BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
Membicarakan masalah
hukum konstitusi artinya membahas dua variabel, apa itu hukum? Dan apa yang
dimaksud dengan konstitusi? Keduanya terkait erat dengan persoalan negara dan
karena itu untuk memahami pengertian hukum konstitusi haruslah dipahami terlebih
dahulu tentang negara itu sendiri.
Negara adalah suatu
organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang secara
bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan mengakui
adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok
atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya.Organisasi negara dalam
suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada organisasi-organisasi lain
(keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang
masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan). Kurang
tepat apabila negara dikatakan sebagai suatu masyarakat yang diorganisir.
Adalah tepat apabila dikatakan diantara organisasi-organisasi di atas, negara
merupakan suatu organisasi yang utama di dalam suatu wilayah karena memiliki
pemerintahan yang berwenang dan mampu untuk dalam banyak hal campur tangan
dalam bidang organisasiorganisasi lainnya.
Unsur ini sangat penting dalam suatu negara, oleh karena
orang / manusia sebagai individu dan anggota masyarakat yang pertama-tama
berkepentingan agar organisasi negara berjalan baik. Merekalah yang kemudian
menentukan dalam tahap perkembangan negara selanjutnya. Pentingnya unsur rakyat
dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu kenegaraan (staatsleer)
tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut ilmu kemasyarakatan
(sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari
hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tata negara.
Unsur ini sangat penting dalam suatu negara, oleh karena
orang / manusia sebagai individu dan anggota masyarakat yang pertama-tama
berkepentingan agar organisasi negara berjalan baik. Merekalah yang kemudian
menentukan dalam tahap perkembangan negara selanjutnya. Pentingnya unsur rakyat
dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu kenegaraan (staatsleer)
tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut ilmu kemasyarakatan
(sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari
hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tata
negara.
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah
pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan
penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara. Timbul pertanyaan, dari
manakah pemerintahan memperoleh kekuasaan ini? Ada empat macam teori, yaitu
teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan
rakyat.
B.
Rumusan Masalah.
1. apa yang menjadi dasar pemisahan kekuasaan dalam suatu
Negara?
2. Apa dampak pembagian kekuasan dalam suatu negara?
C.
tujuan
1. untuk mengetahui dampak pemisahan dalam suatu Negara
2. Untuk memahami pembagian kekuasan dalam suatu negara
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
KONSTITUSI (CONSTITUTION)
Kata “Konstitusi”
berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis)
atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi
mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan
tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu
undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia
menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
1.
Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara.
Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan
negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu
“Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis”
(Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis”
(geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis”
(ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution
of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai
konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara
ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi
muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor
Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara
dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:
a.
Adanya wewenang dan tata
cara bekerja lembaga kenegaraan
b.
Aadanya ketentuan berbagai
hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi
Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam
huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak
termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat
beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu
dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihanpilihan di
antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada.
Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana
oleh mereka yang dianggap “constitutional.”
Ada konstitusi yang materi
muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah
India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal,
Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil
dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda
210 pasal.
Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal,
Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia
55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
2. Tujuan Konstitusi
Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk
keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan
yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan
karena sumber utama dari hukum tata
negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat
dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a).
berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b)
hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara
(rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang
sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat
dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam
konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar
konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang
pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia
yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan
lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan
demikian banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan
di luar konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam
konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam
undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. Contoh yang
tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama sekali konstitusi
tertulis tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada aturan yang sifat dan
kekuatannya tidak berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi.
Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen
yang terkenal yaitu “Magna Charta”
yang merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia.
Pada saat itu raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa
atas daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna Charta
tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta
wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat
yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-bangsawan
sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai pemegang puncak kekuasaan
pemerintahan. Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam garis
besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan
kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris. Di
samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain:
1. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian
dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali apabila si
pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran (pasal 28);
2. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau
kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan pengangkutan tanpa izin
si pemilik (pasal 30);
3. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu untuk
keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik;
4. Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain
ditentukan:
5. Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan
seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-orang yang
dipercaya (pasal 38);
6. Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke
dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu kecuali atas
putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan oleh aturan negara (pasal 39);
7. Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan
pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40).
Dalam banyak hal
ditentukan juga bahwa siapapun boleh meninggalkan kerajaan atau kembali dengan
sehat dan aman melalui daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan
karena ditahan sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan
mengenai pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan penegakan
hukum, misalnya ditentukan tidak seorangpun diangkat sebagai hakim, polisi atau
jaksa, kecuali apabila orang itu benar-benar mengetahui aturan hukum negara,
beritikad baik untuk melakukan fungsi jabatan yang diisinya.
Ketentuan akhir dari
Magna Charta antara lain menyatakan gereja Inggris adalah merdeka dan semua
orang dalam kerajaan akan menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas
sebaik-baiknya dalam suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad
baik raja dan para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi
lagi oleh raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of
The Liberties Of Forest”. Memang di Inggris pernah ada semacam konstitusi tertulis
yaitu pada saat Cromwell memegang tampuk kekuasaan pemerintahan (1653-1660)
dengan satu dokumen yang disebut “The
Instrument Of Government”, tetapi
berlaku hanya sekali saat itu.
Ada beberapa aturan
(undang-undang) lain di Inggris tertentu, antara lain: The Habeas Corpus Act
1670, The Bill Of Rights 1689, The Act Of Settlement 1700, The parliament Act
1911, The Statute Of Westminster 1931, The Representation Of The People Act
(1928, 1945, 1948), The House Of Common Act 1944 dan The Parliament Act 1949.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PEMISAHAN DALAM NEGARA
Hampir dapat
dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau tergambar keberadaan suatu
pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat
aturan/undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang
(eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide
dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan
anatar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power). Montesquieu
adalah hakim Perancis yang melarikan diri ke Inggris dan gagasan pemisahan
kekuasaan saat ia melihat praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas
bahwa materi muatan hampir setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan
politik di Inggris, walaupun Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis.
Pada abad 18 John
Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela gagasan
Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu:
1. Kekuasaan perundang-undangan
2. Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam
negeri yang mencakup pemerintahan dan
peradilan, dan
3. Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna
kepentingan negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari
berbagai orang-orang atau kelompok.
John Locke melihat
nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama tetapi isi
kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain.
Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya
Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya
adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan
pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undang-undang.
B.
PEMBAGIAN KEKUASAAN
Mengenai urusan
pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga dalam
keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu
peraturan/undang-undang.
Pada sisi lain
kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya
mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan
sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara. Berbeda pandangan adalah C. Van Vollenhoven
dalam buku “Staatsrecht Over Zee” yang menyatakan dalam suatu negara ada 4
(empat) macam kekuasaan yaitu:
1. Pemerintahan (Bestuur),
2. Perundang-undangan,
3. Kepolisian dan,
4. Pengadilan
Van Vollenhoven pada
dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua bagian yaitu:
a. Kepolisian sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan
jika diperlukan dengan tindakan memaksa (toezicht
en dwang/pengawasan dan pemaksaan) dan
b. Pemerintahan yang tidak mengandung unsur mengawasi dan
memaksa.
Apabila dikaitkan
dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu kejaksaan (kekuasaan menuntut
perkara pidana) sebagai kekuasaan yang ada di antara kekuasaan kepolisian dan
pengadilan di muka hakim. Hal ini karena secara jelas kekuasaan kejaksaan
terpisah dari kekuasaan kepolisian dan pengadilan.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara memiliki konstitusi. Apabila
dibandingkan anata satunegara dengan negara lain akan nampak perbedaan dan
persamaannya. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang
berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi
kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri,
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut
“Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945
tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi
pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan
parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.
DAFTAR PUSTAKA
Austin Ranney, 1966, The
Government Of Man, New York : NY. Hoolt, Rennehart and Winston inc.
Dahl, Robert A, 1982, Dilemma
Demokrasi Pluralis, Terj. S. Simamora, Jakarta: C.V. Rajawali
Dam B. Van, 1994, Constitutie
Van de Russische Federatie, Leiden : Rijk Universiteit
Derbyshire, J. Dennis and Ian, 1989, Political System Of The world, Edinburg : W & R Chambers ltd
FRG Press & IO Of The Federal Govt. 1991, Germany, The Federation and The Lander at a
Glance, Bonn
FRG Press & IO Of The Federal Govt. 1991, Basic Law For The Federal Republic Of
Germany, Preamble, Bonn
Hatta, 1967, Kumpulan
Karangan (I), Jakarta : Bulan Bintang
Logemann, J.H.A, 1948 Over
de Theorie van een Stelling staatsrecht, Leiden : Universiteit Pers Leiden
Padmo Wahyono, 1986, Konstitusi
Soviet, RRC,Turki, Jakarta : Ghalia Indonesia Rienov,
Robert, 1964, Introduction
to Government, third Edition, Revised, New York : Alfred-A.Knopf
Sri Soemantri, 1987, Prosedur
dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Alumni