Senin, 28 September 2015

POLITIK HUKUM AGRARIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum, dimana tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat diberbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan masyarakat). Paham Negara Hukum Indonesia mendudukan kepentingan orang perorang secara seimbang dengan kepentingan umum. Negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai.
Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerukan ikut sertanya semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia ialah dengan cara mempergunakan hukum sebagai alatnya. Dengan kata lain hukum hukum dipakai sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya dibidang agraria.
Pada jaman kolonial tujuan politik hukum pemerintah penjajah jelas berorientasi pada kepentingan penguasa sendiri. Sedang politik hukum indonesia, dalam hal ini politik hukum agraria nasional merupakan alat bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera, bahagia, adil dan makmur.
Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik hukum agraria nasional memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupakan hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang mengandung kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis hukum adat itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukunya. Hal inilah dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pembentukan hukum agraria nasional.
Pembahasan mengenai struktur hukum tanah nasional tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah tentang perkembangan hukum agraria di Indonesia pernah mengalami jaman penjajahan yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan hukumnya. Secara garis besar sejarah hukum agraria dikelompokkan menjadi dua yaitu pada jaman sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.

Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan tahun 1870.

1.2  Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan makalah saya ini adalah :
Menjelaskan proses perkembangan politik hukum agraria di Indonesia yang sebelumnya dikenal pada jaman kolonial Belanda sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria atau sering disebut dengan masyarakat lokal hukum adat dan hukum barat serta menjelaskan perkembangan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria dari jaman kolonial hingga era reformasi.

1.3  Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan penulisan makalah saya sebagai berikut :
1.           Memberikan pengertian hukum agraria
2.           Menjelaskan reformasi hukum agraria yang telah mengalami berbagai perubahan dari masa kolonial sampai pada reformasi sekarang
3.           Memberi informasi bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat dalam bidang pertanahan yang kadang kala menuju pada konflik pertanahan yang dapat merugikan dan jatuhnya korban jiwa seperti yang telah terjadi sebelumnya.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan makalah saya ini yaitu :
Memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya penataan kepemilikan tanah baik secara hukum adat maupun oleh badan pertanahan nasional yang seharusnya menjadi tugas penting keterlipatan stakeholder dan seluruh elemen masyarakat banyak untuk menghindari konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal yang dapat merusak moral bangsa ini maka dari pada itu seharusnya pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat harus lebih tanggap dalam hal pertanahan baik secara daerah maupun nasional.



  
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA

Sebelum membahas tentang definisi Hukum Agraria tidak ada salahnya kita pahami terlebih dahulu definsi hukum dan fungsinya secara umum. Ada berbagai pendapat yang berbeda mengenai definisi hukum dari masing-masing pakar hukum yang diakibatkan oleh sebuah kenyataan bahwa ternyata kita tidak mungkin mendefinisikan hukum secara tepat, disamping itu sudut pandang yang digunakan untuk menelaah hukum juga berbeda-beda. Hukum merupakan objek ilmu hukum di mana berbeda dengan objek ilmu-ilmu lain yang lebih eksak dan memiliki sifat abstrak.

2.1 PENGERTIAN HUKUM
Menurut Friedman hukum berada di awing-awang, tidak tampak dan tidak terasa bahkan biasanya selembut udara dalam sentuhan normal. Hukum adalah sebuah kata dengan banyak arti, selicin kaca, segesit gelembung sabun. Hukum adalah konsep, abstraksi, konstruksi sosial dan bahkan objek nyata di dunia sekitar kita.
Menurut Black menyatakan bahwa “law is government social control” hukum merupakan pengendalian sosial pemerintah, yang merupakan legislasi, litigasi, dan ajudikasi. Balack membedakan antara perilaku yang dikendalikan oleh bentuk pengendalian sosial lainnya seperti sopan santun, adat istiadat dan birokrasi.
Menrut Hugo Grotius (1583-1645) menyatakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral yang sesuai dengan apa yang benar.
Menurut Thomas Hobbes (1588-1645) menyatakan bahwa civil law adalah perintah-perintah hukum yang didukung oleh kekuasaan tertinggi negara itu, mengenai tindakan-tindakan oleh kekuasaan negara itu. Mengenai tindakan-tindakan dimasa akan datang yang akan dilakukan oleh subjeknya.
Menurut Prof. Padmo Wahyono, SH menyatakan pengertian hukum adalah alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial.

2.2 PENGERTIAN AGRARIA DAN HUKUM AGRARIA
1. Pengertian agraria dalam bahasa umum
Dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanahan. Dalam kamus besar bahasa indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Sebagai kata sifat agraris dipergunakan untuk membedkan corak kehidupan ekonomi masyarakat pertanian di pedesaan dengan masyarakat non-agraris diperkotaan.
2. Pengertian agraria dilikungan Administrasi Pemerintah: perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan.
3. Pengertian agraria dalam UUPA
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak memberikan batasan secara tegas pengertian agraria, tetapi istilah agraria ditemukan diberbagai bidang ketentuan dalam UU tersebut yaitu : Konsideran huruf a21 dan penjelasan UU22.
Dari beberapa rumusan ini maka dapat disimpulkan :
a.    Kata agraris dipergunakan untuk menggambarkan corak kehidupan dari susunan kehidupan, termasuk perekonomian rakyat indonesia.
b.    Materi yang diatur menyangkut pengelolahan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
c.     Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah, hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan serta hak guna ruang angkasa.
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Menurut Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan tersebut.
Menurut Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan; Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.




BAB III
PEMBAHASAN

Pada awal penjajahan Belanda, tanah tidak diatur secara sistematis. Barulah pada masa penjajah Inggris, tanah untuk pertama kali diatur. Penjajah Inggris di bawah Stamford Raffles (1811) membentuk Komisi McKenzie untuk menelaah masalah agraria dan merekomendasi cara untuk memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi ini menetapkan bahwa seluruh tanah hanya dimiliki raja atau pemerintah. Ketika Belanda kembali menjajah menggantikan Inggris, pada 1830 diperkenalkan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Seperlima dari tanah petani harus menanam tanaman yang telah ditentukan pemerintah kolonial Belanda, antara lain: tembakau, tebu, teh, kopi dan berbagai tanaman untuk ekspor. Pada masa ini, pihak swasta Belanda memperjuangkan hak milik tanah pribumi (eigendom). Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet yang mengatur tentang tanah hak milik mutlak (eigendom) bagi pribumi dan tanah negara. Masa ini sering disebut sebagai periode liberal (1870-1900). Sejak itu modal swasta Belanda dan Eropa masuk ke sektor perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Mereka menyewa tanah rakyat dengan skala tak terbatas. Pengelolaan liberal ini justru membuat petani hanya menjadi buruh tani, sementara raja-raja cenderung memberi konsesi lahan kepada pihak asing. Berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Di masa penjajahan Jepang, banyak perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani malah diwajibkan membayar pajak hingga 40% dari hasil produksi.

3.1   Hukum Agraria Kolonial.
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1.  Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2.   Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1.Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan  berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Sebelum tahun 1870.
a.      Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi. Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain;
1).    Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2).    Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3).    Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
b.  Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya.
a.   Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa;
b.   Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa  dari penduduk;
c.   Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
d.  Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
e.   Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f.    Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
3. Masa Pemerintahan Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pahaj bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.
4.Masa Pemerintahan Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda. Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a.            Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan.
1.      Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.
2.      Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
b.      Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1.    Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2.    Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom). Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.
3.    Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia.  Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni
1.      Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;
2.      Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti  Arab, India, dan lain-lain;
3.      Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang sudah diuraikan di atas :
1.  Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-udang  Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis. Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan hukum adatnya masing-masing. Demikian pula dengan kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan adalah hukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum antara orang-orang pribumi dan orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar Golongan atau hukum intergentiel. Dalam peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang berlaku. Pertanyaan itu timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut apayang disebut asas persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel hukum yang  berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya yang superior atau dihargai lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa hukum antar golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu yang harus diberlakukan.  Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa. Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal yaitu :
1)      Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah tersebut;
2)      Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak opstal tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada pemegang haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a).    Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b).    Dapat dijadikan jaminan utang;
c).    Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4)  Tanah hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.

4. Sesudah Tahun 1942.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c.  Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d.  Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e.   Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a.       Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b.      Hak perorangan atas tanah :
1)      Hak milik, hak yayasan;                             4)      Hak pakai;
2)      Hak wenang pilih, hak mendahulu;             5)      Hak imbal jabatan;
3)      Hak menikmati hasil;                                 6)      Hak wenang beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

3.2. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut:
a.      Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
b.      Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
c.      Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960. Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1.    Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2.    Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3.    Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4.    Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.

3.3  Masa kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, pemerintahan Soekarno – Hatta sudah memberi perhatian pada masalah agraria. Pemerintah membentuk Panitia Agraria berdasarkan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Panitia Agraria ini diketuai Sarimin Reksodihardjo. Tugasnya adalah memberi usulan dan pemikiran untuk membuat Undang-Undang Agraria menggantikan UU Kolonial. Inilah cikal bakal lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sering disingkat UUPA. Lahirnya UUPA ini melalui proses yang panjang dengan berganti Panitia Agraria. Mulai dari Panitia Agraria Jogja (1948), kemudian Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1956), Rancangan Soenario (1958), sampai dengan Rancangan Sadjarwo (1960). Proses panjang ini tidak lepas dari persoalan negara baru yang menyesuaikan berbagai aturan. Di samping itu terjadi pula perdebatan filosofis dan teknis tentang arah UUPA. Namun, semua rancangan UUPA itu sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan pada rakyat dan petani. Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di bawah Soewahjo Soemodilogo berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang
pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud ada pembagian hasil yang adil pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA, seperti kata Presiden Soekarno, adalah tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari berbagai macam penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung Karno menyebut, “Land-reform adalah bagian mutlak dari Revolusi kita.” Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963, tanggal 24
September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya pada masa Orde Lama, UUPA ini tidak sempat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.

3.4  Masa Orde Baru dan Reformasi
Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi perubahan haluan dan orientasi pembangunan. Prioritasnya adalah stabilisasi ekonomi, pembangunan basis industri, penciptaan lapangan kerja, dan yang tak kalah penting adalah swasembada pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk “kotak”. Namun, seiring dengan maraknya kasus sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta Menteri Riset Prof. Soemitro Djojohadikusumo membentuk sebuah tim untuk mengkaji masalah pertanahan. Hasilnya, pada 1979, pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960 tetap sah sebagai panduan dasar menyelesaikan persoalan pertanahan. Pada 1981, pemerintah mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi masyarakat ekononi lemah. Program sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun, implementasi UUPA itu sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah Orde Baru terlanjur mengandalkan Revolusi Hijau dan Trilogi Pembangunan tanpa Reforma Agraria. Pasca Orde Baru, ada upaya untuk melaksanakan dan menyempurnakan UUPA dengan lahirnya Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir dari MPR hasil Pemilu pertama di era reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu merupakan produk reformasi yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintahan pasca Orde Baru juga belum melaksanakan amanah Tap MPR itu.




BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Dengan adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi pecerahan kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui oleh SK Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional. Dimana masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang secara tegas diatur dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai titik awal dasar politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai warga negara sangat merindukan upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham konstitusionalisme yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha mewujudkan keadilan agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.

4.2 SARAN
            Kesemua hal ini selayaknya dijadikan alas bagi kehadiran upaya-upaya dan sungguh-sungguh mengerjakan dan membentuk kembali birokrasi agraria dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang harus ditempatkan seiring sejalan dengan upaya sungguh-sungguh mengubah posisi rakyat miskin pedesaan dari penduduk menjadi warga negara serta menjamin hak-hak atas kepunyaan kepemilikan tanah milik rakyat dalam hal ini diberikan kemudahan dari Badan Pertanahan Nasional untuk mendata serta mengeluarkan sertifat tanah warga negara dengan harga terjangkau.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.
John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999


