BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa kata
“hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila kekuasaan adalah serba
penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan maka secara filosofis
dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan dirinya
tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka
sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan
kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi
masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya
sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat
hukum mengambil sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk
kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas.
Suatu hal yang menarik adalah, bahwa “ilmu hukum” atau“jurisprudence” juga
mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan filsafat hukum.
Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-nama untuk satu bidang ilmu yang
mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan
untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup
sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek
hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna
karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan
untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan
dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan
keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum
menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh
sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum
semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi
kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap
pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara
diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara
pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah
“mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga
kewibawaan hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang
dipakai telah dikemas secara sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili
secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya lenyap tertimbun
masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat
memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas
peraturan, tidak menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar
dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan
kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran
tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan
tertentu. Hukum hanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal
politik sulit ditemukan arahnya. Politik berdimensi multi tujuan, bergeser
sesuai dengan garis partai yang mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal
sampai pada tujuan dan target yang dikehendaki.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan
untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum
adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan
cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan
pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan
tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan
hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari ilustrasi latar
belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai hakekat,
pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini
adalah bagaimana hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum
?
C. Tujuan & Mamfaat
Tujuan pembuatan makalah ini
adalah
1.
Membantu
pembaca memahami bagaimana
hakekat Filsafat
Hukum.
2.
Menjelaskan
secara umum hakekat Filsafat Hukum
Manfaat dari pembuatan makalah ini
adalah:
1.
Memberikan
pengetahuan hakekat Filsafat Hukum secara umum kepada pembaca.
2.
Sebagai
tugas akhir mata kuliah t Filsafat Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat filsat
Hukum
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan
serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah
sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang
yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat
keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak
puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat
oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu
saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam
analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum,
yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas,
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan
tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat
memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan
sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum.
Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai
hukum in abstracto.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang
cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia.
Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek
filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu
berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan
kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu
adil, benar, dan sah.
B. Pengertian Hukum Sebagai Obyek Telaah Filsafat Hukum
Perlu diketahui bahwa pengertian hukum yang akan
dikemukakan berangkat dari pemahaman akan makna dari filsafat hukum.
Hubungannya dengan filsafat hukum, maka tentunya perlu adanya pengetahuan awal
mengenai filsafat itu sendiri dan sudah banyak pengertian tentang filsafat
tersebut menurut para filsuf yang memberikan persepsinya mengenai filsafat,
diantaranya :
a. Plato,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
b. Aristoteles,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
c. Al
Farabi, filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat
yang sebenarnya.
d. Descartes,
filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel
Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika,
etika, agama, dan antropologi.
Olehnya itu untuk mengupas pengertian filsafat hukum,
terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam
filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah
laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak
terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum
adalah sub dari cabang filsafat manusia. yang disebut dengan etika atau
filsafat tingkah laku.
Dengan demikian, hakikat hukum dapat dijelaskan dengan
cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom
sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari
tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu
ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan
para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan
definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan
norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan
hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini
didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang menyatakan
bahwa hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang
sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum
ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu.
Selanjutnya O. Notohamidjojo (1975) berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan
peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk
kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi
pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam
masyarakat. Definisi-definisi tersebut menggambarkan betapa luas sesungguhnya
hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Pumadi Purbaearaka dan
Soerjono Soekanto (1986) dengan menyebut sembilan arti hukum. Menurut mereka
hukum dapat diartikan sebagai: (1) ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang
tersusun seeara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yaitu
suatu sistem ajaran kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi; (3) norma,
yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau
diharapkan; (4) tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma- norma
hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk
tertulis; (5) petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan dengan penegakan hukum (Iawenforcement officer); (6)
keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi; (7) proses pemerintahan, yaitu
proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;
(8) sikap tindaktanduk atau perikelakuan "teratur", yaitu
perikelakuan yang diulangulang dengan eara yang sama yang bertujuan untuk
meneapai kedamaian; dan (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari
konscpsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan
hukum seeara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi
paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu pekerjaan yang tidak mudah!
Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak pengertian, tetapi
seeara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai-nilai
tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu
berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam
bertingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari
sekian banyak pedoman tingkah laku itu. Di luar norma hukum terdapat
norma-norma lain. Purbaearaka dan Soekanto (1989) menyebutkan ada empat norma,
yaitu (I) kepereayaan; (2) kesusilaan; (3) sopan santun; dan (4) hukum. Tiga
norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya belum dapat mernberikan
perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma yang keempat, yaitu norma
hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya adalah: (1) masih ban yak
kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum
mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut; (2)
kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga
norma sosial tersebut belum eukup terlindungi, karena dalam hat terjadi
pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum eukup memuaskan.
Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan
sanksi yang dapat dirasakan secara langsung didunia ini. Demikian pula jika
norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan
bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut,
masyarakat mungkin akan merasa tidak aman. Perlindungan yang diberikan oleh
norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang
lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan
dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma
hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan
dikenakan sanksi oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara
hukum dan kekuasaan itu. Kekuasaan yang dimiliki itupun terbatas sifatnya
sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang
terbatas. Kendati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma-norma hukum yang
berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh
sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini
timbul hubungan yang erat antara hukum kodrat dengan hukum positif. Dari sekian
banyak definisi yang ada, menurut Paul Seholten ada beberapa ciri-ciri hukum,
sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990: 79-90) yaitu:
1. Hukum
adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan
hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber
hukum.
2. Hukum
bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalamrealisasinya. Menurut Prof.
Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan
perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum
tersebut.
3. Hukum
ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara
wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
4. Institusionali
hukum. Hukum positif merupakan hukum institusional dan melindungi masyarakat.
5. Dasar
hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan.
Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh
Hakim melalui penemuan hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat
hukum. Disamping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan
hukum dan berlakunya hukum. Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek
pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan
hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan
memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan
; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara
berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah
pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan
masalah peranan hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat (socialengineering). Sedangkan
menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol dalam telaah filsafat hukum antara
lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam serta prinsip
etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat,
pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi
manusia.
Selain itu, Roscoe Pound sebagai salah seorang
pendasar aliran Sociological Jurisprudenceyang tumbuh dan
berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12 (dua belas) konsepsi tentang hukum.
Kedua belas konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan
untuk menjelaskan gagasan tentang hak-hak asasi yang sebenarnya berguna untuk
menerangkan untuk apa sebenarnya hukum itu, dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin
harruslah sedikit hukum itu, karena hukum merupakan satu kekangan terhadap
kebebasan manusia, dan kekangan itu walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran
yang kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12 konsepsi Pound
tentang hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian besarnya
di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai
gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna
dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound
tentang hukum tersebut terdiri dari :
a. Pertama,
boleh kita kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang
diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-undang
Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa Matahari
setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang didiktekan kepada para
budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di depan Manu sendiri dan atas
petunjuknya.
b. Ada
satu gagasan tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang
ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang
boleh ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang menganggap
dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang banyak tingkah dan
suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan kalau-kalau ia melanggar
sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan demikian ia dan orang
sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib tersebut. Kesalahan umum menuntut
supaya orang melakukan hanya apa yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara
yang digariskan oleh kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan
melakukan apa yang tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan
perintah yang tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara
dan dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang
merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik,
boleh jadi ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan
tradisi yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan
dipandang sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.
c. Gagasan
ini rapat dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang
dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila satu
kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah dituliskan
dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap sebagai hukum.
Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat melukiskan
hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d. Hukum
dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft,
yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus menyesuaikan
kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah, gagasan sarjana hukum
Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan dari gagasan kedua dan ketiga tadi,
dan dari satu teori politik tentang hukum sebagai perintah dari bangsa Romawi;
dan semuanya dirukunkan dengan memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang
tercatat dan perintah bangsa-bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau
pencerminan dari asas-asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus
diukur, dibentuk, ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah
diolah oleh ahli-ahli filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali
mendapat bentuk lain,
e. Sehingga
kelima hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu
undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
f. Ada
satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat
manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang
mengatur hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu
pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum, dan karena
itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang diperbincangkan di
dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes menganjurkan
kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu
gagasan filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yang
melekat pada suatu janji akan dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang
harus menepati persetujuan yang mereka buat di dalam majelis rakyat.
g. Hukum
dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam
semesta ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan
yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain manusia.
Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut banyak sampai abad
ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
h. Hukum
telah dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di
dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan, tentang
bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan perintah itu pada
tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap terdapat di belakang
wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-anggapan sarjana-sarjana
Romawi pada masa republik dan masa klasik mengenai hukum positif. Dan karena
Kaisar memegang kedaulatan rakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda,
maka Institutiones dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan
bahawa kemauan kaisar mempunyai keuatan satu undang-undang. Cara berfikir
serupa itu cocok dengan pikiran-pikiran ahli-ahli hukum yang giat menyokong
kekuasaan raja dalam memusatkan kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17,
dan dengan perantaraan ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam
hukum publik. Rupanya dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi
Parlemen di tanah Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris
yang kolot. Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang
kedaulatan rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti
parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai pengganti
Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.
i. Satu
gagasan yang menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh
pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan
akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan
serupa itu pula, yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain. Gagasan ini
yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab sejarah, telah membagi ksetiaan
sarjana hukum kepada teori hukum sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, dan
hal in terjadi hampir di sepanjang abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa
itu, pengalaman manusia yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu
cara yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya manusia yang dilakukannya
dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu gagasan mengenai hak
dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya di dalam
pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-kerja hukum yang biologis
atau psikologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang kemudian
menghasilkan sistem hukum daru suatu masa dan suatu bangsa yang bersangkutan.
j. Orang
menganggap hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara
filsafat dan dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana
hukum dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu
kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan tulisan
dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan dengan kehendak
orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19 sesudah ditinggalkan teori
hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi pikiran hukum selama dua abad, dan
filsafat diminta untuk memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik dan
perkembangan detail.
k. Hukum
dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia
di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat
memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun
tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak bentuknya. Di dalam
satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah pengembangan satu
gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk sosiologis
mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan kelas atau satu perjuangan untuk
hidup di lapangan perekonomian, dan hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga
atau hukum yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk
Positivistis-Analistis, hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang
kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonomisnya oleh
kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan mereka
sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari stabilitas
kematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum
dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba
menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu
menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada masa
undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-undangan yang dundangkan mudah
dianggap orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak
membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif
dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
l. Akhirnya
ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan
sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam masyarakat, yang
ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh
pengalaman manusia mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai
di dalam penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad
ke-19, tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat
ditemukan oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh
perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang
terakhir dengan pengamatan dan mengembangkan kesmpulan yang logis dari
kenyataan itu, mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini
adalah akibat lagi dari suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak
mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait
dengan teorinya yang dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”.
Untuk itu, Pound membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
1. Kepentingan Umum (Public
Interest), terdiri dari
a. kepentingan
negara sebagai badan hukum;
b. kepentingan
negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan Masyarakat (Social
Interest):
a. kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban;
b. perlindungan
lembaga-lembaga sosial;
c. pencegahan
kemerosotan akhlak;
d. pencegahan
pelanggaran hak;
e. kesejahteraan
sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private
Recht):
a. kepentingan
individu;
b. kepentingan
keluarga;
c. kepentingan
hak milik.
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal
penting, yaitu: Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von
Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah
tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Penggolongan
kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang telah
dilakukan Jhering. Oleh karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound dapat pula
digolongkan ke dalam alairan Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus
Jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan
premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara,
dan pengajar hukum menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam
tiap-tiap persoalan khusus. Dengan kata lain, klasifikasi tersebut membantu
menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek
filsafat hukum tentunyamempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar
dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar
bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang
bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa
dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan
hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali.
Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang
serta sistem hukumnya sendiri.
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan sebagimana
yang dikemukakan oleh Pound yaitu sebagai berikut :
1. Kepentingan
Umum (Public Interest), terdiri dari
a. kepentingan
negara sebagai badan hukum;
b. kepentingan
negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan
Masyarakat (Social Interest):
a. kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban;
b. perlindungan
lembaga-lembaga sosial;
c. pencegahan
kemerosotan akhlak;
d. pencegahan
pelanggaran hak;
e. kesejahteraan
sosial.
3. Kepentingan
Pribadi (Private Recht):
a. kepentingan
individu;
b. kepentingan
keluarga;
c. kepentingan
hak milik.
B. Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan
hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum yakni sebagai
insan yang berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang
bathil, mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak
hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak
dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka
mampu menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara
keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers,
Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993.
Kencana,
Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama,
Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar
Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
Pound,
Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit
Bhratara, Jakarta, 1996.
Rasjidi,
Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
Soeyono
Koesoemo Sisworo, “Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum”, Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Soeyono
Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25 UNISSULA, “Dengan
semangat Sultan Agung Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran,
suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar