukum
Jenis sumber bahan hukum  dalam penelitian ini bertumpu pada berbagai hukum antara lain:
Bahan hukum primer adalah: suatu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutahir atau pengertia baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan yang digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk kepastian hukum setelah berlakunya Undang-Unadang RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana koripsi, yang mengatur khusus tentang tindak pidana korupsi. Bahan hukum yang di gunakan meliputi:
1.      KUHP
2.      KUHAP
3.      UU  RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana koripsi.
4.      UU RI No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
5.      UU RI No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,kulusi dan nipotisme.
6.      PP RI No. 19 tahun 2000 tentang tim gabunga pemberantasan korupsi.
7.      UU RI No. 7 tahun 2006 tentang pengesahan united nations convention againts corruption,2003 (konvensi perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, 2003)
Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi mengenai bahan primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan peneliti di dapat dari buku-buku, dukumen pendapat pakar, artikel, jurnal serata bahan buku lainya yang di gunakan uantuk mengetahui eksitensi vonis hakim terhadap tidak pidana kurupsi setelah berlakunya UU  RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana koripsi. Mengingat kurupsi merupakan kejahatan exstra ordinary crime.
Bahan hukum tersier adalah suatu bahan yang dibrikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang nantinya akan digunakan oleh peneliti.
Sember bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi sumber bahan hukum primer dan sekunder dan sumber hukum tersier.

1.5.3.                 Tehnik Penelusuran Sumber Bahan Hukum
Teknik memperoleh sumber bahan hukum dalam penulisan ini, penulis mempergunakan beberapa cara dalam memperoleh bahan hukum. Diantaranya adalah dengan melakukan  rujukan/ penelusuran dokumen dan penelusuran pustaka dari berbagai sumbar mengenai pemasalahan  korupsi. setelah berlakunya UU  RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana koripsi, Mengingat kurupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime.

1.5.4.                Tehnik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan tehnik analisis dengan cara menganalisis isi (Content analysis) dari peraturan per-Uandang-Undangan, yaitu menganalisa eksitensi vonis hakim terhadap tidak pidana korupsi setelah berlakunya UU  RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi. Mengingat kurupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime.

1.5.5.                Definisi Konseptual
Adapun kajian dalam penelitian ini adalah peneliti mencoba untuk menganalisia eksitensi vonis hakim terhadap tidak pidana kurupsi setelah berlakunya UU  RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana koripsi. Mengingat kurupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime, dalam hal ini peneliti berangkapan keberadaan vonis hakim terhadap tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan asas keadilan. Dan dalam hal ini peneliti memfokuskan penelitian:
a)      Vonis hakim yang dijatuhkan kepada koruptor tidak seimbang dengan akibat yang di timbulkan.
Vonis hakim terhadap koruptor tidak memberikan efek jera karana putusan hakim sangat tidak wajar, padahal koruptor merupakan kejahatan extra ordinary crime,
b)      Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi pada koruptor.
Pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi pada koruptor sangatlah penting karena vonis hakimlah yang memberikan efek jera.

c)      Tidak ada efek jera pada koruptor
Vonis hakim yang tidak seimbang  dengan akibat yang ditimbulkan sehingga tidak memberikan efek jera akibanya koruptor berkeliaran di birokrasi pemerintahan.

1.5.6.                Sistematika Penulisan dan Pertanggungjawaban Sistematika
Sistematika penulisan hasil penelitian di bagi menjadi beberapa bab dengan rincian sebagai berikut:

                        BAB 1 : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini berisi uraian tentang:
a)      Latar belakang masalah
b)      Rumusan masalah
c)      Tujuan penelitian
d)     Mamfaat penelitian
e)      Metode penelitian
Dalam bab ini akan di uraikan secara jelas tentang latar belakang eksistensi vonis hakim terhadap tindak pidana korupsi.

BAB 11: KAJIAN PUSTAKA
Bagian ini memuat teori-teori atau konsep-konsep seperti teori tentang:
a)      Apa yang di maksud dengan putusan hakim
b)      Korupsi.
c)      Tidak Ada eFek Jera Akibat Putusan Hakim Yang ringan terhadap koruptor.
Teori-teori tersebut akanmenguraikan secra rinci berdasarkan UU  RI  No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi, dan yang berkaitan di dalamya.

BAB 111: PEMBAHASAN
Bagian ini menyajikan inti dari skripsi tentang:
a)      Mengapa sanksi pidana terhadap koruptor tidak memberikan efek jera?
b)      Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi para koruptor?

BAB 1V : PENUTUP
Dalam bab ini akan di simpulkan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran yang mungkin bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.  Putusan Hakim
2.1.1. Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam siding terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan.[13]Suatu putusan hakim mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan.
Penjelasan pasal 60 undang – undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa
Selain itu ada beberapa pendapat tentang pengetian putusan hakim diantaranya: Sudikno Mertokusumo, Putusan hakim adalah :suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[14]
Rubini, dan Chaidir Ali, Merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.
Pengertian putusan hakim dalam kitap undang-undang hukum acara pidana pasal 1 ayat 11 putusan hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini.
Dari beberapa difinisi diatas dapat disimpulkan bahwa putusan hakim adalah segala sesuatu yang diucapka oleh hakim dalam persidang pangadilan, baik itu putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum akibat diri apa yang telah diperbuat oleh seseorang.

