Jumat, 19 September 2014

MEMAHAMI OBAT-OBAT TERLARANG BERDASARKAN UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika

BAB 1
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diaharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Dalam keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Oleh sebab itu reformasi hukum di Indonisia merupakan jargon yang kian hari kian santer disuarakan dalam rangka melakukan perbaikan hukum baik dalam arti pembangonan hukum maupun pembinaan hukum, di dalam hukum maupun konstitusi itu terakumulasi ide-ide tentang keadilan, inovasi, sanksi, pembebasan, perehabilitasian, dan pembaharuan bagi kehidupan seseorang atau beberapa orang yang terlibat dalam suatu perkara hukum serta kepentingan-kepentingam masyarakat bangsa dan negara.[1]
Penegakan ide-ide itu merupakan suatu keharusan mutlak, sebab jika tidak, maka hakikatnya penegakan hukum itu tak akan terjadi. Kegagalan ini berpijak pada persoalan kontras normatif dan empiris yang terjadi. Pada dimensi teoritis noratif, ide-ide itu telah trumus dengan orientasi makro tetapi tidak pada relita yang ada di dalam masyarakat.
Pada hukum yang responsif keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substansif dan aturan-aturan tunduk pada prinsif dan kebijaksanaan. Diskrisi dilaksanakan mencapai tujuan. Paksaan lebih tampa alternatif positif seperti iinsentif positif atau system kewajiban mandiri. Moralitas yang tanpak adalah “moraliatas kerja sama”, sementara aspirsi-aspirasi hukum dan politik berada dalam keadaan terpadu. Ketidakadilan dinilai dalam ukuran dan kerugian-kerugian substantif dan di pandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi. Kesempatan untuk berintegrasi diperluas melalui integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial.[2]
Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah lakunya diatur oleh hukum, baik hukum adat di daerahnya maupun hukum yang telah diciptakan pemerintah. Sebagai patokan hukum dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Tapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang berusaha melanggar hukum. Dalam hal ini pemerintah telah berupaya mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka mutlak diperlukan penegak hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Norma dan kaedah yang berlaku di masyarakat saat ini sudah tidak lagi dipatuhi dan dihormati sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Untuk itu masyarakat memerlukan hukum yang berfungsi sebagai pengatur segala tindak tanduk manusia dalam masyarakat, oleh karena itu,dalam menjalankan fungsi hukum itu pemerintah dapat menggunakan alat paksa yang lebih keras yaitu berupa sanksi.   Sanksi merupakan suatu akibat yang timbul diberikan dari reaksi atas suatu perbuatan, contohnya sanksi pidana yang dapat juga diberikan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang saat ini merupakan hal yang perlu sekali mendapat perhatian khusus mengingat dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika tersebut. Narkotika adalah sejenis zat kimia atau obat yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan.[3]
Berkembangnya suatu negara berarti begitu banyak hal yang akan muncul dan masalah yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Masalah penyalahgunaan narkoba sampai sekarang masih menjadi masalah yang memusingkan kita semua ditinjau dari berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini merupakan suatu kejutan baru dimana banyak tenaga ahli diberbagai bidang belum mampu menyikapi atau mengantisipasi keadaan ini secara optimal. Akibatnya banyak generasi muda yang terjerumus kedalam narkoba dan kehilangan masa depan. Pada awalnya narkotika hanya digunakan sebagai alat bagi ritual keagamaan dan disamping itu juga dipergunakan untuk pengobatan, adapun jenis narkotika pertama yang digunakan pada mulanya adalah candu atau lazim disebut sebagai madat atau opium. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal negatif, di dunia kedokteran narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan zaman juga, seseorang yang pada awalnya awam terhadap narkotika.
Kejahatan Narkotika telah bersifat tradisional yang dilakukan oleh modus oprandi yang tinggi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan muralitas dan kualitas sumberdaya manosia di Indonisia khususnya bagi genersi penerus bangsa, meski demikian kejahatan penyalahgunaan narkoba masih marak terjadi di masyarakat.
Narkotika adalah suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, sintesis atau semi sintesis, apabila seseorang menggunakannya atau mencobanya pasti akan ketagihan atau ketergantungan atau bisa disebut juga kecanduan. Karena narkotika mempunyai unsur kecanduan atau ketagihan maka kita harus waspada dalam bergaul terutama menghadapi para pengedar narkotika. Banyak cara yang digunakan oleh pengedar agar barangnya bisa laku, misalnya pengedar mendekati calon korbannya dengan memberi narkotika secara gratis atau tidak membeli. Setelah korban menggunakan narkotika tersebut maka korban akan ketagihan mengkonsumsi narkotika. Dengan demikian maka korban akan mencari maupun membelinya berapapun harganya dan tidak akan mengingat tentang resiko apapun yang akan ditanggungnya. Sebenarnya banyak resiko yang disebabkan oleh narkotika, namun bagi pengguna narkotika resiko itu sama sekali tidak dihiraukan.
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermamfaat dan diperlukan untuk pengbatan tertentu, dan jika disalah gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika di sertai dengan penyalaguaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.[4]
Ditinjau dari berbagai aspek kehidupan masalah penyalahgunaan obat terlarang sangat merugikan bagi generasi muda saat ini. penyalahgunaan obat terlarang bisa berawal dari kenakalan remaja sendiri, keluarga yang tidak harmonis, mengikuti tren, lingkungan sekitar, pergaulan bebas, dan lain-lain. Narkoba terbagi atas dua macam yaitu narkotika dan psikotropika. Walaupun sanksi hukum sudah ada namun semua itu tidak membuat orang-orang sadar ataupun takut, kebanyakan orang-orang lebih suka melanggar, karena mereka lebih mementingkan kesenangan sendiri dan tidak menghiraukan sangsi yang akan mereka terima.
