Minggu, 28 Desember 2014

Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap (Black Market)

Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap (Black Market)

Istilah black market diterjemahkan sebagai pasar gelap oleh kamus “English-Indonesia” yang kami akses dari situs kamus.ugm.ac.id. Kemudian, menurut buku “Belajar Hidup Bertanggung Jawab, Menangkal Narkoba dan Kekerasan” yang ditulis oleh Lydia Herlina Martono et.al. (hlm. 20), suatu perdagangan yang dilakukan di pasar gelap, artinya dilakukan di luar jalur resmi sebab melanggar hukum.

Mahkamah Agung dalam Putusan No. 527 K/Pdt/2006 juga menggunakan istilah black market untuk menyebut suatu perdagangan yang tidak resmi.

Cakupan istilah pasar gelap ini cukup luas, selama perdagangan tersebut melanggar hukum dan dilakukan di luar jalur resmi, maka dapat disebut sebagai suatu pasar gelap. Misalnya, barang (telepon selular) yang diperdagangkan tersebut merupakan hasil pencurian, penyelundupan, atau tidak dilengkapi perizinan untuk dapat diperdagangkan, sehingga melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.  

Dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah adanya sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer).

Sehingga, jika telepon selular yang diperdagangkan itu diperoleh dari hasil pencurian, penyelundupan, penadahan atau diperoleh dengan cara-cara lain yang melanggar undang-undang, dapat dikatakan jual beli tersebut tidak resmi/tidak sah dan terhadap pelakunya dapat dijerat dengan pasal-pasal pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Selain itu, telepon selular termasuk produk telematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.: 19/M-DAG/PER/5/2009 (“Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009”). Definisi produk telematika menurut Pasal 1 angka 1 Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 adalah sebagai berikut:

“Produk telematika adalah produk dari kelompok industri perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya, industri perangkat penyiaran dan pendukungnya, industri komputer dan peralatannya, industri perangkat lunak dan konten multimedia, industri kreatif teknologi informasi, dan komunikasi.”

Telepon selular, menurut ketentuan Lampiran I Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009, merupakan salah satu produk yang wajib dijual dengan disertai kartu jaminan/garansi purna jual dalam Bahasa Indonesia.

Hal tersebut terkait juga pengaturan Pasal 2 ayat (1) Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:

“Setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeriwajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan (garansi purna jual) dalam Bahasa Indonesia.

Karena itu, terhadap penjual telepon selular yang melanggar ketentuanPasal 2 ayat (1) Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 berlaku ketentuan Pasal 22 Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat [1], dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).”

Jika kita melihat pada ketentuan UUPK, Pasal 8 ayat (1) huruf jUUPK menyatakan bahwa seorang pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap pelanggaran Pasal 8 UUK ini pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar (lihat Pasal 62 ayat [1] UUPK).

Maka, berdasarkan pengaturan Pasal 62 ayat [1] jo. Pasal 8 ayat (1) UUPK seorang penjual telepon selular yang tidak memberikan kartu garansi dan layanan purna jual dapat dikenai sanksi pidana. Lebih lanjut, mengenai penuntutan berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) dapat disimak juga artikel iPad Dijual Tanpa Bahasa Indonesia.


Kriteria Seorang Penadah



Kriteria Seorang Penadah

Penadahan dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") yang berbunyi:

“Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900, dihukum:
1.    karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.
2.    barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.”

Terkait pasal di atas, R. Soesilo menjelaskan dalam bukunya berjudulKitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa:
1.    yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” itu sebenarnya hanya perbuatan  yang disebutkan pada sub 1 dari pasal ini.
2.    Perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian:
a.    membeli, menyewa, dsb (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan
b. menjual, menukarkan, menggadaikan, dsb dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan
3.    Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan. Di sini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai)  bahwa barang itu bukan barang “terang”.
Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan.
4.    Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dll.


Jadi jika barang tersebut dibeli dengan keadaan atau cara beli yang tidak wajar, dan dilihat bahwa harga dari barang tersebut juga jauh dari harga yang seharusnya, maka sebagai pembeli seharusnya mengetahui bahwa ada kemungkinan barang tersebut berasal dari kejahatan. Jika orang tersebut tetap membeli barang tersebut, maka si pembeli dapat dianggap melakukan tindak pidana penadahan.