2.1.2. Macam-Macam Putusan Hakim
Pengambilan keputusan (decision making) merupakan proser berfikir dan perilaku yang menghasilkan suatu pilihan, proses pengambilan keputusan memerlukan berfikir terkontrol agar dihasilkan keputusan yang tepat[15]. Pengambilan keputusan seperti itu disebut keputusan yang rasional, akantetapi pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari, pengambilan keputusan seringkali menggunakan dasar berfikir otomatis karena individu terlalu sulit menerapkan penalaran dan penelitian yang serius, sehingga pengambilan keputusan tidak seimbang dengan akibat yang di timbulkan dan tidak memberikan efek jera, khususnya pada kasus extra ordinary crime (korupsi).
Berbicara mengenai keputusan rasional Dawes dan Kagen menjelaskan ada tiga prinsip rasional (1) Pengambilan keputusan selalu didasari oleh mudal yang dimiliki oleh pengambilan keputusan pada saat ini; modal dapat berbentuk uang, keadaan fisik, kapasitas psikologis, hubungan sosial danemosi. (2) Pengambilan keputusan didasari oleh perimbangan akan konsekuensi pilihan. (3) jika konsekuensi merupakan sesuatu yang tidak jelas, segala kemungkinan dievaluasi berdasarkan prinsip-prinsip teori probabilitas.[16]
Teori pengambilan keputusan dapat diterapkan kedalam banyak bidang, salah satunya dalam pengambilan keputusan perkara pidana, khususnya ketika hakim memutus terdakwah bersalah atau tidak. Teori pengambilan keputusan perkara pidana banyak dilandaskan pada teori pengambilan keputusan deskriptif.
Hastie menambahkan model deskriftif teori pengambilan keputusan perkara pidana antara lain[17]: (1) pendekatan teori probabilitas (2) pendekatan teori aljabar (3) pendekata teori kognitif (model cerita). Hatie bahwa pengambilan keputusan perkara pidana yang dilakukan oleh juri dan dapat diterapkan oleh hakim di Indonesia dengan dilakukan beberapa perubahan, proses pengambilan keputusan juri tidak jauh beda dengan hakim. Perbedanya, jika juri memutus terdakwanya bersalah atau tidak sedangkan hakim memutus terdakwanya atau tidak, kemudian memutus pemidanaannya jika tedakwanya bersalah kemudian Hsatei menjabarkanya:
1.      Pendekatan teori probabilitas
Pendekatan teori probabilitas dalam pengambilan keputusan perkara pidana didasari oleh teori probabilitas Bayensian. Asumsi dasar dari pendekatan Bayensian adalah diminsi dasar dari berfikir yang menyatakan bahwa, membuat keputusan  adalah probabilitas subjektif. Artinya semua informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan akan di konsep oleh individu sebagai kekuatan keyakinan. Teori probabilitas Bayes dapat ditetapkan dalam kondisi saat seseorang berkeinginan untuk memperbaharui keyakinanya akan suatu pristiwa akan bukti-bukti baru. Hal itu sesuai dengan pengambilan keputusan perkara pidana karena hakim (juri) akan selalu merubah keyakinanya (salah atau tidak) jika ada bukti-bukti baru.
Hastie berpendapat ada beberapa tahapan tahapan dalam mengambil keputusan probabilitas subjektif:
1.      Hakim harus memiliki probabilitas awal yaitu derjat awal keyakinan terhadap kasus yang dihadapi, probabilitas awal tersebut dapat dilihat dari ukuran mental, probabilitas awal terbentuk oleh keyakinan hakim akan pengamat hasil kinerja polisi, jaksa, dan pengacara serta sikapa individu terhadap peradilan atau hukum pidana.
2.      Setelah hakim memiliki probabilitas awal,tugas hakim selanjutnya adalah mengidentifikasi dan memahami informasi satu demi satu, informasi itu akan memperbaharui tingkat keyakinanya. Teori probabilitas Bayesian tidak membicarakan bukti mana yang dapat memperbaharui tingkat keyakinanya.
3.      Pada saat bukti diidentifikasi, hakim mulai melakuakan proses meperbaharui probabilitas. Probabilitas awal akan di kombinasikan dengan bukti baru untuk memperbaharui keyakinan yang akan di pertimbangkan. Probabilitas baru dengan bukti baru ditunjukkan denga perubaha nilai ukuran mintal. Perlu diingat bahwa probabilitas dalam persamaan yang berperan sebagai numerator memiliki peran tertentu. Artinya jika probabilitas awal memiliki nilai ekstrem, persamaan tersebut tidak akan menghasilkan perubahan probabilitas selanjutnya.
4.      Jika terdapat bukti baru, akan terjadi proses perubahan kembali sehingga probabilitas selanjutnya akan berganti dengan probabilitas selanjutnya, proses tersebut akan berlanjut terus hingga tidak ada bukti baru dan hakim di minta untuk mengambil keputusan.
5.      Jika hakim diminta untuk mengambil keputusan, hakim masuk pada tahap membandingkan probabilitas akhir dengan kreteria menghukum. Teori probabilitas Bayesian tidak membahas faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun kreteria menghukum. Diperkirakan kreteria menghukum dibentuk melalui sikap dan pengetahuan hakim terhadap peradilan dan hukuman pidana. Serta perubahan sikap terhadap terdakwa selama peradilan. Jika proses penyesuwaian masuk pada batas kreteria menghukum, kesimpulanya adalah menghukum jika sebaliknya terdakwah akan dibebaskan.
6.      Tahap evaluasi kegunaan yang dibuat oleh hakim, evaluasi kegunaanya meliputi pertimbangan biaya kesalahan yang mungkin dari setiap keputusan. Walaupun probabilitas subjaktif menyimpulkan untuk menghukum, hakim dapat membebaskan terdakwah karena memiliki pertimbangan mahalnya biaya kesalahan menghukum.
2.      Pendekatan Aljabar
Penerapan Aljabar dalam menggambarkan proses mental telah digunkan sejak adanya psikologis, seperti diterapkan dalamperubahan sikap, persepsi terhadap manosia, psikolinguistik, pembuatan keputusan dan masalah yang terkait dengan psikopisik. Tiga tipe model aljabar yang banyak digunakan dalam menjelaskan teori psikologi adalah penambahan, rerata dan pekalian yang menjelaskan bahwa pendekatan aljabar yang digunakan dalam keputusan pidana adalah persamaam model linear atau persamaan rata-rata yang dibobot.
3.      Pendekatan Model Cerita
Dalamrangka memutus perbuatan pidana, hakim akan mengompulakan infomasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwah, maupun barang bukti. Mengembangkan model pendekatan cerita dengan menggunakan dasar teori pemprosesan hakim dalam menentukan perbuatan pidana.
Sebenaranya, strategi dasar teori pemprosesan informasi kognitif sama dengan model matematiaka. Perbedanya, dalam model matematika digunakan proses fisik sebagai midia yang menggambarkan tingkah laku sedangkan teori pemprosesan informasi menggunakan stuktur dan proses mental dalam menggambarkantinggkahlaku. Teori pemrosesan informasi kognitif berasumsi bahwa dalam pikiran manosia terdapat arsitektur dasar yang dapat memperoses informasi. Selain itu, terdapat strategi khusus yang dikembangkan dalam menyelesaikan permasalahan.
Proses kerja pemprosesan informasi diawali dengan sensori, rekognisi pola perhatian dan mimori. Pendekatan pemprosesan informasi kognitif disebut sebagai pendekatan cerita karena inti proses kognitif hakim adalah mengkonstruksi cerita. Sedangkan model cerita dalam hal ini memiliki beberapa tahapan.
1.      Menyusun cerita.
2.      Mempelajari unsur-unsur pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum.
3.      Mengambil keputusan melalui pencocokan cerita dengan pasal undang-undang yang digunakan sebagai dasar pemidanaan.

2.1.3. Muatan atau Isi Putusan pengadilan
Dalam muatan atau isi dari putusan pengadilan, ada tiga muatan dalam putusanya: putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan pemidanaan.
1.      Putusan bebas
Putusan bebas adalah suatu putusan dimana terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (verijpraak) atau acquittal. Dalam arti lain terdakwa dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa ”tidak dipidana”[18]
Berdasarkan pengertian  diatas putusan bebas jika ditinjau dari segi yuridis adalah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas (verijpraak). Terdapat dua alasan penting hakim memutus bebas:
1.      Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (sistem pembuktian negatief wettelijke) maksudnya adalah tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan Terdakwa, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, pidana tidak bisa dijatuhkan. Untuk itu harus diputus bebas. Tentang sistem pembuktian negatief wattelijke diatur dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-sekurang dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanny.
2.      Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Maksudnya adalah untuk membuktikan Terdakwa bersalah maka minimal harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah. Jika suatu perkara pidana yang didakwakan kepada Terdakwa hanya terbukti berdasarkan 1 (satu) keterangan saksi saja (unus testis nullus testis) maka Terdakwa tidak dapat dijatuhkan pidana. Kecuali didukung oleh alat bukti sah lainnya minimal 1 alat bukti seperti keterangan terdakwa yang mengaku melakukan perbuatan pidana tersebut. Akan tetapi apabila sudah ada 2 orang saksi yang menerangkan perbuatan pidana tersebut, maka alat bukti lain hanya sebagai pendukung atau petunjuk.
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
     Berdasarkan pasal 191 ayat 2 KUHAP menetukan, pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwak kepada terdakwah terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwah terlepas dari segala tuntutan hukum ini bisa disebut (onslag van recht vervolging ). Hal ini ditinjau dari segi pembuktian dan penuntutan.
a.       Apa yang didakwakan kepada terdakwah cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian maupun uandang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur pasal 183. Akan tetapi, perbuatan yang dibuktikan tadi “tidak merupakan tindak pidana” tegasnya, perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti tadi tidak ada diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin masuk ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang.
b.      Apa yang didakwakan kepadanya bukan merupak perbuatan tindak pidana. Barang kali hanya berupa quasi tindak pidana, seolah-olah penyidik dan penuntut umum melihat sebagai perbuatan tindak pidana.
3.    putusa pemidanaan.
Berdasarkan pasal 193 ayat 1 jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Menurut pandangan Hart bahwa pidana haruslah mengandung penderitaan atau konsekuensi normal yang tidak menyenangkan. Pidana itu haruslah ditujukan kepada suatu pelanggaran aturan hukum.pidana harus dikenakan untuk membuktikan kepada pelanggar tentang delik yang dilakukannya, dan pidana itu harus dikenakan oleh badan yang berwenang dalam suatu system hukum disebabkan adanya suatu perbuatan kriminal (delik)[19]
Tujuan pengenaan pidana didalam hukum Pidana dikenal 3 (tiga) teori tujuan pengenaan pidana, yaitu (1) teori absolut, (2) teori relatif, dan (3) teori gabungan
1.      Teori Absolut.
Teori absolut ini disebut juga Teori Pembalasan, atau Teori Retibutif, atau vergeldings theorien. Muncul pada akhir abad ke-18.yang salah asatu penganutnya Immanuel Kant.
Immanuel Kant menunjukkan bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Jadi, menurut Vos pendapat Kant hanya mengenai pembalasan subjektif. Pidana adalah tuntutan keadilan etis.[20]
 Sebaliknya Hegel memandang perimbangan antara pembalasan subyektif dan objektif dalam suatu pidana, sedang Herbart hanya menekankan pada pembalasan objektif.[21]
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.
Oleh karena itulah maka teori disebut teori absolute. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
Teori pembalasan ini menyatakan pula bahwa pidana dikenakan kepada pelanggar adalah untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan (to satisfy claims of justice).
a. Teori pembalasan yang obyektif, yang berorientasi ada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.
b.Teori pembalasan yang subyektif, yang berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.
                        2. Teori Relatif
Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori absolut dengan keberatan terhadap tumpuan pembalasan yang dipandang kurang memuaskan. Tujuan utama pemidanaan ialah mempertahankan ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan pribadi maupun publik dan mempertahankan tatatertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat 
Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Yang menjadi tujuan adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Menurut sifatnya tujuannya adalah: bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki, dan bersifat membinasakan. Dan menurut sifat pencegahannya adalah pencegahan umum (menakut-nakuti dengan cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh) dan pencegahan khusus (tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi).
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.[22]
3.Teori Gabungan
Teori Gabungan mrupakan perpaduan dari Teori Absolut dengan Teori Relatif. Menurut Kartiman (1994: 31) bahwa Teori Gabungan ini deibedakan dalam 3 (tiga) aliran sebagai berikut :
a.       Teori Gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban hukum.
b.      Teori Gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat.
c.       Teotri Gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dengan perlindungan kepentingan masyarakat.
2.2.       Korupsi
2.2.1.      Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruption berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi[23]
Kartono (1983) memberi batasan korupsi adalah sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan atau merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan- kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.  Dengan pernyataan lain korupsi adalah adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara, dan teman.
Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan atau keuangan negara atau masyarakat.
Sementara Brooks memberikan pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk kepentingan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan demi keuntungan pribadi dan salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan  kekuatan formal (misalnya dengan kekuatan hukum dan senjata) untuk memperkaya diri sendiri ataupun golongannya.[24]
Definisi korupsi menurut “Transparency International” adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang di percayakankepada mereka.[25]
Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain ‘dapat’ merugikan keuangan atau perekonomian negara.[26] Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Berdasarkan undang-undang No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang- undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan korupsi adalah suatu perbuatan melawan hukum yang memper kaya diri sendiri, orang lain maupun badan hukum yang merugikan kepenting umum maupun negara denga menggunakan wewenag dan kekuatan formil yang dimilikinya.