Kemudian kalau berbicara mengenai metilon, metilon sendiri merupakan suatu pengembangan dari senyawa alkaloid katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata edulis) yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman dan sekitarnya). Dan kabarnya tanaman ini banyak ditanam di daerah Jawa Barat. Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa perangsang sistem syaraf pusat, Jenis baru ini dinamakan Metilon, konon berasal dari tanaman yang bernama Khat, orang lebih mengenal tanaman ini dengan sebutan teh arab, dan beberapa orang sudah sering mengkonsumsi teh ini. Konon katanya teh ini membuat badan lebih fit dan tidak gampang capek.[5]
Terlepas dari itu semua penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon yang dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam  undang- undang yang mengaturnya, maka sesuai dengan pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari pada dari pada perbuatan”  artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus di tetapkan undang-undang yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat di pidana jika ada aturan yang mengatur. Mengonsumsi Metilon bisa memaksa tubuh bekerja lebih cepat. Denyut jantung menjadi meningkat ke titik yang bisa membuat penggunanya mengalami palpitasi atau denyut jantung tidak teratur, bahkan setelah ia berhenti minum obat
Adapaun tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).[6]
Bahkan dalam hal ini menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas ciri penting dari negara hukum untuk mencapai suatu keadilan diantaranya adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial. Untuk uraian lebih lengkap dari beliau silahkan [7]
Terlepas dari hal tersebut tujuan dari hukum itu sendiri adalah  untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kepentingn manusia akan terlindungi dalam mencapai tujuannya,hukum berfungsi membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memcahakan masalah hukum sert memelihara kepastian hukum. Utrecht, berpendapat hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan hidup manusia.
 Kepastian hukum disini diartikan sebagai harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna, yang kemudian tersirat tugas lainnya yaitu agar hukum dapat menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri. Subekti berpendapat hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.[8]
Aristoteles “Rhetorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini buku mempunyai tugas suci dan luhur, ialah keadilan dengan memberikan tiap-tiap orang apa yang berhak dia terima yang memerlukan peraturan sendiri bagi tiap-tap kasus. Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan ada habisnya. Oleh karenanya Hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels”(Peratuaturan atau ketentuan-ketentyuan umum. Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian Hukum, meskipun pad asewktu-waktu dadapat menimbulkan ketidak adilan.[9]
Jadi untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat sesuai dengan perubahan zaman, hal ini dapat terlihat jelas dalam tatanan peraturan yang berlaku sejak era repomasi, yang mulai digulikan sejak tahun 1998 sesungguhnya diarahkan dalam pembentukan dalam peraturan rerundang-undangan yang lama, yang sejatinya merupakan prodak hukum pada era pemerintahan belanda, dengan perinsif perundang-undangan yang baru sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, rasa keadilan dan budaya hukum pada masyarakat indonesia supaya menciptakan bangsa Indonesia berdasarkan asas legalitas dan bukan pada retorika.
Berbicara masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya sesuai dengan rull yang ada.
Perkembangan hukum Indonesia harus berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.
B.  Rumusan Permasalahan
 Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas bahwa penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon berdasarkan uandang-undang  No 35  tahun 2009 tentang metilon , mengigat metilon tidakdiatur dalam undang-undang narkotika.
Berdasrakan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Apa akibat hukum terhadap pemakai metilon?
2.      Bagai mana keberadaan metilon dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
C.TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
a.    Tujuan teoritis
1.      Untuk merngetahui Apa akibat hukum terhadap pemakai metilon?
2.      Untuk memperdalam pengetahuan penulis Bagai mana keberadaan metilon dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika
b.   Tujuan Praktis.
1.      Untuk mengetahui secara mendalam bahwa menurut pengalaman empirik di Indonesia, Apa akibat hukum terhadap pemakai metilon
2.      Untuk mendapatkan diskripsi kasus-kasus yang berkaitan dengan para pengguna metilon yang tidak diatura dalam undang-undang narkotika.
c.         Kegunaan atau Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini, penulis bagi dalam dua aspek, yaitu:
1.        Bagi Keilmuan
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu bagi perluasan wacana dan pemenuhan referensi keilmuan bagi studi-studi hubungan internasional khusunya dan masyarakat luas pada umumnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan supremasi hukum.
2.  Bagi Praktek
Penulis berharap dengan adanya penelitian ini, dapat membantu para penegak hukum dan praktisi hukum seta masyrakat luas untuk lebih memaksimalkan peranannya dalam mengawal demokrasi. Dan bagi pemerintah, khususnya pemerintah Indonesia, dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak terkait tersebut dalam mengelola demokratisasi beserta implikasi-implikasinya.
C.    METODE PENELITIAN
a.      Jenis Dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengkaji UU RI No.35 tahun 2009 tentang narkotika.
Dengan penggunaan penelitian yuridis nomatif ini, permasalahan diatas akan dikaji melalui sejumlah peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
b.      Sumber Bahan Hukum
Jenis sumber bahan hukum  dalam penelitian ini bertumpu pada berbagai hukum antara lain:
Bahan hukum primer adalah: suatu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutahir atau pengertia baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan yang digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk kepastian hukum setelah berlakunya Undang-Unadang RI  No.35 tahun 2009 tentang narkotika, yang mengatur khusus tentang tindak pidana narkotika. Bahan hukum yang di gunakan meliputi:
1.      KUHP
2.      KUHAP
3.      UU  RI  No.35 tahun 2009 tentang narkotika.
4.      UU RI No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika.
5.      PP No 44 tahun 2010 tentang prekursor badan pengawas obat dan makanan
Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi mengenai bahan primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan peneliti di dapat dari buku-buku, dukumen pendapat pakar, artikel, jurnal serata bahan buku lainya yang di gunakan uantuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon menurut  unadang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika
Bahan hukum tersier adalah suatu bahan yang dibrikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang nantinya akan digunakan oleh peneliti.
Sember bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi sumber bahan hukum primer dan sekunder dan sumber hukum tersier.
c.        Tehnik Penelusuran Sumber Bahan Hukum
Teknik memperoleh sumber bahan hukum dalam penulisan ini, penulis mempergunakan beberapa cara dalam memperoleh bahan hukum. Diantaranya adalah dengan melakukan  rujukan/ penelusuran dokumen dan penelusuran pustaka dari berbagai sumbar mengenai pemakaian metilon. Setelah berlakunya unadang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
d.      Tehnik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan tehnik analisis dengan cara menganalisis isi (Content analysis) dari peraturan per-Uandang-Undangan, yaitu  menganalisis penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon menurut  unadang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika
E.  SISTEMATIKA PENULISAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA.
Sistematika penulisan hasil penelitian di bagi menjadi beberapa bab dengan rincian sebagai berikut:
                        BAB 1 : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini berisi uraian tentang:
a)      Latar belakang masalah
b)      Rumusan masalah
c)      Tujuan penelitian
d)     Mamfaat penelitian
e)      Metode penelitian
Dalam bab ini akan di uraikan secara jelas tentang latar belakang eksistensi vonis hakim terhadap tindak pidana korupsi.