HUKUM PIDANA EKONOMI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
Persepsi terhadap tindak pidana ekonomi selalu diindektikkan dengan tindak pidana penyeludupan, seolah-olah tindak pidana ekonomi tersebut hanya tindak pidana penyeludupan. Hal ini tidak tepat karena tindak pidana penyeludupan adalah bagian daritindak pidana ekonomi. Pemahaman tindak pidana ekonomi tampaknya belummemasyarakatkan sehingga pemanfaatan pasal 1 sub 3c undang-undang nomor 7/Drt/1995yang memungkinkan peraturan tertentu dapat mempergunakan sanksi tindak pidanaekonomi yang cukup berat, masih langka.Kelangkaan mempergunakan sanksi tindak pidana ekonomi tersebut, jika diamati berdasarkan tujuan tindak pidana ekonomi yakni mengamankan dan mendukung usaha-usaha pemerintah guna meningkatkan kemakmuran rakyat, berdampak seolah-olah peraturan-peraturan tentang tindak pidana ekonomi, belum sinkron.
Peranan tindak pidana ekonomi guna melindungi perangkat keras dari proses produksi barang/jasa misalnyauang(money), pasar(market), belum tampak saat ini sehingga menimbulkan keguncangan-keguncangan sebagaimana yang terjadi pada bulan Maret/April 1993 tentang pemalsuansaham pada bursa saham.Jadi pengusaha memang mau tidak mau, pikiran dan hati sanubarinya enggan bahkanalergi terhadap perkataan tindak pidana ekonomi tersebut dapat membatasi usaha-usahanyauntuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Dari segi kemakmuaran rakyat, pengusaha- pengusaha yang berkeinginan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, seyogianya dapatmengendalikan diri jika pengusaha-pengusaha tersebut memiliki kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hal-hal tersebut di atas menimbulkan permasalahan tentang peranan tindak pidanaekonomi khususnya dalam pengamanan dan pendukung kegiatan-kegiatan pembangunan Nasional. Sebagaimana tindak pidana lainya tindak pidana ekonomi juga merupakan salahsatu bentuk kejahatan, namun berbeda dengan kejahatan lainnya kejahatan ekonomi adalahsuatu bentuk kejahatan yang dilakukakan terhadap semua bentuk kegiatan ekonomi termasuk juga dalam bidang keuangan.

1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan sekaligusmerupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
a.    Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi. .?
b.    Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Secara Umum Dan BersifatMerugikan Negara?

1.3 Tujuan Penulisan
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a.   Mengetahui Apa yang saja ruang lingkup tindak pidana ekonomi.
b.  Mengetahui dan memahami Tindak Pidana Yang berkaitan dengan Perekonomian Secara Umum dan Bersifat Merugikan Negara.

 1.4 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku referensi yang berhubungan dengan tindak pidana ekonomi dan situs internet yang secarakhusus membahas tentang tindak pidana ekonomi.

1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a.    Sebagai media untuk menambah wawasan bagi pembacanya.
b.    Bahan referensi aktual.c. Bahan bacaan dan pengetahuan




                                                        BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi
2.1.1 Pengertian tindak pidana ekonomi
Tindak pidana ekonomi diatur dengan undang-undang nomor 7 tahun1995 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, yangmulai berlaku tanggal 13 mei 1955 undang-undang darurat tersebut UU nomor 1tahun 1961 menjadi UU nomor 7/Drt/1955 ,tindak pidana ekonomi secara umum
adalah suatu tindak pidana yang mempunyai motif ekonomi dan lazimnyadilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual danmempunyai posisi penting Dalam Masyarakat Atau Pekerjaannya

 2.1.2 Sifat tindak pidana ekonomi
Berdasarkan penjelasan resmi undang- undang nomor 7/Drt/1955 sifat-sifat tindak pidana ekonomi yakni :
a.   Praktik Jahat Kalangan perdagangan, penjelasan resmi undang- undangnomor 7/Drt/1955, antara lain memuat “dapat dipahami dengan pengetahuan bahwa kalangan perdagangan berupaya secara maksimal untuk memperolehkeuntungan(laba) sebesar-besarnya, kadang-kadang mereka lupa akanetika bahkan berupaya melanggar peraturan. Tanpa memperdulkankepentingan umum. Hal yang demikian wajar jika dikategorikan sebagai praktik yang jahat.
b.  Mengancam/Merugikan aspek, kepentingan umum, Pejelasan umumundang- undang nomor 7/Drt/1955 antara lain memuat :“mengancam dan merugikan kepentingan-kepentingan yang sangatgecomplceerd” Dalamkamus, gecompliceer adalah ruwet, kalut, rumit.
c.   Anggapan Bahwa mencari untung sebesarnya-besarnya merupakan kalkulasi perhitungan usaha, bukan suatu kejahatan.