2.2.2.      Macam-macam korupsi
Dalam pengeritian ini tindak pidana adalah rumusan tentang perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang disertai ancaman suatu pidana terhadap siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila istilah tersebut digabungkan dengan kata korupsi akan menjadi tindak pidana korupsi sehingga mudah dipahami bawa pengertianya rumusan tentang kegiatan tentang segala perbuatan yang dilarang dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 diubah dengan undang-undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarakan substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan dua  jenis.[27]

1.      Tindak pidana korupsi murnih.
Tindak pidana korupsi mornih adalah tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara , perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan tugas atau pelaksanaan pekerjaan yang bersifan publik.
2.      Tindak pidana korupsi tidak mornih.
Tindak pidana korupsi tidak morneh adalah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tidak pidana korupsi.
            Subjek hukum atau sipembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok.[28]
1.      Tindak pidana korupsi umum.
Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang bekualitas sebagai pegawi negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk korporasi.
2.      Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara.
Tindak pidana korupsi pegawai negeri adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang- orang yang berkualitas sebgai pegawai negeri. Artinya, tindak pidana itu semata-semata dibentuk untuk penyelenggara negara.
            Kemudian kalau dilihat dari unsur tngkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara tndak pidana korupsi aktif dan tindak pidana korupsi pasif.[29]
a.       Tindak pidan korupsi aktif.
Korupsi`tindak pidana korupsi aktif adalah tidak pidana korupsi yang dalam rumusanya mencantumkan unsur perbuatan aktif . perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk menwujudkanya diperlukan gerakan tubuh atau  bagian tubuh orang.
b.      Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif.
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif.sebagai mana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat aktif (disebut perbuatan pasif) didalam kehidupan sehari-hari, adakalanya seseorang ada dalam suatu situasi dan kondisis tertentu, dan orang itu diwajibkan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu, apabila dia tidak menuruti kewajiban hukumnya untuk berbuat, artinya dia telah melanggar kewajiban hukumnya untuk bebuat maka dia dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana pasif tertentu. Dalam doktin hukum pidana, tindak pidana pasif dibedakan menjadi dua (a) tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil atau yang pada dasrnya semata-mata unsur perbuatanya adalah berupa perbuatan pasif, tindak pidana korupsi pasif menurut undang-undang No.31 tahun 1999 jo undang-undang No.20 tahun 2001 semunta adala berupa tindak pidana pasif murneh dan (b) tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana yang padadasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan perbuatan aktif.
macam-macam tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidan korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal UU No.31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20 tahun 2001 rumusan tersebut yang memuat unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sitem pemidanaan tertentu pula. Ada beberapa macam bentuk korupsi diantanya[30]:
a.       Pemberian Suap / Sogok (Bribery)
Pemberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas dan janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang berakibat membawa untung terhadap diri sendiri atau pihak lain yang berhububgan dengan jabatan yang dipegangnya pada saat itu. Dasar hukum pemberian suap Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (1) Setiap pemberian dalam arti luas (gratifikasi) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketetentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan melalui sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
b.      Penggelapan (Embezzlement)
Perbuatan mengambil tanpa hak oleh seorang yang telah diberi kewenangan untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang milik Negara oleh pejabat public maupun swasta.
Unsur perbuatan menggelapkan ini berasal dari kata verduistering (belanda) dalam teks asli pasal 415 KUHP yang tidak ada penjelasan apapun mengenai kata tersebut. Mengenai hal tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi, karna prinsip dalam hal apa yang harus dibuktikan terhadap apa yang menjadi unsur tindak pidana, bukan hal yang lain. Oleh karna itu dalam pasal 415 tidak adanya syarat mengenai sikap batin ke3hendak dan pengetahuan tehadap sipat melawan hukumnya perbuatan menggelapkan, maka tidak perlu repot – repot membuktikan sesuatu yang tidak ada . akan tetapi lebih kepada apa yang harus dibuktikan mengenai perbuatan menggelapkan itu adalah hakikat dari penggelapan, karena hakikat dari penggelapan itu sama dengan hakikat perbuatan menggelapkan, bukan arti penggelapan yang sama dengan menggelapkan . Apabila hakikatnya penggelapan menurut pasal 372 telah dapat dibuktikan, maka perbuatan menggelapkan menurut pasal 415 juga telah ada. Jadi yang perlu di buktikan dalam kasus penggelapan adalah:[31]
1.      Wujud penggelapan yang pada dasarnya yang tidak bebeda dengan wujud memiliki yang pada umumnya membelanjakan uang untuk kepentingan lain dari maksud penguasaan atau titipan yang sebenarnya atas uang itu.
2.      Penguasaan atas uang itu, bukan pada orang lain melainkan melainka ada pada diri sipembuat.
3.      Penguasaan dari sebab atau cause karena jabata yang dimilikinya, penguasaan ini diartikan sama dengan unsur-unsur “ada dalam kekuasanya” menurut pasal 372.
4.      Dalam kekuasaan ini harus karena sebab yang sama denga pasal 372, bukan karena perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Walaupun ada persamaan hakikat dan latar belakang dibentuknya kejahatan pasal 372 dengan pasal UU No. 20/2001 (diadopsi dari pasal 415 KUHP), namun secara jelas ada perbedaan, yakni sebagai berikut .
1.      Mengenai subjek hukum, penggelapan adalah semua orang, sedangkan pasal 8  yakni pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan jabatan umum .
2.      Objeknya pasal 372 yakni benda pada umumnya asalkan berwujud dan bergerak; sedangkan pasal 8 ada dua saja yakni uang dan surat berharga .
3.      Perbuatan yang dilarang pada pasal 372 yakni memiliki ; sedangkan pasal 8 yakni menggelapkan, membiarkan orang lain mengambil , membiarkan orang lain menggelapkan,  dan membantu orang lain melakukan perbuatan tersebut .
4.      Subjek hukum (dader) menurut pasal 372 hanyalah satu orang yakni orang yang memiliki, tetapi dader menurut pasal 8 bukan saja seorang (in casu pegawai negeri ) yang menggelapkan, tetapi bisa juga pegawai negeri yang membantu menggelapkan dan pegawai negeri yang membantu mengambil . Orang yang dibantu tidak perlu berkualitas sebagai pegawai negeri .
c.       Pemalsuan (Fraud)
Suatu tindakan atau prilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi dengan maksud untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain.
d.      Pemerasan (extortion)
Memaksa seseorang untuk membayar atau memebrikan sejumlah uang atau barang atau bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat public untuik berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik ataupun kekerasan.
e.       Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang (abuse of  Discretion)
Mempergunakan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan sementara bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.
Tidak pidana korupsi yang dimaksudkan dirumuskan dalam pasal 13 yang berbunyi “setiap orang yang meberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan teersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta )
Korupsi suap pasal 13 ini adalah termasuk suap aktif, sama sifatnya dengan pasal 5,6. Pada suap aktif tidak disebutkan kualifikasi pembuatnya, siapa saja dapat melakukan tindak pidana suap aktif .
f.       Pertentangan Kepentingan atau Memiliki Usaha Sendiri (Internal Trading)
Melakukan transaksi public dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga dengan cara mempergunakan kesempatan dan jabatan yang dimilikinya untuk memenangkan kontrak pemerintah.
g.      Pilih Kasih (Favoritisme)
Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga, afiliasi partai politik, suku, agama dan golongan yang bukan kepada alasan objektif seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalisme kerja.
h.      Menerima Komisi (Commission)
Pejabat Publik yang menerima sesuatu yang bernilai dalam bentuk uang, saham, fasilitas, barang dll sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan pemerintah.
i.        Nepotisme (Nepotism)
Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sepaham, dalam penunjukan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.
Nepotisme adalah suatu paham yang mengutamakan keluarga/kerabat di dalam menduduki jabatan tertentu. Nepotisme banyak dijumpai di Indonesia, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Biasanya bentuknya adalah berupa adanya lowongan di instansi tersebut yang tidak dipublikasikan secara luas, sehingga hanya “orang dalam” yang tahu, bisa juga dengan sistem “titipan”. Kalau di instansi pemerintah biasanya mereka akan dimasukkan sebagai pegawai kontrak atau honorer. Kalaupun ada tahapan-tahapan tes di dalam perekrutan pegawai bisa saja itu hanya berupa formalitas. Kecenderungan seperti ini membuat “pihak luar” tidak mampu bersaing secara sehat, mereka kalah sebelum berperang karena memang tidak diberi kesempatan. Padahal belum tentu orang-orang yang dititipkan tersebut punya kapasitas yang baik/kompeten di bidangnya.[32]
j.        Kontribusi atau Sumbangan Ilegal (Ilegal Contribution)
Hal ini terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang dibebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah.
            Selai bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang sudah diperjela diatas masi ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
1.      Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
Yang dimaksu dengan merintangi proses pemeriksaan pekara korupsi adalah setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
Dasar hukumnya pasal 21 UU No.31 tahun 999 Jo No. 20 tahun 2001
2.      Tidak memberu keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 UU no. 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar tentang seluruh harta bendanya dan harta benda suami atau istri, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Dasar hukumnya pasal 22 UU No.31 tahun 999 Jo No. 20 tahun 2001
3.      Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
a.       Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disiadang pengadialan, penyidik atau penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangkah atau terdakwah.
b.      Permintaan keterangan kepada bank, diajukan kepada gubernur bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c.       Gubernur bank Indonisia berkewajiban untuk memenuhi permintaan, terhitung selambat-lambanya 3 hari kerja terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
d.      Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpana milik tersangka atau terdakwah yang diduga hasil dari korupsi.
e.       Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangkah atau terdakwah tidak diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu jugak mencabut pemblokiran. Dasar hukumnya pasal 2 UU No.31 tahun 999 Jo No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
4.      Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.
a.       Setipa orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari tersangka.
b.      Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagai mana yang dimaksu dalam poin (a) dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secra tegas oleh terdakwah.
c.       Tanpa persejuan sebagai mana yang dimaksu dalam poi (b) mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah. Dasar hukumnya pasal 35 UU No.31 tahun 999 Jo No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
5.      Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu.
Untuk kepentingan pennyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,anak, dan ha
6.      Saksi yang membuka identitas pelapor
Kewajiban memberikan kesaksian sebagai mana dimaksud dalam pasal 35 jugak berlaku terhadap mereka yang menuntut pekerjaan harkat dan martabat atau jabatanya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinanya harus menyimpan rahasia.
saksi yang dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Dasar hukumnya pasal 26 UU No.31 tahun 999 Jo No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perlu diketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa, sehingga perlu adanya upaya-upaya hukum yang tegas, tidak hanya yang terkait langsung dengan tindak pidana korupsi itu sendiri, tetapi juga tindak pidana lain yang memungkinkan terhambatnya proses hukum para koruptor. Ibarat tikus, para koruptor tidak akan pernah berhenti untuk mencari celah apapun yang memungkinkan proses hukum terhadap mereka bisa terhambat, bahkan membebaskan mereka dari segala upaya hukum.[33]

2.2.3.      Sistem Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi
Ciri suatu hukum pidana khusus, yakni selalu ada penyimpangan tertentu dari dari hukum pidana umum . Demikian mengenai sistem pemidanaan tindak pidana korupsi yang sudah menyimpang dari prinsip-prinsip umum dalam stelsel pidana  menurut KUHP . Adapun hal-hal yang menyimpang dari stelsel pidana umum, baik mengenai jenisnya dan sistem penjatuhan pidananya.[34]
Dalam hukum pidana umum (KUHP) yang membedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan dalam pasal 10, yakni pidana pokok terdiri atas (1) pidana mati, (2) pidana penjara, (3) pidana kurungan dan (4) pidana denda; sedangkan pidana tambahan terdiri atas (1) pencabutan hak-hak tertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu, dan (3) pengumuman putusan hakim .
Dalam hukum pidana korupsi mengenai jenis-jenis pidana pokok sama dengan jenis-jenis pidana pokok dalam pasal 10 KUHP . Mengenai jenis pidana tambahan ada jenis baru yang tidak dikenal menurut pasal 10 KUHP, namun dimuat dalam pasal 18 (1) .
1.      Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut .
2.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3.      Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1 (satu) tahun .
4.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana .
Mengenai pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum pidana korupsi sama dengan hukum pidana umum, yaitu sebagai berikut .
1.      Dalam hukum pidana korupsi dua jenis pidana pokok yang dijatuhkan bersamaan  dapat dibedakan menjadi dua macam .
a)      Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Dua jenis pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan serentak . Sistem imperatif-kumulatif ini terdapat pada pasal 2,6,8,9,10,12,12B. Tampaknya, sistem penjatuhan pidana imperatif-komulatif diancamkan pada tindak pidana korupsi yang paling berat .
b)      Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda . Diantara dua jenis pidana pokok ini yang wajib dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda (fakultatif) . Disini pidana den-danya tidak wajib dijatuhkan, melainkan boleh dijatuhkan (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidan penjara . Jadi khusus untuk menjatuhkan pidana denda bersifat fakultatif yang jika dibandingkan dengan KUHP sifat penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis – jenis pidana tambahan . Sistem imperatif – fakultatif (penjaranya imperatif , dendanya fakultatif ) ini disimpulkan dari dua kata yakni “dan atau” dalam kalimat mengenai ancaman pidana dari rumusan tindak pidana yang bersangkutan . Disini hakim bisa memilih antara menjatuhkan satu saja, yaitu penjara (sifatnya imperatif) ataukah juga menjatuhkan bersamaan dengan pidana denda (sifat fakultatif). Sistem menjatuhkan pemidanaan imperatif-fakultatif ini terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 3,5,7,10,13,21,22,23, dan 24 .
2.      Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapakan ancaman minimum khusus dan minimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana denda dan tidak menggunakan sistem dengan menetapkan dengan ancaman pidana maksimum umum dan minimum umum seperti dalam KUHP.
3.      Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 (dua puluh) tahun, KUHP boleh menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum umum, atau pidana alternatif dari dari pidana mati.
4.      Dalam hukum pidana korupsi tidaklah mengenal pidana mati sebagai pidana pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri, akan tetapi mengenal pidana mati dalam hal bila tindak pdana tersebut pasal 2 terdapat adanya alasan pemberatan pidana. Jadi, pidana mati itu adalah pidana yang dapat dijatuhkan bila mana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi pasal 2 dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2), yaitu “bila dilakukan pada wakatu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadinya bencana nasional;sebagai pengulangan; atau pada waktu negara dalam keadaan krisisekonomi dan moneter.
Sistem pemidanaan hukum pidana formil korupsi yang mengancam dengan pidana kumulatif dengan denda atau pidana penjara kumulatif-fakultatif dengan denda, baik pada maksimum khusus maupun minimum khusus tidaklah berlaku apabila nilai objek tindak pidana korupsi tersebut pasal 5, 6,7,8,9,10,11, dan 12 kurungan dari Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). Untuk nilai objek tindak pidana korupsi kurang dari lima juta rupiah ini ancaman pidananya hanya pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) jadi meniru sistem penjatuhan pidana hukuman pidana umum dalam KUHP .
Dr. Ignatius Sriyanto menegaskan ajaran atau doktrin gabungan tindak pidana  terdiri dari berbagai bentuk: (1) Gabungan tindak pidana dalam satu perbuatan; (2) Gabungan tindak pidana sebagai perbuatan berlanjut; dan (3) Gabungan tindak pidana dalam beberapa perbuatan. Berbagai bentuk gabungan tindak pidana yang rumusannya terdapat pada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kaitannya adalah mengenai sistem pemidanaan bagi berbagai bentuk dari gabungan tindak pidana tersebut.
 Tindak pidana Korupsi di Indonesia dengan perkembangannya yang pada saat ini telah diketahui secara luas, sering dilakukan oleh para pelakunya hingga beberapa kali. Tindak pidana Korupsi yang dilakukan beberapa kali dapat diklasifikasikan dalam salah satu bentuk gabungan tindak pidana. Permasalahan yang timbul adalah mengenai penentuan klasifikasi bagi beberapa kali perbuatan Korupsi tersebut ke dalam salah satu bentuk dari gabungan tindak pidana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi teoretis atau akademis, pemenuhan beberapa syarat yang diperlukan bagi berbagai bentuk gabungan tindak pidana itu banyak menimbulkan permasalahan, di antarannya terdapat ketentuan syarat yang dalam kenyataannya tidak mungkin dapat terpenuhi, atau ketentuan syarat yang sangat sulit untuk dapat terpenuhi, ataupun ketentuan syarat yang rumusannya tidak jelas. Hal tersebut telah mempengaruhi pula dalam segi praktisnya, di mana Jaksa sering keliru dalam melakukan penafsiran untuk menempatkan secara tepat syarat-sayat bersangkutan ke dalam salah satu bentuk gabungan tindak pidana. Pengadilan seringkali mengabaikan kekeliruan tersebut dengan menyatakan hal itu tidak menyangkut materi pokok perkara, dan mempersoalkan hal itu bahkan akan memberikan kemungkinan pelaku Korupsi dapat lolos dari jerat hukum. Sistem pemidanaan dalam berbagai bentuk gabungan tindak pidana ternyata juga tidak pernah diperhitungkan di dalam penjatuhan pidana oleh pengadilan, sehingga tidak sesuai dengan ajarannya. Dalam sistem common law, ajaran gabungan tindak pidana dirumuskan secara lebih sederhana dari pada dalam sistem civil law seperti Indonesia. Terdapat berbagai penyebutan bagi gabungan tindak pidana, antara lain: joinder of offenses; concurrent and consecutive sentences, namun ajaran gabungan tindak pidana dalam sistem common law tidak membahas penggabungan dari beberapa tindak pidana ke dalam berbagai bentuk, melainkan mengnai penggabungan perkara/penuntutan dari beberapa tindak pidana.
Antara ajaran mengenai penggabungan perkara atau penuntutan dengan ajaran tentang sistem pemidanaannya merupakan dua ajaran yang saling berdiri sendiri, tidak harus selalu dikaitkan seperti ajaran gabungan tindak pidana di Indonesia. Dengan demikian Hakim bebas untuk mengaitkan ataupun tidak mengaitkan, antara penggabungan penuntutan dengan sistem pemidanaannya. Di Indonesia, berdasarkan pasal-pasal gabungan tindak pidana dalam KUHP, seharusnya Hakim terikat untuk menerapkan sistem pemidaan bagi berbagai bentuk gabungan tindak pidana tersebut, namun dalam kenyataannya tidak demikian.[35]