BABA 11: KAJIAN PUSTAKA
                                    a). Sanksi pemidanaan
                                    b). Narkotika
                                    c). Kedudukan Metitilon dalam UU Narkotika
Teori-teori tersebut akanmenguraikan secra rinci berdasarkan UU  RI  No.35 tahun 2009 narkotika, dan yang berkaitan di dalamya.
BAB 111: PEMBAHASAN
Bagian ini menyajikan inti dari skripsi tentang:
a)      Apa akibat hukum terhadap pemakai metilon?
b)      Bagai mana keberadaan metilon dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika?

BAB 1V : PENUTUP
Dalam bab ini akan di simpulkan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran yang mungkin bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.




















BAB 11
KAJIAN  PUSTAKA
A .  SANKSI  PIDANA
1.  Pengertian dan Tujuan Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah untuk nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.[10]
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikena-kan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.[11]
Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang diper-gunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.[12]
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.
Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum pidana), sengaja agar diberikan sebagi nestapa.[13] Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang yang melanggar ketentuan Undang-undang tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan penderitaan, kan tetapi bertujuan agar orang tersebut merasa jera dan membuat pelanggar kembali hidup bermasyarakat sebagi mana layaknya.[14]
Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.[15]
Menurut Herbert L Packer The Limits of Criminal Sanction is Criminal punishment means simply and particular disposition or the range or permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorize) in cases of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal law to be guilty of ceime.[16]
Pengertian Sanksi Pidana dalam Black`s Law Dictionary Henry Campbell Black adalah punishment attached to conviction at crimes such fines, probation and sentences adalah suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat atau kejahatan seperti dengan pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara.[17]
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pengertian Sanksi pidana adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.
Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan (Kriminology). Didalam Etiology terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah) tentang sebab-sebab kejahatan antara lain:[18]
1.      Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C. Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orang-orang biasa.
2.      Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne, aliran ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.[19]
3.      Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari factor-faktor individual dan social. Persoalan ini menimbulkan bermacam-macam teori hukum pidana.
Sedangkan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan dikaitkan dengan kesalahan pembuat, menentukan alasan pengenaan, bentuk dan lamanya pidana yang dapat dijatuhkan. Tujuan pengenaaan pidana atau pemidanaan selalu menjadi perdebatan para ahli hukum pidana,dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat menentukan dengan pasti tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan pidana atau pemidanaan itu.berbagai kritik tentang dasar moral dan kinerja hukum pidana dan sistem peradilan pidana, dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana, juga diorientasikan kepada tujuan-tujuan ini. Kegagalan menentukan hal ini, menyebabkan hukum pidana kehilangan dasar moral keberlakuannya.
Mempertahankan keberadaan hukum pidana, baik dalam masyarakat yang menganut tradisi common law system dan civil law system, sangat minim.
Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan dasar, yaitu :
1) Retributivism dan
2) Utilitarianism
            Sekalipun kedua pandangan ini umumnya diikuti dan dikembangkan dalam tradisi masing-masing, tetapi baik negara-negara yang menganut common law system maupun civil law system,menjadikan kedua pandangan ini sebagai pangkal tolak penentuan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan. Baik retributivism maupun utilitarianism menjadi pangkal tolak dalam menentukan tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan. Mengingat umumnya tujuan tersebut tidak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, maka para penulis menyebutnya sebagai “teori”. Teori-teori pengenaan pidana atau pemidanaan merupakan hipotesis yang dirumuskan oleh para ahli hukum pidana, mengenai esensi pengenaan pidana atau pemidanaan. Teori ini yang kemudian dijadikan alasan mengapa negara mengenakan tindakan yang sifatnya menderitakan (nestapa) terhadap seseorang tertentu.[20]
            pengenaan pidana sebagai salah satu fungsi pemerintahan suatu negara. Peletak dasar retributivism adalah Kant. Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan. Pada pokoknya, paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini umumnya dijelaskan dengan teori “retributif” atau teori “pembalasan”. Teori ini diikuti secara luas oleh para ahli hukum pidana.[21]
Van Bemmelen, misalnya mengatakan “pada dasarnya setiap pidana adalah pembalasan”. Knigge mengatakan, “menghukum pada dasarnya adlah melakukan pembalasan, dan hal itu bukan suatu hal yang jelek dalam dirinya sendiri, melakukan pembalasan sebagai reaksi atas perilaku ysng melanggar norma adlah hal yang teramat wajar” Berbeda halnya dengan utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini terutama menentukan bahwa, pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekadar membalas perbuatan pembuat.
Tujuan hukum pidana memberi system dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum: azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu system. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum. [22]
1.      Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan –kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.
2.      Salah satu kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk perlindungan masyarakat.
3.       Namun demikian, dalam perspektif Barat yang kehidupan bersamannya lebih didasarkan pada paham-paham seperti individualisme dan liberalisme. Konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga Negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas. Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.
4.       Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan (Kriminology).
2. Macam-macam sanksi pidan
Mengenai landasan yuridis hukuman dan bentuk-bentuknya telah dijelaskan dalam buku I KUHP bab ke-2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan yaitu:[23]
a.       Reglemen penjara (Stb 1917 No. 708) dan telah diubah dengan LN 1948 No. 77.
b.      ordonasi pelepasan bersyarat (Stb 1917 No. 749)
c.       reglemen pendidikan paksaan (Stb 1917 741)
d.      UU No. 20 tahun 1946 tentang pidana tutupan.
Macam-macam sanksi pidana pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP bab ke-2 dimulai dari pasal 10 sampai dengan pasal 43.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari:
1.    PidanaMati
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan perbuatan-perbuatan kejam. Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan darinya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam KUHP sendiri telah memberikan isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. Isyarat yang diberikan oleh KUHP agar pidana mati tidak terlalu mudah dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam degan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Misalnya: dalam KUHP pasal 365 ayat (4), pasal 340 dan lain-lain.
2.    Pidana Penjara.
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (pasal 12 ayat (2)), dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam KUHP pasal 12 (3).
Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam pasal 25 KUHP.
3.    Pidana Kurungan.
Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan,
Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:
1.      Pencabutan Hak-hak Tertentu.
Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperbolehkan (pasal 3 BW). Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana menurut pasal 35 ayat 1 KUHP hanya dierbolehkan pada hal-hal sebagai berikut:
• Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
• Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
• Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
• Hak menjadi penasihat umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
• Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
• Hak menjalankan mata pencaharian.