2.1.3 Unsur-Unsur tindak pidana ekonomi.
a.    Unsur-Unsur tindak pidana ekonomi tidak bebeda dengan unsur-unsur tindak pidana pada umumnya yakni.
·      unsur subyektif, yang terdiri dari sengaja atau culpa.
·      unsur obyektif, yang terdiri dari perbuatan manusia, akibat perbuatan,melawan hukum, dan keadaan-keadaan.
b.    Berdasarkan unsur subyektif, tindak pidana ekonomi dibedakan yakni.
·      Jika dilakukan dengan sengaja, maka tindak pidana ekonomi tersebutdinyatakan sebagai kejahatan.
·      jika dilakukan dengan tidak sengaja, maka tindak pidana ekonomitersebut termasuk pelanggaran.
c.     Membantu dan percobaa.Berdasakan pasal 4 undang- undang nomor 7/Drt/1955, membantudan percobaan melakkan tindak pidana ekonomi dapat dihukum sedang haltersebut pada tindak pidana umum tidak dapat dihukum.
d.     Wilayah tindak pidana ekonomi.Tindak pidana ekonomi yang dilakukan di indonesia ataudilakukan di luar negeri , di belakukan undang- undang nomor 7/Drt/1955.Penjelasan resmi pasal 3 dimuat pada penjelasan resmi pasal 3 dimuat pada penjelasan umum sebagai berikut : “d. Sebagai perluasan pasal 2 kitab undang-undang hukum pidana maka perbuatan ikut serta yang dilakukandiluatr negeri dapat dihukum pidana juga.”

 2.1.4 Subyek tindak pidana ekonomi.
a.    Orang/manusia(person).Berdasarkan pasal 3 undang- undang nomor 7/Drt/1955 yang antara lain berbunyi sebagai berikut :“barang siapa turut serta melakukan undang-undang nomor 7/Drt/1955. . . . . . . “
b.    Badan hukum (a legal person).Berdasarkan pasal 15 ayat (1) yang berbunyi antara lain sebagi berikut : “jika . . . . . “

 2.1.5 Sanksi (ancaman hukuman) tindak pidana ekonomi
a.    Hukuman Pokok “hukuman pokok sama dengan hukuman pokok yang disebut dalam KUHP (ps. 10 KUHP) akan tetapi maksimum pokok itu adalah lebih berat”.Bunyi hukuman pokok ini terdapat dalam pasal 6 UUno 7/Drt/1955, hukuman pokok ini terus mengalami perubahan sesuaidengan perkembangan zaman perubahan ini antara lain adalah pada (a) berdasarkan pasal 11, pasal 6 ayat i sub a kata-kata lima ratus ribudiubah menjadi satu juta dan pada (b)berdasarkan UU No 21/Prp/1959 yang meuat sanksi antara lain sebagai berikut: denda 30 kali (30 juta), jika menimbulkan kekacuan ekonomi dalam masyrakat, sanksi : hukumanmati atau 20 tahun penjara. Dalam hal ini penjelasan resmi UU No 21/Prp/1959, antara lain memuat: “menurut UU darurat nomor 7 tahun 1955 ada kemungkinan untuk hakim memilih antara hukuman badan ataudenda atau menjatuhkan kedua-dua sanksi tersebut, menerut peraturan pemerintah pengganti UU ini hakim harus menjatuhkan kedua-dua sanksitersebut.
b.    Hukuman Tambahan yang dimuat dalam pasal 7 UU 7/DRT/1955, yaitu :Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 Kitab Undang-undangHukum Pidana untuk waktu sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun
·         Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si-terhukum, di manatindak-pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya satutahun
·         Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tak  berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak-pidana ekonomiitu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnvadengan tindak-pidana ekonomi itu, begitu pula harga lawan barang- barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan
·         Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tak  berwujud, yang termasuk perusahaan si terhukum, di mana tindak- pidana ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga lawan barang-barangitu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barangatau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan, akan tetapihanya sekadar barang-barang itu sejenis dan, mengenai tindak- pidananya, bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampasmenurut ketentuan tersebut sub c di atas.
·         Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusanseluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapatdiberikan kepada si terhukum oleh Pemerintah berhubung dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun.