2.3.  Tidak Ada Efek Jera Akibat Putusan Hakim Yang Ringan Terhadap Koruptor
2.3.1.      Tidak Mempunya Efek Jera Bagi Koruptor
            Dalam kamus ilmiah populer efek adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab atau perbuatan dari akibat yang ditimbulkan sedangkan jera adalah takut untuk melakukan kesalahan lagi (takut mengolagi kesalahanya). Jadi efek jerah adalah pengaruh yang ditimbulkan karna akibat dari sutu perbutan dan takut untuk mengolagi perbutan tersebut.
            Ada sesuatu yang sulit dimengeri dalam kaitannya dengan penyakit korupsi di Republik ini, meskipun sudah begitu banyak koruptor tertangkap dan digiring ke meja pengadilan dan dijebloskan ke balik terali besi, tetapi korupsi jalan terus. Malah dari hari ke hari terus lahir koruptor baru. Bahkan, koruptor-koruptor baru itu, dari sisi usia banyak yang masih relatif muda, sehingga kerap dikatakan bahwa di Republik ini telah lahir generasi baru korupsi. [36]Anehya para koruptor tidak memiliki beban psikologis dan sosiologis. Rupanya rasa malu sudah dikebiri. Tidak heran, terus bermunculan koruptor-koruptor baru, bahkan dengan aksi jahat yang lebih mengerikan.
            Dampak korupsi bagi negara-negara  dengan kasus korupsi berbeda-beda
bentuk, luas dan akibat yang ditimbulkannya, walaupun dampak akhirnya adalah
menimbulkan kesengsaraan rakyat. Di negara miskin korupsi mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan  menggerogoti keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Di  negara maju korupsi mungkin  tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat menggerogoti keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya, sebagaimana juga terjadi di negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Indonesia, apabila tidak dihentika korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar.[37]
            Selama ini para pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara serta hak istimewa seperti remisi, atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan.[38] Belum ada para koruptor yang mendapatkan sanksi hukum yang berat sehingga tidak mempunyai efek jera pada koruptor akibat dari putusan hakim yang terlalu ringan, pemidanaan tidak ada efek jera terhadap para koruptor, terbukti koruptor bukan semakin menurun tapi makin bertambah. "Jadi harus ada cara yang membuat orang tidak melakukan korupsi dengan upaya efek jera. Terbukti, para koruptor ditahan malah mereka lebih enak di tahan.
            Didalam perkembangan dalam pemerintahan Indonesia, baik itu pada eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, tentu banyak sekali gejolak yang dialami negara kita. Banyak kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan korupsi. Kasus-kasus ini menjadi permasalahan yang sangat serius bagi bangsa ini. Indonesia seolah-olah sedang kehilangan kepercayaan dirinya sebagai bangsa yang bersih dan sejahtera. Tidak hanya itu, kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin memojokkan orang-orang yang duduk di pemerintahan. Padahal tidak semua dari mereka tersandung kasus korupsi, namun masyarakat luas memandang pemerintahan di Indonesia seperti tikus-tikus yang sedang berebut makanan. Lalu bila ada tikus-tikus ini, juga diperlukan kucing yang mampu menerka, tikus-tikus yang liar ini. Namun kucing ini harus memiliki kuku dan taring yang runcing untuk bisa menerkam dengan baik. Kucing inilah yang diharapkan oleh masyarakat kepada KPK. KPK harus terus menjadi lembaga yang independen dan harus terus menajamkan taringnya agar bisa menerkam para koruptor tanpa pandang bulu.[39]
            Tujuan dari penegakan hukum atas kasus korupsi adalah lahirnya efek jera. Efek jera penting untuk mengontrol kejahatan korupsi supaya tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik. Pasalnya, jika korupsi sudah berada pada level sistemik,[40] maka dampak yang ditimbulkan dari kejahatan
ini menjadi lebih serius, karena bukan hanya menyebabkan kerugian negara yang besar, melainkan juga melahirkan kemiskinan, buruknya pelayanan publik, dan merusak pondasi ekonomi negara. 
Penegakan hukum tanpa efek jera akan menciptakan situasi yang kondusif bagi pelakunya untuk terus korupsi. Demikian pula, ongkos atau biaya untuk memberantas korupsi akan menjadi lebih mahal daripada hasil yang dicapai.  Lemahnya efek jera dalam penegakan hukum kasus korupsi salah satu faktor terbesarnya disebabkan oleh buruknya integritas penegak hukum. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai praktek korupsi seperti pembekingan aktivitas ilegal, pemerasan, pungli, setoran, suap-menyuap dan lain sebagainya menjadikan fungsi penindakan menjadi tidak berjalan. Bahkan karena korupnya penegak hukum, berbagai kasus korupsi yang ditangani mereka sering berujung SP3, dipetieskan atau bahkan berakhir 'damai'.[41]
Di Indonesia secara normatif dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Korupsi (UU Tipikor), ancaman hukuman mati hanya ditujukan kepada pelaku tipikor yang melanggar Pasal 2 Ayat 1, di mana Ayat 2 pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.[42]
2.3.2.      Keberadaan Putusan Pengadilan Tipikor Terhadap Koruptor
Berdasarkan undang-undang No.30 tahun 2003 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 53 menegaskan dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi yang bertugas dan berwenag memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutanya diajukan oleh komisi pemberantasan korupsi.
Keterpurukan penegakan hukum dalam menangani masalah korupsi yang telah membawa bangsa Indonesia terjatuh pada keadaan krisis hukum. Krisis adalah keadaan tidak normal oleh karena berbagai institusi yang telah dinormakan untuk menata prosesproses dalam masyarakat tidak mampu lagi menjalankan fungsinya secara tepat. Hukum kehilangan kepercayaan dan pamor untuk mewujudkan nilai keadilan yang harus diberikan. Ia tidak lagi berada pada posisi otoritatif untuk menata dan mengendalikan proses-proses ekonomi, sosial, politik, melainkan difungsikan sebagai alat untukkepentingan kekuasaan. Hukum tidak lagibekerja secara otentik. Dampak dari ketidakpercayaan pada penegakan hukum tersebut, sebagian rakyat kemudian melakukan tindakan penyelesaian sendiri, yang salah satu bentuknya adalah perbuatan pengetahuan itu dinamis dan tak pernah berhenti dengan inovasi-inovasi.
Terhadap hal yang demikian juga telah banyak pikiran dan pendapat dari para ahli tentang bagaimana jalan memperbaikinya. Di antara banyak pikiran dan pendapat yang berkembang itu antara lain berkaitan dengan ketidakmandirian serta merosotnya martabat pribadi dari para hakim. Oleh karena itu yang harus diperbaiki adalah kemandirian serta pribadi para hakimnya. Penegak hukum, terutama hakim harus berpikiran progresif dan berani menafsirkan atau menemukan hukum agar mampu menjawab semua persoalanyang datang ke hadapan para hakim sehingga putusan yang dihasilkan
memenuhi rasa keadilan masyarakat.[43]
Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan memutuskan perkara korupsi yang berasal dari KPK. Bila mengikuti pemikiran awal, pengadilan ini seharusnya juga memeriksa dan memutus semua perkara korupsi yang dituntut penuntut umum pada KPK dan pada kejaksaan. Pasal 1 Angka 3 UU 30/2002 pun menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan pada semua lembaga, dengan segala cara dan pada setiap proses.
Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) didaerah terus menuai kontroversi. Desakan untuk dilakukan evaluasi terus mengalir. Komisi Yudisial (KY) bahkan menyimpulkan keseluruhan Tipikor mengalami ketimpangan dalam pengadilan khusus perkara korupsi tersebut. Komisioner Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY, Suparman Marzuki, mengatakan keberadaan Tipikor sejatinya belum siap dalam hal operasional. Hal itu karena dalam penelusuran yang dilakukan, didapati sejumlah fakta empiris bahwa Tipikor dapat merusak dan mengguncangkan penegakan hukum.[44]
Mahfud MD menilai banyak hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi tingkat daerah (Tipikorda) tidak memiliki rekam jejak yang jelas. Faktanya, banyak terjadi kasus vonis bebas dalam peradilan kasus korupsi  menanggapi terkuaknya kasus suap yang melibatkan hakim pengadilan keberadaan pengadilan tipikor daerah itu justru mengkhawatirkan terjadinya manipulasi peradilan.
Kepercayaan tehadap penegakan hukum (pada korups) di indonesia, yang sekarang sudah hilang rasa keadilannya, sudah tidak menjunjung tinggi norma kemanusiaan. koruptor dengan hasil yang didapatkan begitu banyak nilainya vonis hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan pencuri kelas menegah kebawah. tapi ya beginilah negara Indonesia, negara hukum, tapi hukumnya kalah sama orang yang mempunyai kemampuan untuk membayar (menyogok para penguasa).[45]
Maka permasalahan yang akan muncul pada pemerintah adalah pemerintah akan dituduh sebagai pengikut setia atau warisan Orde Baru  yang tidak memiliki kesungguhan untuk menegakkan hukum dan mewujudkan agenda reformasi yang proses-proses perjuanganya sudah banyak menimbulkan banyak korban jiwa dan materi. Akibat lebih jauh dari itu adalah terkaiat dengan pencitraan pemerintah yang seolah-olah pro ordebaru.[46]
BAB 111
PEMBAHASAN