Pada perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seseorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk melakukan pemecatan tersebut.
2. Pidana Perampasan Barang Tertentu
Hukuman tambahan kedua, menurut pasal 39 berupa perampasan barang-barang milik terhukum dan tidak diperkenankan untuk merampas semua barang milik terhukum. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi: a) barang yang diperoleh dengan kejahatan, b) yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dan untuk lebih jelasnya hal tersebut telah dijelaskan dalam KUHP pasal 39.
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara , dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita. Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan kas negara (42)
2.    Pidana Pengumuman Putusan Hakim.
Pidana putusan hakim hanya bisa dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya: pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Seperti yang kita ketahui bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut.
Adapun maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut adalah sebagai usaha preventif untuk memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.[24] Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan. Teori gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.
Menurut Vos”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.”
3. Alasan dan Maksud pemidanaan.
Pemidanaan merupakan upaya terakhir dan puncak dari proses penegakan  hukum, penjatuhan pidana ini tidak bisa terlepas dari tugas hakim sebagai aparatur Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap siapa saja yang melanggar aturan hukum.[25]
Dalam hal menjatuhkan dan menjalankan pidana yang mempunyai hak dan kewenangan untuk itu adalah Negara, karena Negara adalah organisasi sosial yang tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib atau ketertiban dalam masyarakat, dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka wajar jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana terhadap orang yang terbukti telah melanggar larangan dalam hukum pidana. Mengenai teori-teori pemidanaan atau teori hukum pidana yang akan  diuraikan di sini adalah teori-teori pemidanaan yang dapat dijadikan dasar atau pijakan bagi negara melalui aparat penegak hukumnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana agar tujuan pidana dapat tercapai sebagaimana mestinya[26]
Dalam KUHP tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP, hanya menyebutkan alasan penghapusan pidana, Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan penjelasan alasan penghapusan pidana, dibedakan menjadi: alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar, dan alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.[27]
            Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Alasan pemidanaan dapat di golongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan, dan kemudian di tambah dengan golongan teori gabungan.[28]
a.       Teori pembalasan (teori Absolut)
Teori pembalasan merupakan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus di adakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak di per soalaka akibat pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masalampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Masa datang yang di maksud memperbaiki pelaku tindak pidana tidak di persoalkan. Jadi seseorang pelaku tindak pidana mutlak harus dipidana sesuai dengan tinka kesalahanya, teori pembalasan ini di bagi menjadi lima bagian:
2.      Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica (moral-philossophie)
 teori ini di kemukakan oleh Emanoel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seseorang penjahat. Ahlih pilsafat ini mengatakan bahwa dasar dari pemidanaan adalah tuntuatan mutalak dari hukum kesusilaan kepeda seorang penjahat yang telah merugkan orang lain, sehubungan dengan itu, Kant mengatakan selanjutnya “ walau besok dunia akan kiamat maka penjahat terakhir harus menjalani pidananya”. Dalam bahasa teori ini di sebut sebagai berikut: een ethesche vergelding. (fiat justitian ruat coelum)
3.      Pembalasan “bersambut” (dialektis)
Teori ini di kemukakan olah Hegel yang mengatakan bahwa huku adalah perujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahata adalah merupakan tangtangan kepada hukum dan keadilan. Karnaya ahli fisafat ini mengatakan untuk mempertahankan hukum yang merupakan perujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahata-kejahatan secara mutlak harus di lenyapkan dengan memberikan “ketidak adilan” (pidana) kepada penjahat dalam bahasa asing teori ini di sebut sebagai “dealectische vergelding”
3.    Pembalasan demi “keindahan” atau kepuasan (easthetisch)
Teori ini di kemukakan oleh Herbart  yang mengatakan bahwa adalah merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketik puasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat agar ketidak puasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan kembali, dalam bahsa asing di sebut sebagai “easthetische vergelding
4.    Pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan (agama)
Teori ini di kemukakan oleh Stahl yang di kemukakan bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap pri keadfilan tuhan dan haru di tiadakan, karena mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpilihnya pri-keadilan tuhan ialah melalui kekuasaan yang diberikan tuhan kepada pengoasa negara.
5.    Pembalasan sebagai kehendak manosia
Para sarjana dari mashab hukum alam yang memandang negara sebagai hasil dari kehendak manosia, mendasarkan pemidanaan juga sebagai peruwujudan dari kehendak manosia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat,
Menurut H. L. Packer, teori ini berpendapat bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pilihan-pilahan moralnya masing-masing. Jika pilihannya itu benar ia akan mendapat ganjaran positif seperti pujian, sanjungan, penghargaan dan lain-lain begitu pula sebaliknya jika “salah” maka ia harus bertanggung jawab dengan diberi hukuman atau ganjaran yang negative.[29]
Jelas kiranya baik dari keempat teori tersebut duluan, yang pada umumnya di kemukakan oleh para sarjana di jermana, maupu dari teori tersebut terahir pada pokoknya mengotarakan beberapa dasar pemidanaan yang merupakan tuntutan mutlak yang dalam perwujutanya merupakan pembalasan terhadap penjahat.
b.      Teori tujuan ( teori relatif, teori perbaikan)
      Teor-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan tergantung kepada tujuan pemidanaan yaitu: untuk melindungi masyarakat atau pencegahan bagi terjadinya kejahatan. Perbedaan dari beberapa teori yang ter masuk teori tujuan terletak pada caranya untuk mencapai pada tujuan dan penilayan terhadap suatu pidana. Diancamkanya suatu pidana dan dijatuhkanya suatu pidana, dimaksudkan untuk menakut-nakuti callon penjahat atau penjahat yang bersangkutan untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, menjamin ketertiban hukum dan prevensi umum. Ditinjau dari tujuan pemidanaan  maka teori ini dapat di bagi menjadi empat:
1.      Pencegahan terjadinya kejahatan dengan memberikan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti callon penjahat, seseora yang akan melakukan kejahatanya apabila mengetahui adanya ancaman pidana yang cukup berat daharpaka akan mengorungkan niatanya. Cara ini ditujukan secara umum artinya kepada siapa saja agar takut melakukan kejahatan yang dengan demikian disebut sebagai “prevensi umum”
            Tetapi sejana lain berpendapat bahwa cara menakut-nakuti itu hanyalah ditujukan kepada penjahat itu sendiri supaya tidak melakukan kejahatan apabila berniat untuk itu atu tidak mengolagi apabila telah melakukanya.