2.2. Tindak Pidana Yang berkaitan dengan Perekonomian Secara Umum dan Bersifat Merugikan Negara.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa di dalam tulisan ini penulisakan memaparkan tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomiansecara umum dan merugikan negara, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:

2.2.1. Tindak Pidana Korupsi
Dalam perkembangannya terlahir aturan yang merupakan tindak pidanakhusus yaitu UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Undang-undang ini dalam pasal 1 secara jelas mengemukakan bahwakorupsi merupakan perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan memperkayadiri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, ataudiketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan.
keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam pasal tersebut sangat jelas bahwa yang diatur merupakan bertalian dengan perekonomian negara. Dengankeberlakuan aturan Ini berarti ketentuan dalam pasal 3e dari UU No.7 /1955 “aktif” dengan sendirinya. Pasal 3e sebenarnya merupakan pasal yang begitu
fleksibel guna mencegah tubrukan dengan aturan yang akan lahir kemudian dantentunya sesuai dengan zamannya. Aturan-aturan yang lahir kemudian merupakanaturan yang lahir guna mencegah kekosongan hukum olehnya dalam kaitandengan UU No.7/1955 aturan pasal 3e juga merupakan blanco strafbepalingen.Undang-undang No 3/1971 telah diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Maksuddari dibentuknya UU. No. 31/1999 adalah; bahwa tindak pidana korupsi sangatmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkanmasyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selainmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensitinggi; Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhanhukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebihefektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam perubahannya (UU No.20/2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999)dikatakan bahwa tindak pidana korupsi merugikan negara atau perekonomian danmenghambat pembangunan nasional. Kemudian istilah kerugian tersebut diperluasdengan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

2.2.2 Tindak Pidana Perpajakan
Tindak pidana selanjutnya yang berkaitan dengan perekonomian negaradan bersifat merugikan negara adalah tindak pidana perpajakan. Hal itudikarenakan oleh karena perpajakan berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran, yang dampaknya akan memengaruhi perekonomian secara umum,terutama sektor publik,sehingga memengaruhi setiap aspek kehidupan ekonomi.Bidang pajak lebih ditekankan kepada pengeluaran pembiayaan oleh negara, dan pemenuhannya dikaitkan dengan kebijakan fiskal pemerintah. Penerimaan dari perpajakan memiliki dua tujuan. Pertama untuk menyeimbangkan antara pengeluaran dan pendapatan, dan yang kedua adalah untuk membentuk adanyasurplus anggaran dan penggunaannya untuk melunasi utang-utang negara yangterjadi sebelumnya atau defisit anggaran karena pinjaman. Dengan demikian peran pajak sangat strategis. sebagai pelanggaran maupun tindak pidana di bidang perpajakan, sudah diatur di dalam Undang-undang perpajakan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000,Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun1995 tentang Kepabeanan, mengatur tindak pidana perpajakan di bidang perpajakan meliputi perbuatan:(1) yang dilakukan oleh seseorang atau oleh Badanyang diwakili orang tertentu (pengurus); (2) tidak memenuhi rumusan undang-undang; (3) diancam dengan sanksi pidana; (4) melawan hukum; (5) dilakukan di bidang perpajakan; (6) dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan Negara.Aturan pajak mempunyai delik sendiri yang merupakan lex specialis dari aturanyang bersifat umum yakni tindak pidana korupsi.

2.2.3. Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tindak pidana berikut yang berkaitan dengan perekonomian negara dan bersifat merugikan negara adalah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.Tindak pidana ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Dalam pasal 3 huruf (a) disebutkan bahwatujuan diadakannya undang-undang tesebut guna menjaga kepentingan umumdan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Olehnya pelanggaran atas Undang-Undangini dapat menjadikan efisiensi perekonomian nasional menurun dan hal itu berimbas pada tidak dapat terlaksananya program peningkatan kesejahteraanmasyarakat oleh negara.

2.2.4. Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tindak pidana selanjutnya yang berkaitan dengan perekonomian secaraumum dan bersifat merugikan negara adalah tindak pidana pencucian uang.Regulasinya terdapat dalam UU. No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah denganUU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perbuatan pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai suatu proses yang dilakukanuntuk mengubah uang hasil kejahatan sehingga hasil kejahatan tersebut menjadinampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah disamarkanatau disembunyikan. Pada prinsipnya kejahatan pencucian uang adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk menyamarkan atau menyembunyikan hasilkejahatan sehingga tidak tercium oleh para aparat, dan hasil kejahatan tersebutdapat digunakan dengan aman yang seakan-akan bersumber dari jenis kegiatan yang sah.
Alasan sehingga perbuatan pencucian uang ini termasuk kedalam tindak  pidana yang berkaitan dengan perekonomian secara umum dan bersifat merugikannegara adalah oleh sebab pencucian uang ini mempunyai pengaruh buruk yangamat besar, seperti instabilitas sistem keuangan, dan instabilitas sistem perekonomian negara dan bahkan dunia secara umum karena aktivitas pencucianuang sebagai kejahatan transnasional yang modusnya banyak melintasi batas- batas negara. Hasil penelitian Castle dan Lee menunjukan bahwa kejahatan moneylaundring dapat menyebabkan hilangnya pendapatan negara dan tidak layaknya  pendistribusian beban pajak. Sementara komisi hukum nasional mengemukakan bahwa praktik pencucian uang bisa menciptakan kondisi persaingan usaha yangtidak jujur, perkembangan praktek pencucian uang juga akan berimbas kepadalemahnya system finansial masyarakat pada umumnya. Angka-angka yangmenunjukkan indikator ekonomi secara makro menjadi turun tingkatefektifitasannya karenasemakin banyaknya uang yang berjalan di luar kendalisistem perekonomian pada umumnya.
 Menurut John McDowel dan Gary Novis pencucian uang dapat merongrong integritas pasar-pasar keuangan. Lembaga-lembaga keuangan yang mengandalkan pada dana hasil kejahatan akan dapatmenghadapi bahaya likuiditas. Kegiatan pencucian uang juga dapatmengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.Dalam pasal 2 disebutkan hal-hal yang merupakan hasil tindak pidana dari tindak  pidana yang diantaranya adalah korupsi dan perpajakan. Sebagaimana diketahuisebelumnya bahwa korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan adalahkejahatan yang dapat menimbulkan kerugian keuangan dan perekonomian negara.
2.2.5. Pelanggaran HaKI.
Tindak pidana selanjutnya yang berkaitan dengan perekonomian negaraadalah pelanggaran HaKI. Definisi HaKI adalah hak eksklusif yang diberikanPemerintahan kepada penemu, pencipta dan/atau pendesain atas hasil karya ciptadan karsa yang dihasilkannya. Hak eksklusif adalah hak monopoli untuk memperbanyak karya cipta dalam jangka waktu tertentu, baik dilaksanakansendiri atau dilisensikan. Tergolongnya pelanggaran HaKI ke dalam tindak pidanayang berkaitan dengan perekonomian secara umum dan bersifat merugikan negara(mengingat aspek keperdataan HaKI yang sangat kental) disebabkan oleh karenasecara global HaKI dihormati dan dilindungi. Hal tersebuut tercermin darilahirnya sebuah kesepakatan internasional di Maroko melalui Agreement onEstablishing the World Trade Organization (WTO) yang dikenal sebagaiMarrakesh Agreement. Adanya kesepakatan yang akhirnya melahirkan organisasi perdagangan dunia (WTO) ini, maka produk dari setiap orang atau negara diatur melalui mekanisme pasar yang mengutamakan kualitas barang dan atau jasa.Produk tersebut biasanya dilindungi hukum sebagai hasil rasa, karsa dan ciptamanusia yang tidak bisa begitu saja untuk dilanggar.
Dalam pergaulan masyarakatinternasional, negara-negara yang memproteksi atau membiarkan pelanggaran hak cipta tanpa adanya penindakan hukum dapat dimasukkan dalam priority watchlist, karena tidak memberikan perlindungan HaKI secara memadai bagi negaraatau pemilik/pemegang izin ciptaan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa pengucilan dalam pergaulan masyarakat internasional atau sanksi ekonomi dari produk negara itu pada transaksi bisnis internasional.
Setelah indonesia meratifikiasi kesepakatan internasional ini maka lahirlah perlindungan hukum atasHaKi di Indonesia ditandai dengan diundangkannya UU 19/2002 tentang Hak Cipta, UU No.14/2001 tantang Paten, UU No. 15 /2001 tentang Merk, UU No.30/2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 /2000 tentang Desain Industri, UU No. 32/2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Terdapat beberapa kejahatan di bidang HaKI yang hasil kejahatannya masuk dalam kategori pengaturan tindak  pidana pencucian uang, seperti yang disebutkan dalam pasal 1 huruf (y) bahwayang termasuk ka dalam harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana selainyang disebutkan dari huruf a sampai x juga termasuk tindak pidana lainnya yangdiancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menuruthukum Indonesia. Sehubungan dengan itu jika kita melihat hukuman yangdiancamkan pada UU HaKI berkisar antara 4 (empat) sampai 7 (tujuh) tahun (UU19/2002 tentang Hak Cipta mengancamkan 7 tahun, UU No.14/2001 tantangPaten mengancamkan 4 tahun, UU 15 /2001 tentang Merk mengancamkan 5tahun), olehnya harta kekayaan yang diperoleh dari pelanggaran HaKI termasuk  juga ke dalam kategori pengaturan UU Pencucian Uang.