3.1. Sanksi Pidana Bagi Koruptor Tidak Menimbulkan Efek Jera.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Memburuknya penegakan hukum di negeri ini lebih disebabkan kuatnya pengaruh, jaringan, sindikasi, atau sepak terjang koruptor yang lincah berkolaborasi dengan kekuatan lama yang sedang berkuasa dibandingkan kekuatan penegakan hukum. Komonikasi penegakan hukum kalah dalam bermaen atau memaenkan keadaan dibandingkan koruptornya. Penegakan hukum kadang kalah berani menghadapakan secara yuridis orang-orang kuat yang diduga terlibat penyalagunaan kekuasaan (abus of power).
Kemudian kalau berbicara mengenai sanksi pidana bagi koruptor tidak menimbulkan efek jera, hal ini terbukti dari beberapa kasus yang di vonis oleh majlis hakim sangat tidak seimbang dengan akibat yang ditimbukan, ada beberapa vonis hakim yang sangat tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan salah satunya: M. Nazaruddin divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda 200 juta, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terbukti bersalah. Meski putusan pemidanaan terhadapnya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Putusan majelis hakim Tipikor masih sangat mengecewakan.
Majelis hakim yang diketuai Darmawati Ningsih, memutus terdakwa terbukti menerima suap 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah, terkait proyek pembangunan wisma atlet. Hukuman buat M. Nazaruddin ringan dari tuntutan Jaksa yakni 7 tahun penjara.
Vonis untuk terdakwa M Nazaruddin dinilai belum memenuhi azas manfaat jika berkaca pada biaya yang telah dikeluarkan negara mulai dari proses penyelidikan hingga saat ini. Untuk itu, penanganan berbagai kasus yang diduga melibatkan Nazaruddin lainnya diharapkan dapat memenuhi azas tersebut.
Dalam kasus lain Mohammad El Idris dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap pembangunan wisma atlet untuk SEA Games ke-26 di Palembang. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama (2) tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp200  juta subsidair 6 bulan kurungan. Putusan ini sebagai mana disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim, Suwidya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor
Menurut hakim, M Nazaruddin dan Idris terbukti melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 huruf b UU No 31 tahun 1999 yang menyatakan  jo UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.  Putusan pidana penjara dalam persidangan kali ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yaitu 3 tahun 6 bulan. Sedangkan pidana dendanya bertambah dari Rp150 juta menjadi Rp200 juta. Majelis hakim menjelaskan kalau Idris terbukti memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara berupa cek kepada Seskemenpora Wafid Muharram sebesar Rp3,28 miliar dan mantan anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nazaruddin sebesar Rp4,34 miliar. 
Dari beberapa kasus tindan pidana korupsi yang telah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi diatas tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat indonisia, karna pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak memberikan epek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi dan tidak memberikan fungsi pencegahan bagi masyarakat luas, sehinggka putusan hakim tindak pidana korupsi tidak mencerminkan asas kesdilan bagi rakyat indonesia.
Putusan hakim merupaka wujud dari supremasi hukum yang ada di Indonesia yang menentukan rusak atau tidak suatu proses peradilan yang ada, sebab yang ditunggu oleh masyarakat hanyalah putusan hakim yang menentukan hal itusemua. Hal ini terbukti hakim sebagai benteng terakhir untun memcapai keadilan yang seadil-adilnya sebagai mana yang dicitakan oleh negara dan yang didambakan oleh masyarakat Indonesia khusunya.
Sementara itu,[47] esensi pemidanaa Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori. Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:
1.       Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.
2.       Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)
3.      Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.
Dari beberapa teorti tentang pemidanaan diatas sudah jelas bahwa tujuan pemidanaan untuk memberikan sanksi terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan akibat yang ditimbukan oleh pelaku tindak pidana supaya tercipta rasa keadilan. Sehinga proses pemidanaan itu sendiri memberikan efek jera pada pelaku tindak pidana dan menimbulkan pencegahan bagi orang yang akan melakukan tindak pidana.
Kemudia kalau dilihat Jenis sanksi Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Berdasarkan ketentuan Undang-  Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a.  Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi
1.    Pidana Mati, baik berdasarkan pasal 69 KUHP, UU PTPK maupun
berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar- benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak disertai merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar pasal yang diancam pidana mati. Misalnya pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama 20 tahun sebagaimana tercantum dalam pasal 340 KUHP, prinsip ini juga diikuti UU  lain termasuk UU PTPK.[48] dalam UU No.31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati di sini “dapat diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.
2.  Pidana Penjara, merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya dipergunkan demi kepentingan reclassering
(Pemasyarakatan atau pembinaan). Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagai berikut
·         Seumur hidup (tanpa minimal atau maksimal).
·         Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksimum umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 tahun dalam hal
·         Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun.
·         Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara 20 tahun.
·         Ada pemberatan umum yaitu, concursus atau pembarengan yang diatur dalam pasal 65 hingga pasal 70,  reseidve  atau pengulangan yang diatur dalam pasal 486 hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan pasal 52a tentang menyalahgunakan bendera RI.
·         Ada pemberatan khusus, seperti pasal 355 jo pasal 356 mengenai penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.
Semua tindak pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam pasal 2 ayat 1,3,12,12B ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas minimum. Batas minimum ditentukan dalam pasal-  pasal dalam UU ini sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai alternatif
penjara seumur hidup.[49]
3.Pidana Tambahan
a.       Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang  tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut.
b.      Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-  banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c.       Penuntupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun.
d.      Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e.       Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu  1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f.       Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999  dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
4.      Gugatan Perdata kepada ahli  warisnya, dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
a.       Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya.
b.      Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungankorporasi tersebut baik sendiri maupun bersama- sama.
c.       Dala hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
d.      Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
e.       Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor
Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi  2 jenis, yaitu tindak pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya terdapat dalam KUHP.
Adanya pembedaan ancaman pidana baik penjara maupun denda sesuai bobot delik termasuk kualifikasinya dalam UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Tahun 1999. Dengan demikian, ada yang diancam dengan pidana penjara maksimum seumur hidup (pasal 2), dan denda maksimum satu milyar.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka penjatuhan hukuman menurut beberapa pasal yaitu, pada pasal 5 yang rumusannya diadopsi dari pasal 209 KUHP, ancaman penjaranya turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi dendanya masih menjadi 250 juta rupiah. Pada pasal 6 rumusannya diadopsi dari pasal 210 KUHP (menyuap hakim, pidana penjaranya turun menjadi maksimum lima belas tahun, tetapi dendanya naik menjadi 750 juta rupiah. Pada pasal 7 yang rumusan deliknya diadopsi dari pasal 387 dan 388, ancaman pidana penjaranya juga turun menjadi maksimum tujuh tahun, tetapi dendanya  naik manjadi maksimum 350
juta rupiah.
            Pada pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan banyak 750 juta rupiah, pidana denda pada pasal 11sama hal nya dengan pasal 8 yang membedakannya hanya denda pidanya yaitu 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan  pidana denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 250 juta rupiah. paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 150 juta rupiah dan paling.
            Pemidanaan pada pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling sedkit 2 tahun dan paling lama 7 tahun dengan denda paling sedikit 100 juta rupiah dan paling banyak 350 juta rupiah. Pada pasal 12 dapat dipidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak satu milyar.
            Dari beberapa sanksi pemidanaan terhadap korupsi Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Berdasarkan ketentuan Undang-  Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, mualai dari hukuman mati samapai pidana pejara, hal ini sudah diatur dalam undang-undang tersebu, akan tetapi pada faktanya putusan hakim selalu tidak seimbang dengan apa yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, bahkan beberapa kalangan berpendapat salah satunya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie[50] mengaku kecewa terhadap vonis M. Nazaruddin. Menurutnya, vonis tersebut tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.   Vonis yang terbilang ringan untuk kasus korupsi besar dalam sejarah Indonesia. Seharusnya tuntutan dan putusan yang dijatuhkan sebanding dengan kualitas perbuatannya.
Bahkan Aboe Bakar Habsy (kapoksi fraksi partai keadilan sejahtera komisi tiga DPR)[51]  juga mengingatkan biaya proses pemulangan Nazaruddin dari Kolombia ke Indonesia yang begitu besar. Misalnya carter pesawat butuh Rp 4 miliar. Belum lagi ongkos pengejaran yang berlangsung hingga berbulan-bulan. Ini menunjukkan bahwa penanganan perkara Nazaruddin hanya berat diongkos. Meski tak sesuai dengan keinginan masyarakat, penanganan perkara korupsi harus menyelesaikan persoalan kerugian negara. Menjadi aneh jika justru kegiatan peradilan yang dilakukan membuat kita tekor. Gimana tidak ironis!
Dari sanksi pemidanaan yang sangat ringan sehinga tidak memeberikan  efek jera bagi koruptor dan tidak memberikan efek pencegahan bagi yang akan melakukanya karna melihat dari beberapa putusan yang sangat ringan, padahal korupsi itu merupakan kejahatan yang luar biasa dan penanganyapun harus luar biasa, akan tetapi tidak seperti apa yang di cita-citak oleh negara.
Sementara itu kasus-kasus kelas tikus disejumlah daerah dijadikan sebagai politik pencintraan yang mengontungkan rezim dan kekuatan politik yang dikendarainya . beberapa pejabat atau politisi didaerah terus diburu oleh pola-pola politisasi hukum dan kelinci percobaan dengan target “pokoknya bisa diseret kepengadilan” meski dengan bukti-bukti yang tidak mendukung sama sekali, atau condong menggunakan praduga bersalah.
Sementara di sisi lain, implimentasi sistem peradilan, justru membut seseorang atau beberapa orang ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tak bersalah dari rezim yang berkuasa, diposisikan tidak berdaya dan tidak mempunya nilai tawar saat berhadapan dengan peradilan. Dunia peradilan akhirnya tidak ubahnya suatu ruang eksklusif bagi tiran-tiran baru yang baru merajalela dalam menentukan hitam putihnya norma hukum.
Dunia peradilan masih bisa belum diharapkan berpihak pada pencari keadilan yang egaliter, karena politik yang tebang pilih, yang memperlakuakan kader, rekanan, dan asal partai politik masih sangat kuat mencengkramnya. Dunia peradilan masih dikuasai para elit yang berkolaborasi dengan gabungan kekuatan mesin politik ekonomi.
Sementara di sisi lain, implementasi sistem peradilan, justru membuat seseorang atau beberapa orang ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tak bersalah dari rezim berkuasa, diposisikan tidak berdaya dan tidak mempunya nilai tawar saat berhadapan dengan duniya peradilan. Dunia peradilan akhinya tidak ubahnya sutu ruang eksklussif bagi tiran-tiran baru yang merajalela dalam menemuakan hitam putihnyanoma hukum.
Dunia peradilan masih belum bisa diharapkan  berpihak kepeda pencari keadilan yang egaliter, karna politik tebang pilih. Dunia peradilan masih menjadi medan adigan adigung elet durjana yang hebat (pandai) berkolabrasi dengan gabungan kekuatan mesin politik-ekonomi.

3.2.Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Bagi koruptor
Kalau kita memasuki lembaga-lembaga pengadilan di inggris, kita akan menemukan motto yang berbunyi “berikan aku hakim yang baik, meski ditanganku ada hukum yang buruk”, motto ini untuk mengigatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara suap dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, ada pasal-pasal yang kabur atau norma-norma yang berkatagori lemah dan mengondang banyak penafsiran (interpretasi).
Dari motto tersebut, hakim diingatkan, bahwa kata kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) lebih dominan berada di dalam kekuasaanya, bukan diletakkan pada produk hukumnya, produk yuridisnya boleh saja kurang, kabur, dan bahkan cacat, tetapi mentalitas hakim dilarang cacat, tidaklah boleh buruk dibandingkan kondisi produk hukumnya.
Berkat motto yang berhasil dijadikan kekuatan moral (moral force) oleh para hakim tersebut, dampaknya sangat terasa. Pelaksanaan sistem peradilan pidana, terutama dalam penangan kasus-kasus besar seperti tndak pidana korupsi, dapat berjalan dengan baik. Vonis yang dijatuhkan oleh hakim bukan mencerminkan keinginan terdakwahnya, tetapi benar-benar mencerminkan keinginan kuat dalam menegakkan keadilan.
Kemudin kalau berbicara sistem peradilan yang ada di indonisia, khususnya yang berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi koruptor sebagai mana yang telah dijatuhkan kepada beberapa narapidana korupsi salah satunya adalah. M. Nazaruddin divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda 200 juta, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terbukti bersalah. Meski putusan pemidanaan terhadapnya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Putusan majelis hakim Tipikor masih sangat mengecewakan.
Majelis hakim yang diketuai Darmawati Ningsih, memutus terdakwa terbukti menerima suap 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah, terkait proyek pembangunan wisma atlet. Hukuman buat M. Nazaruddin ringan dari tuntutan Jaksa yakni 7 tahun penjara.
Tersangka kasus suap cek pelawat Nunun Nurbaeti Divonis 2 tahun 6 bulan serta denda Rp 150 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Putusan ini lebih rendah dari tunutan JPU KPK yaitu empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara.
Dalam kasus lain Mohammad El Idris dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap pembangunan wisma atlet untuk SEA Games ke-26 di Palembang. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama (2) tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp200  juta subsidair 6 bulan kurungan. Putusan ini sebagai mana disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim, Suwidya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor.
Menurut hakim, Idris terbukti melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 huruf b UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.  Putusan pidana penjara dalam persidangan kali ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yaitu 3 tahun 6 bulan. Sedangkan pidana dendanya bertambah dari Rp150 juta menjadi Rp200 juta. Majelis hakim menjelaskan kalau Idris terbukti memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara berupa cek kepada Seskemenpora Wafid Muharram sebesar Rp3,28 miliar dan mantan anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nazaruddin sebesar Rp4,34 miliar.
Dari bebera kasus tersebut majlis hakim memutus suatu perkara atas dasar keyakinan hakim, kepercayaan hakim didasarkan atas fakta-fakta persidangan yang ada. Seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya memiliki kewenangan yang cukup istimewa yang telah dilimpahkan undang-undang kepadanya. Dengan sebuah ketukan palu seorang Hakim (Majelis Hakim) bisa mengalihkan hak kepemilikan kebendaan seseorang, mencabut kebebasan seseorang, bahkan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Kewenangan yang sangat besar ini melahirkan sebuah tanggung jawab yang sangat besar bagi seorang Hakim. Seorang Hakim dalam sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks hukum pidana seorang Hakim memiliki suatu peranan dan tanggung jawab yang lebih besar lagi. Bahwa seorang Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Keyakinan Hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat yang harus ada bagi proses lahirnya suatu pendirian hukum (vonis). Hakim tidak boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus, tapi harus betul-betul menyusun keyakinannya terhadap berbagai fakta dan keadaan objektif tersebut dan keyakinan bahwa terdakwa memang betul-betul bersalah. Sistem pembuktian pidana seperti ini mengakibatkan walaupun bukti-bukti dalam suatu kasus sudah bertumpuk-tumpuk, sudah memenuhi batas minimum pembuktian atau bahkan lebih, jika Hakim tidak sampai pada keyakinannya terhadap kesalahan terdakwa maka seharusnya ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa.
Kemudian berbicara masalahah keyakinan hakim, sesungguhnya keharusan adanya keyakinan Hakim bagi suatu proses lahirnya pendirian hukum (vonis), merupakan syarat yang tidak bisa diabaikan oleh para Hakim ketika akan melahirkan suatu putusan. Keharusan adanya keyakinan Hakim ini bagi suatu proses lahirnya pendirian hukum (vonis) tidak semata-mata sebagai sebuah tuntutan formalitas belaka, tapi ada tujuan dan maksud yang hendak dicapai oleh sistem hukum kita. Dan nyata-nyata merupakan sesuatu yang sangat penting keberadaannya untuk mengupayakan totalitas keterlibatan Hakim dan pengingat baginya akan tanggung jawabnya yang sangat besar dalam melahirkan suatu putusan (vonis).
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi koruptor, mengenai syrat-syarat putusan dalampemeiksaan perkara ditutur dalam KUHAP pasal 197 syrat-syarat tersebut dimua dalam sebuah putusan. Bebicar pertimbagan yang dimuat dalam sutu putusan hakim ada beberapahal yang harus di muat:
a.       Pertimbagan (menimbang) dengan mengotip isi tuntutan pidana.
b.      Pertimbangan (menimbang) dengan mengotip pembelaan.
c.       Pertimbangan (menimbang) dengan mengotip fakta-fakta yang didapet dalam persidangan.
d.      Pertimbangan (menimbang) tentang tindak pidana yang didakwakan dengan rinci unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
e.       Pertimbangan (menimbang) tentang fakta-fakta yang ada hubunganya dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
f.       Pertmbangan-pertimbangan lain-lainya dalam hubungannya dengan surat dakwaan.
g.      Pertimbangan tentang JPU dalam surat tuntutan atau repliknya dan pendapat penasehat hukum dalam pleidooi maupun dupliknya.
h.      Pertimbangan tuntutan pidana JPU.
i.        Pertimbangan tentang terbukti tidaknya dakwaan.
j.        Pernyataan tentang kesalahan terdakwah (wajib bila terbukti).
k.      Petimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan (apabiala menurut majelis dakwaan terbukti).
l.        Pertimbangan tentang lain-lain, misalnya tentang penahanan, mengenai barangbukti.
Sehingga dari pertimbangan-pertimbangan itulah hakim dapat memutus sesuai dengan keyakinanya berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan. Seorang Hakim hendaknya selalu mendengarkan hati nuraninya ketika akan memutus suatu perkara. Apabila seorang Hakim belum sampai pada keyakinannya maka hendaknya ia tidak menjatuhkan vonis terhadap terdakwa. Apapun isi vonis yang hendak dibuatnya maka Hakim haruslah yakin akan apa yang diputuskannya, apakah keyakinan terdakwa bersalah dengan menjatuhkan vonis hukuman, ataupun keyakinan terdakwa tidak bersalah dan kemudian membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntuan hukum.
Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat. Aparat hukum terutama aparat Pengadilan khusus (pengadilan tindak pidana korupsi) hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.[52]
Tetapi memang itulah kenyataannya. Keadilan di negeri ini warnanya masih samar, kalau tidak disebut gelap dan kelam juga. Apalagi kalau sudah terkait dengan kekuasaan. Rakyat janganlah terlalu banyak berharap terhdap para penegak hukum, kecuali adanya trobosan baru dalam repormasi penegakan hukum sesuai dengan apa yang negara citakan yaitu suremasi hukum.