2.      Perbaikan atua “pendidikan” bagi para pelaku tindak pidana.
            Kepada para pelaku tindak pidana kejahata diberikan “pendidikan” berupa pidana agar iya kelak dapat kembali kelingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna. Perkembangan dari teori ini iyalah agar dirumuskan suatu cara supaya pelaku tindak pidana merasakan “pendidikan” sebagai pidana cara perbaikan penjahat di kemukakan ada tiga macam yaitu: perbaikan intlektual, perbaikan moreel, dan perbaikan juridis.
3.      Menyingkirkan pelaku tindak pidan(penjahat) dari lingkungan.
            Cara inilah kepada para pelaku tindak pidana (penjahat) yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usaha menakut-nakuti, supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu pidana mati. Dengan demikian iya akan tersingkirkan dari pergaulan masyarakat.
4.      Menjamin ketertiban hukum (rechtsord)
            Caranya adalah mengadakan norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma tersebut, negara menjatuhkan pidana, ancaman pidan akan bekerja sebagai ancaman peringatan supaya mempunyai efek pencekahan bagi setiap orang yang akan melakukan tindak pidan tersebut.
c.       Teori gabungan (vereenigings-theorie).
Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan yang di sebut sebagai teori gabungan, diantara dua teori tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan yang saling meleng kapi di antara dua teori. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun penjahat itu sendiri di samping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah di lakuakan.
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal dengan satu istilah untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana. Tujuan hukum pidana tidak terus dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Pidana perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana). Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga, tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.
B . NARKOTIKA
1. Pengertian Narkotika
            Sebelum muncul istilah Narkoba, sebenarnya narkotikalah yang pertama kali muncul kepermukaan. Narkotika secara umum dapat diartikan suatu zat yang dapat merusak tubuh dan mental manosia karena dapat merusak susunan syaraf pusat manosia. Dalam kamus bahasa indonesia secara gamlang menyebutkan bahwa narkotika adalah heroin, sejenis obat bius.[30]
            Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermamfaat dan diperlukan untuk pengbatan tertentu, dan jika disalah gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika di sertai dengan penyalaguaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan Nasional.[31]
            Di dalam undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1997tentang narkotika pada pasal 1 mendifinisikan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis (buatan) maupun semisintetis (campuran) yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengorangi sampai menghilangkan rasa nyeri, serta dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan.
            Menurut Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika adalah Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang  menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut  bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang  diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi  pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit.[32]
2. Macam-macam Narkotika
            Narkotika memiliki banyak jenis dan macamnya yang sering disalah gunakan oleh para pecandu. Narkotika tersebut antara lain seperti:[33]
1.    Opiat atau Opium
Opiat atau opium adalah bubuk yang dihasilkan kangsung oleh tanaman yang bernama poppy atau papaver somniferum di mana di dalam bubuk haram tersebut terkandung morfin yang sangat baik untuk menghilangkan rasa sakit dan kodein yang berfungsi sebagai obat antitusif. Getah opium mengandung phenantheren dan bila di proses secara kimiawi dapat menjadi bahan obat yang sangat berbahayasebagai narkotika.
Tumbuhan yang getah buahnya menghasilkan opium pertamakali tumbuh diasia kecil, china, afrika, india dan dibudidayakan di negara balkan, colombia, hongaria, dan didaerah segitiga emas (asia).
Opium dapat dibagi kedalam beberapa macam:
a.       Opium mentah
Opium mentah merupakan getah buah tanaman papaver somniferum yang membeku sendiri, getah ini tidak diolah dengan matang. Oleh karena itu, pembungkusan dan pengangakutan tidak terlalu memperhatikan kader murpinya.
Opium mentah mempunyai mempunyai ciri sebagai berikut:
§  Bahan kental dan padat
§  Di dalam perdangangan gelap biasanya berbentuk empat persegi panjang dengan lebar 8 sampai 15 cm, tebalnya sekitar 3 cm.
§  Opium mentah yang beredar biasanya memiliki berat antara 0,3 sampai 2 kg.
§  Warna coklat atau hitam
§  Warnanya khas opium, tidak enak seperti tembakau.
b.      Opium masak
Ada tiga macam opium masak yakni:
§  Candu
Candu berasal dari opium mentah yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi narkotika yang menggiurkan. Pengolahanya biasanya dilakukan melalui pelarutan, pemansan, dan peragian. Candu di olah dari opium yang ditambahkan bahan lain. Namun kadang jugak sama sekali tidak di campur bahan lain hal itu tergantung hal yang di inginkan.
§  Jicing
Jicing adalah sisa-sisa candu yang telah diisap. Sisa-sisa tersebut kemudian diolah dan dicampur dengan daun atau bahan lain. Namun, ada juga jicing yang asli murni dari sisa-sisa candu tanpa campuran apapun.
§  Jicingko
Jacingko sama dengan jacing yang telah diolah sedemikiar rupa sehingga lebih matang.
2.    Morfin
Mofrin adalah alkoloida yang merupakan hasil ekstraksi serta isolasi opium dengan zat kimia tertentu untuk penghilang rasa sakit atau hipnoanalgetik bagi pasien penyakit tertentu. Dampak atau efek dari penggunaan morfin yang sifatnya negatif membuat penggunaan morfin diganti dengan obat-obatan lain yang memiliki kegunaan yang sama namun ramah bagi pemakainya.ciri-cirinya
§  Bentuk serbuk halus atau hablur jarum mengkilap. Bentuk hablur mirip kristal, keras dan bening seperti kaca.
§  Berwarna putih atau hampir putih.
§  Tidak memiliki bau
§  Jika di jilat rasanya pahit.
3.    Heroin
Heroin adalah keturunan dari morfin atau opioda semisintatik dengan proses kimiawi yang dapat menimbulkan ketergantungan / kecanduan yang berlipat ganda dibandingkan dengan morfin. Heroin dipakai oleh para pecandunya yang bodoh dengan cara menyuntik heroin ke otot, kulit atau sub kutan atau pembuluh vena, ciri-cirinya
§  Serbuk putih, kuning coklat, atau coklat.