2.2.6. Tindak Pidana Perbankan.
Tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh bank yang mana tindak pidana ini diciptakan oleh undang-undang perbankan yangmerupakan larangan dan keharusan. Tindak pidana perbankan ini diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Ketentuan pidana dalam UU ini diatur didalam pasal 46, 47, 47a, dan 48. Alasan sehingga tindak pidana ini digolongkanke dalam tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian secara umum dan bersifat merugikan negara adalah bahwa melihat imbas dari pelanggaransebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan pidana maka akan berdampak kepada dimensi korban yang luas yakni masyarakat dan negara juga menyerangsecara langsung sistem ekonomi yang dianut suatu bangsa, serta akanmemengaruhi kepercayaan masyarakat kapada perbankan dan kehidupan bisnis.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum tindak pidana ekonomi telah diatur dalam UU drt No. 7/1955,namun undang-undang tersebut juga memberikan kesempatan kepada generasi selanjutnyauntuk untuk menjabarkan norma dan pengertian perekonomian negara yang berkaitandengan perekonomian secara umum serta bersifat merugikan negara. Dan setelahnya makalahirlah aturan-aturan yang berkaitan dengan perekonomian negara seperti:
a.    UU No. 3 Tahun 1971 yang telah diganti dengan UU no 31 Tahun 1999 dandirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan indak PidanaKorupsi.
b.    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun2000, Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 11Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
c.     Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
d.    UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
e.    UU. No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
f.     UU HaKI (UU 19/2002 tentang Hak Cipta, UU No.14/2001 tantang Paten, UU No. 15 /2001 tentang Merk, UU No. 30/2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31/2000 tentang Desain Industri, UU No. 32/2000 Desain Tata Letak SirkuitTerpadu).
3.2 Saran
Aturan-aturan tersebut dirasakan perlu diadakan sebagai jawaban atas perkembangan zaman dan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional yang senantiasaakan memengaruhi perekonomian umum.


  
DAFTAR PUSTAKA
 Andi Hamzah, S.H., Dr. Hukum pidana ekonomi, Erlangga, jakarta, 1973.Baharudin Lopa, S.H., Dr, Prof., tindak pidana ekonomi, pradya paramita, jakarta, 1990.
Leden Marpuang, S.H., pemberantasan dan pencegahan tindak pidana ekonomi, sinar grafika, jakarta, 1994.Anwar,
Mochammad 1979. Hukum Pidana di Bidang Ekonomi. Bandung : Alumni---------1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku I). Bandung : Alumni.
Fuady, Munir 1999. Hukum Perbankan Modern, Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998,Buku Kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti.Arief, Barda Nawawi1992.
“Konsep Indonesia tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian”dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief (ed.) Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.------------ 2002. “Kebijakan Sistem Pemidanaan Dalam Bidang Perbankan (Evaluasi Sistem
Pemidanaan dalam Undang-undang Perbankan dan Undang - undang Bank Indoensia”
 Makalah pada Colloquium Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Perbankan, Diselenggarakan ataskerjasama FH UNDIP dengan Bank Indoensia, Semarang 27 Juni 2002