  
BAB IV
PENUTUP

4.1.  Kesimpulan
Tujuan dari penulisan sikripsi ini adalah untuk mengetahui keberadaan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi setelah berlakunya undang-undang No.20 tahun 2001 tentang perubahan atasa undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi dan memperdalam pengetahuan penulis mengenai proses peradilan terhadap keputusa hakim terhadap tindak pidana korusi yang tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan.
Dari hasil analis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya penulis dapat menyimpulka beberapa hal yang berkaitan denga sitem perdilan terhadap pelaku tidak pidana korupsi yang terjadi di Idonisia.
1.      Sanksi pemidanaan terhadap koruptor tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan, sehingga tidak memberikan efek jera dan pencegahan. Padahal sesuwai dengan undang-undang No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi pasal 26 ayat 2 yang menyatakan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana yang di maksud ayat 1 membawahkan 4 (empet) bidang yang terdiri atas:
a.       Bidang pencegahan
b.      Bidang penindakan
c.       Bidang informasi dan data
d.      Bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat.
Akan tetapi semuanya itu tidak akan berfungsi karana penindakan yang diberikan tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan oleh para koruptor.
2.      Penegakan hukum terhadap para koruptor tidak sesuai dengan apa yang negara citakan, hal ini terbukti dari beberapa kasus koruptor yang di tangani oleh pengadilan tindak pidana korupsi di beberapa daerah di vonis bebas dan di vonis sangat rendah tidak sesuwai dengan akibat yang di timbulkan, sehinga masyaraka berasumsi hukum seperi “pisau hanya kebah yang tajam tapi keatas tumpul” ini megindikasikan kalau penegakan hukum tebang pilih, padaha hukum di Indonesia menegenal asas persamaan dimata hukum, sesuai dengan undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 1 segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
3.      Supremasi hukum di Indonesia yang merupakan jargon yang makin hari kian santer disurakan dalam rangka melakukan perbaikan hukum baik dalam arti pembangonan hukum (building of low) maupun bembinaan hukum, akan tetapi dalam hai ini semuanya akan terasa sirna akibat dari ketidak seimbangan dari beberapa putusan hakim terhapa koruptor yang tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkan sehingga supremasi hukum masih tidak mencerminkan rasa keadilan. Mentalitas buruk para penegak hukum memang masih menjadi virus utama yang membuat politik penanggulangan korupsi rentan diserang. Sementara di sisi lain, implementasi sistem peradilan, justru membuat seseorang atau beberapa orang ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tak bersalah dari rezim berkuasa, diposisikan tidak berdaya dan tidak mempunya nilai tawar saat berhadapan dengan duniya peradilan. Dunia peradilan akhinya tidak ubahnya sutu ruang eksklussif bagi tiran-tiran baru yang merajalela dalam menemuakan hitam putihnya noma hukum.

4.2.            Saran
Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang luarbiasa yang tidak bisa terkendali, kejahatan korupsi  akan membawa bencana tidak hanya pada perekonomian nasional tetapi jugak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak dapat lagi di golongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luarbiasa (extra ordinary crime)
Dari beberapa sanksi yang telah diberikan kepaka pelaku tindak pidana korupsi, ada beberapa hal yang harus diper baiki yaitu tentang sistem pemidaan terhadap pelaku koruptor supaya tercita keseimbangan, keadilan dengan apa yang telah diperbuatnya salah satunya:
1.      Pemberian sanksi pemidanaan seharusnya diberikan setinggi-tingginya agar supaya mempunya efek jera dan efek pencegahan, sehingga dari faktor-faktor itu akan menciptakan rasa ketakutan terhadap setiap orang untuk melakukan tidak pidana korupsi tersebut dan negara akan bebas dari kejahatan korupsi.
2.      Keberadaan peradilan tindak pidana korupsi yang ada di beberapa daera perlu dikaji ulang hal ini terbukti dari beberapa kasus yang di tanganinya diputus bebas dan bakan akhir-ahir ini ada salah satu hakim tindak pidana korusi yang menerima suap, dan ini akan membuat citra peradilan khususnya peradilan tipikor akan semakin tidak dipercaya lagi oleh masyarakat, padal harapan satu-satunya masarakat hanyalah dunia peradilan yang akan memberikan  keadilan.
3.       Dalam undang- undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, di dalam ungdang-undang tersebut memberi ruang kepada penegak hukum dalam hal memutuskan sutu pekara tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dari beberapa kasus yang diputus sangat ringan dan tidak mencerminkan rasa keadilan.



[1] Lili rasyidi dan Lbwiyasa putra, hukum sebagai satuan sistem. Rosdakarya,bandung, 1993,h,58
[2] Perbedaan arti pembangunan hukum dan pembinaan hukum dikemukakan oleh Baharuddin Lopa, kejahatan korupsi dan penegakan hukum penerbit kompas,2001,jakarta, h. 132-133.

[3] Abdul Wahid &Muhibbin. Etika Profesi Hukum. Malang: Bayu Media publishing. 2009. hai 152
[4] Tentang M. Amir, Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarata: Rajawali Press. 1996. hal 10-11
[5] Ali Aspandi, menggugat sistem peradilan Indonisia yang penuh ketidakpastian surabaya, 2002, h23.
[8] berita.yahoo.com
[9] Op. Cit.
[10] www. waspada.co.id/
[12] Penjelasan atas UU RI No.30  tahun 2002 tentang  pemberantasan tindak pidana korupsi
[13] Dewi, 2005, hal: 148
[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,penerbit: Liberty,Jogyakarta,1993,Hal. 174
[15] Yusti Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim. Yokyakarta. PT.DietaPersada.srikandi publising 2005. Hal 53
[16]  Ibid, h. 53
[17] Op. Cit.h.57
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Op.cip.
[23] Andi Hamzah, 2005. h.4
[27] Adami Chazawi hukum pidana materiil dan pormil korupsi di indonisia, banyumedia publishing 2005 hal 20
[28] Ibid hal 22
[29] Ibid.hal 25-26
[31] Adami Chazawi hukum pidana materiil dan pormil korupsi di indonisia, banyumedia publishing 2005 hal 134-138
[32] http://id.shvoong.com
[33] http://www.wikimu.com
[34] Ibid h. 376-382
[35] http://law.ui.ac.id
[36] http://www.metrosiantar.com
[37] Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 1-2.
[38] http://politik.kompasiana.com
[39] http://ervanh.wordpress.com
[40] James E. Alt and David Dreyer Lassen, Enforcement and Public Corruption: Evidence from US States, EPRU Working
Paper Series, 2010, hal. 1
[41] http://www.antikorupsi.org
[42] http://hukum.kompasiana.com
[43] http://journal.uii.ac.id
[44] http://www.waspada.co.id
[45] http://m134hbos.wordpress.com
[46] Abdul wahid & Moh Muhibin etika profesi hukum  bayumedia publishing jatim. 2009 . h 9
[48] Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi
Publishing, Jakarta 2010, halaman 7. 
[49] Ibid, halaman 7- 9
[52] http://s2hukum.blogspot.com