§  Terkadang berbetuk granol (butiran padi)
§  Baunya mirip cuka
§  Bila dijilat rasanya pahit dan lida terasa tebal.
4.    Kokain atau Cocaine Hydrochloride.
Kokain adalah bubuk kristal putih yang didapat dari ekstraksi serta isolasi daun coca (erythoroxylon coca) yang dapat menjadi perangsang pada sambungan syaraf dengan cara / teknik diminum dengan mencampurnya dengan minuman, dihisap seperti rokok, disuntik ke pembuluh darah, dihirup dari hidung dengan pipa kecil, dan beragam metode lainnya. Tanaman kokai Ciri-cirinya:
§  Perdu. Perdu adalah tumbuhan berkayu yang bercabang-cabang, tumbunya rendah, dekat dengan permukaan tanah, tanaman perdu tidak memiliki batang yang tegak.
§  Tingginya antara 2 sampai 3 meter.
§  Biasanya, umur tanaman ini mencapai 20 sampai 30 tahun.
§  Letak daunya berselianga, melekat pada tangkai batang.
§  Daunya bebentuk bulat panjang, agak pipih, jorong lidah tombak.
§  Wana daunya hijau kining dengan panjang 2 sampai 6 cm, lebat antara 1 sampai 2 cm.
§  Daunya tidak berambut dan mudah rapuh
§  Tulang daunya memiliki dua jenis:
·         Tulang daun rangkap
·         Tulang daun berbentuk garis yang hampir sejajar jenis tulang dan daun, sejajarnya tidak terliahat jelas.
§   Bungaya kecil-kecil
§   Buahnya awalnya berwarna hijau kemudian menjadi merah dan keras.
§   Daun yang mudah mengandung kokai yang memiliki pengaruh narkotika.
Kenikmatan menggunakan kokain hanya dirasakan sebentar saja, yaitu selama 1 sampai 4 menit seperti rasa senang riang gembira, tambah pede, terangsang, menambah tanaga dan stamina, sukses, dan lain-lain. Setelah 20 menit semua perasaan enak itu hilang seketika berubah menjadi rasa lelah atau capek, depresi mental dan ketagihan untuk menggunakannya lagi, lagi dan lagi sampai mati
5.    Ganja atau Mariyuana atau Kanabis
Mariyuana adalah tanaman semak atau perdu yang tumbuh secara liar di hutan yang mana daun, bunga, dan biji kanabis berfungsi untuk relaksan dan mengatasi keracunan ringan (intoksikasi ringan).
Zat getah ganja atau THC (delta-9 tetra hidrocannabinol) yang kering bernama hasis, sedangkan jika dicairkan menjadi minyak kanabasis. Minyak tersebut sering digunakan sebagai campuran rokok atau lintingan tembakau yang disebut sebagai cimenk, cimeng, cimenx, joint, spleft, dan sebagainya.
Daun ganja dapat memberikan pengaruh serius tehadap sipemakai pengaruh daun ganja menyebabkan tubuh malas bergerak, mata merah, rasangantuk yang sangat, tertawa tanpa sebab dan nafsu makan bertambah.
Mengisab ganja dapat mengakibatkan seseorang menjadi depresi, menimbulkan rasa ketakutan yang berlebihan, dan bila sudah kecanduan dapat berakibat fatal seperti melemah daya pikir, merusak organ tubuh yang vital (jantung, paru-paru dan hatinya ) serta merusak susunan syaraf pusat sehingga pemakainya mengalami gangguan jiwa. Ciri-cirinya:
§   Termasuk tanaman perdu
§   Tingginya mencapai 3 sampai 4 meter.
§   Betuk daun
·         Tepinya bergerigik, mirip gergaji
·         Bagian bawahnya bebulu halus
·         Jumlah helai daun selalu ganjil, seperti, 5,7,9 dan seterusnya
·         Memanjang dengan ujung yang lancip
·         Bila diremas-remas menimbulkan bau tertentu
§  Bentuk buahnya :
·         Kecil-kecil seperti buah merica
·         Warnanya kecolat-coklatan
3. Sanksi Pidana dan Bagi Pemakai Narkotika.
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana.[34]
Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari "straf" dan istilah "dihukum" yang berasal dari "wordt gestraf" merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata "wordt gestraf". Menurut Moeljatno , kalau "straf" diartikan "hukuman" maka "strafrecht" seharusnya diartikan sebagai "hukum hukuman". Istilah "hukuman" yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.[35]
Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh karena "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu.
Dalam kamus "Black`s Law Dictionary" dinyatakan bahwa punishment adalah :"any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crime of offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law" (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).
            pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).[36]
            Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.
Dalam konteks hukum pidana pemberian sanksi bagi pelaku tindak pidana seorang Hakim memiliki suatu peranan dan tanggung jawab yang lebih besar lagi. Bahwa seorang Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Keyakinan Hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat yang harus ada bagi proses lahirnya suatu pendirian hukum (vonis). Hakim tidak boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus, tapi harus betul-betul menyusun keyakinannya terhadap berbagai fakta dan keadaan objektif tersebut dan keyakinan bahwa terdakwa memang betul-betul bersalah. Sistem pembuktian pidana seperti ini mengakibatkan walaupun bukti-bukti dalam suatu kasus sudah bertumpuk-tumpuk, sudah memenuhi batas minimum pembuktian atau bahkan lebih, jika Hakim tidak sampai pada keyakinannya terhadap kesalahan terdakwa maka seharusnya ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa.
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi terdakwah mengenai syrat-syarat putusan dalampemeiksaan perkara ditutur dalam KUHAP pasal 197 syrat-syarat tersebut dimua dalam sebuah putusan. Bebicar pertimbagan yang dimuat dalam sutu putusan hakim ada beberapahal yang harus di muat:
a.       Pertimbagan (menimbang) dengan mengotip isi tuntutan pidana.
b.      Pertimbangan (menimbang) dengan mengotip pembelaan.
c.       Pertimbangan (menimbang) dengan mengotip fakta-fakta yang didapet dalam persidangan.
d.      Pertimbangan (menimbang) tentang tindak pidana yang didakwakan dengan rinci unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
e.       Pertimbangan (menimbang) tentang fakta-fakta yang ada hubunganya dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
f.       Pertmbangan-pertimbangan lain-lainya dalam hubungannya dengan surat dakwaan.
g.      Pertimbangan tentang JPU dalam surat tuntutan atau repliknya dan pendapat penasehat hukum dalam pleidooi maupun dupliknya.
h.      Pertimbangan tuntutan pidana JPU.
i.        Pertimbangan tentang terbukti tidaknya dakwaan.
j.        Pernyataan tentang kesalahan terdakwah (wajib bila terbukti).
k.      Petimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan (apabiala menurut majelis dakwaan terbukti).
l.        Pertimbangan tentang lain-lain, misalnya tentang penahanan, mengenai barangbukti.[37]
Sehingga dari pertimbangan-pertimbangan itulah hakim dapat memutus sesuai dengan keyakinanya berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan. Seorang Hakim hendaknya selalu mendengarkan hati nuraninya ketika akan memutus suatu perkara. Apabila seorang Hakim belum sampai pada keyakinannya maka hendaknya ia tidak menjatuhkan vonis terhadap terdakwa. Apapun isi vonis yang hendak dibuatnya maka Hakim haruslah yakin akan apa yang diputuskannya, apakah keyakinan terdakwa bersalah dengan menjatuhkan vonis hukuman, ataupun keyakinan terdakwa tidak bersalah dan kemudian membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntuan hukum.
Akan tetapi Berdasrkan undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dalam pasal 127 sangksi pidana bagi penyalaguna narkotika
            Pasal 127 ayat (1) setiap penyalaguana:
a.       Narkotika golongan 1 bagi dirisendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun:
b.      Narkotika golongan 11 bagi dirisendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun:
c.       Narkotika golongan 11 bagi dirisendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun:
Pasal 127 ayat (2) dalam memutus perkara sebagai mana yang di maksud pada ayat (1) hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55 dan pasal 130.
§    Bagian kedua rehabilitasi pasl 54.
“ Pecancu Narkotika dan korban penyalaguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi  medis dan rehabilitasi sosial.”
§    Pasal 55 ayat (1) orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang di tunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
§    Pasal 55 ayat (2) pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluaganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang di tunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
§    Pasal 55 ayat (3) ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagai mana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
§    Pasal 130 ayat (1) didalam tindak pidana sebagai mana yang dimaksud dlam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, dan pasal 129. Dilakukan olek korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengorusnya, pidan yang dapat di jatuhkan kepada korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagai mana yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.
§    Pasal 130 ayat (2) selain pidana denda sebagai mana yang dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidan tambahan berupa:
a.       Pencabutan izin usaha; dan atau
b.      Pencabutan setatus badan hukum
Pasal 127 ayat (3) dalam hal penyalaguna sebagai mana yang di maksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalaguna narkotika, penyalaguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
·         ayat (1)  orang tua atau wali dari pecandu yang belu cukup umur, sebagai mana yang di maksud dalam pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapaor, dipidana dengan pidana paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 100, 000,00 (seratus juta rupiah)
·         ayat (2) pencandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah di lapaorkan oleh orang tua atau walinya sebagai mana yang di maksu pasal 55 ayat (1) tidak di tuntut pidana.
·         Ayat (3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagai mana yang di maksud pasal 55 ayat (2) yang sedang mejalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter dirumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak di tuntut pidana.
·         Ayat (4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagai mana yang di maksud pada ayat (3)  harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh mentri.
Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milliar rupiah) setiap orang yang tanpak hak melawan hukum:
a.       Memiliki, menyimpan, mengoasai, atau menyediakan Prekursur Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
b.      Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurka Prekursur Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
c.       Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi pelantara dalam jual beli, menokar, atau menyerahkan Prekursor narkotika untuk pembutan Narkotika;
d.      Membawa, mengirim, mengangkut,atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Dari beberapa pasal diatas menunjukan behwa sanksi bagi penyala guna Narkotika tergantung pada besar kecilnya kesalaha yang dilakuakan oleh pelaku tindak pidana narkotika, sesuai dengan tingkat kesalahanya.
C. PENGERTIAN METILON DAN AKIBAT METILON
1. Pengertian Metilon.
Metilon merupakan suatu pengembangan dari senyawa alkaloid katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata edulis) yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman dan sekitarnya), Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa perangsang sistem syaraf pusat.[38] katinon memiliki suatu gugus keton disana. Efek farmakologi dari katinon sendiri sama juga dengan amfetamin yaitu perangsang sistem syaraf pusat dengan cara meningkatkan pengeluaran katekolamin. Katekolamin sendiri adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk sekolompok hormon yang memiliki gugus katekol (orto hidroksi fenol). Jika katekolamin ini banyak keluar maka akan dapat mengurangi depresi, mengontrol kegemukan (nafsu makan turun), mengurangi kelelahan, dan meningkatkan semangat. Me-til-on yang mempunyai rumus molekul C11H13NO3 dan Ka-tin-on yang mempunyai rumus molekul C9H11NO. Me-til-on ini merupakan turunan dari katinon.
Metilon, sebagai turunan dari katinon sintetis, sangat mirip dengan ekstasi (MDMA). Sedikit perbedaan hanya pada gugusan belakang konfigurasi struktur kimianya. Bila ekstasi (MetilDioksiMetamfetamin) gugusan belakangnya adalah amfetamin, maka metilon (MetilenDioksiMetilKatinon) gugusan belakangnya adalah katinon. Efek kedua zat ini sama bahkan dikatakan metilon lebih dahsyat.[39]
Ekstasi (MDMA) adalah zat adiktif yang merupakan psikostimulan susunan syaraf pusat (otak). Efeknya bisa menimbulkan rasa segar, gairah, gembira bertaraf euforia yang bisa sampai ekstase. Zat berbentuk tablet keras ini dipakai dengan cara diminum dengan aqua yang tersedia di diskotik-diskotik. Biasanya dengan mendengarkan “house music” bertempo ritme tinggi karena “dibelakang” musik itu ada musik lain yang lebih indah yang hanya bisa dinikmati dengan menenggak MDMA itu. Karena itu termasuh “party drug”, beda dengan heroin yang dinikmati dengan menyendiri dalam suasana sepi di kamar. Ekstasi dipakai oleh orang-orang kalangan atas yang sudah bosan dengan berbagai kesenangan dan kegembiraan, dan ingin suatu kegembiraan yang lebih tinggi lagi yang bisa dicapai dengan menenggak MDMA ini.
Ekstasi bisa meningkatkan kadar neurotransmiter serotonin sekaligus dopamin sehingga menimbulkan kegembiraan luar biasa bertaraf ekstase, tapi sekaligus juga dengan ilusi warna warni dan halusinasi penglihatan dan pendengaran yang indah-indah menakjubkan. MDMA ini bisa menggairahkan seks, tapi kenikmatan memakai ekstasi sudah melebihi orgasme sehingga biasanya para pemakainya yang lagi “tripping” sudah ogah atau tak terpikir untuk melakukan hubungan seksual. Para penggunanya biasa pindah-pindah tempat hiburan malam bila efek ekstasi menurun, lalu menenggak lagi dengan aqua sampai pagi. Penuturan pasien-pasien saya, laki-laki bisa kuat 4 tablet ekstasi semalam, sedang wanita baru 2 tablet biasanya sudah jatuh menggelepar dan dibawa ke UGD RS dini hari. Semua efek MDMA ini terdapat pada metilon bahkan dikatakan lebih kuat lagi.
Dampak buruk ekstasi bagi fisik dan mental, tentunya metilon lebih buruk lagi, adalah tekanan darah meningkat tinggi sampai stroke, geraham gemeretak, depresi berat dan rasa hampa pagi harinya sampai ingin bunuh diri, anoreksia, sulit tidur, halusinasi-halusinasi mengerikan esok paginya, dan gangguan irama jantung. Kematian terbanyak karena aritmia kordis ini. Bedanya dengan heroin, bila heroin harus dipakai tiap hari beberapa kali suntik, sedang ekstasi seperti juga sabu bisa beberapa hari sekali, bahkan seminggu sekali.
2. kedudukan Metilon dalam Undang-undang Narkotika
Kemudian kalau berbicara mengenai metilon, metilon sendiri merupakan suatu pengembangan dari senyawa alkaloid katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata edulis) yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman dan sekitarnya). Dan kabarnya tanaman ini banyak ditanam di daerah Jawa Barat. Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa perangsang sistem syaraf pusat, Jenis baru ini dinamakan Metilon, konon berasal dari tanaman yang bernama Khat, orang lebih mengenal tanaman ini dengan sebutan teh arab, dan beberapa orang sudah sering mengkonsumsi teh ini. Konon katanya teh ini membuat badan lebih fit dan tidak gampang capek.[40]
Terlepas dari itu semua penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon yang dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam  undang- undang narkotika yang mengaturnya, maka sesuai dengan pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari pada dari pada perbuatan”  artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus di tetapkan undang-undang yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat di pidana jika ada aturan yang mengatur. Mengonsumsi Metilon bisa memaksa tubuh bekerja lebih cepat. Denyut jantung menjadi meningkat ke titik yang bisa membuat penggunanya mengalami palpitasi atau denyut jantung tidak teratur, bahkan setelah ia berhenti minum obat.
Adapaun tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).[41]













BAB 111
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN METILON DALAM UNDANG-UNDANG NARKOTIKA.
Dalam kehidupan,  hukum saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang pertama tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan steril.[42]
Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum ini memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara mendalam. Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja. Castberg F. memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realitas. Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein. Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu sama lain.
Persepsi Normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya. Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.
Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.
Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya.[43] Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.Masalah itu muncul oleh karena adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sen, dimana Negara mengklaim sebagai Negara hukum demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping dan penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati dan penegakan hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di persimpangan jalan panjang.
Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi hukum dan tujuan hukum, yang sebesar-besarnya buat kemanfaatan, kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Abdul Manan (2009:189), menyatakan bahwa supremasi hukum merupakan doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum Eropa Barat. Secara embrio doktrin supremasi hukum sudah mulai berkembang sejak abad VII M.
Lebih lanjut dikatakan bahwa term dan doktrin supremasi hukum telah dikenal sejak abad XI M, bahkan jauh sebelum itu pada abad VI M, Islam telah membawa misi reformasi besar untuk menegakkan supremasi hukum yang mengacu kepada upaya penciptaan kedamaian dan kesejahtraan yang mengantarkan manusia secara individu dan masyarakat sukses dan bahagia menjalani kehidupan dan selamat bahagia hidup di akhirat kelak (Abdul Manan,2009:190).
Prinsip Negara hukum mengajarkan bahwa komunikasi dan interaksi sosial yang terdiri dari berbagai elemen komunitas berinteraksi dan bertransaksi untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Bahwa tatanan kehidupan dan komunikasi antar individu dalam suatu komunitas mengacu kepada aturan main yang disepakati dan dipakai sebagai acuan dan referensi para pihak dalam melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Tidak pihak yang merasa dizalimi atau menzalimi(Soetandyo,2002:448).
Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan danmenerapkan hukum serta melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution), bahkan penegakan hukum dalam arti yang lebih luas lagi, termasuk kegiatan penegakan hukum yang mencakup segala aktivitas yang bermaksud agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
Demi supremasi hukum, maka supremasi hukum tidak boleh ditawar-tawar. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia.Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia.
 Namun tidak berhenti sampai disitu saja, akan tetapi berkelanjutan dengan pembangunan elemen-elemen hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai bangunan hukum yang dapat menaungi kepentingan segenap elemen bangsa dan dilakukan penegakan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan memulihkan gangguan-gangguan yang timbul. Untuk itu semua, maka komitmen dari segenap elemen bangsa mutlak diperlukan untuk mendukung supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, agar kita tidak menjadi bangsa yang mengingkari dan bahkan menghianati pilihannya sendiri untuk bernegara dalam sebuah Negara hukum.[44]
Terlepas dari itu, penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon yang dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam  undang- undang narkotika yang mengaturnya, maka sesuai dengan pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari pada dari pada. perbuatan”  artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus di tetapkan undang-undang yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat di pidana jika ada aturan yang mengatur. Mengonsumsi Metilon bisa memaksa tubuh bekerja lebih cepat. Denyut jantung menjadi meningkat ke titik yang bisa membuat penggunanya mengalami palpitasi atau denyut jantung tidak teratur, bahkan setelah ia berhenti minum obat.[45]
Metilon sendiri merupakan suatu pengembangan dari senyawa alkaloid katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata edulis) yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman dan sekitarnya). . Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa perangsang sistem syaraf pusat, Jenis baru ini dinamakan Metilon, konon berasal dari tanaman yang bernama Khat, orang lebih mengenal tanaman ini dengan sebutan teh arab, dan beberapa orang sudah sering mengkonsumsi teh ini. Konon katanya teh ini membuat badan lebih fit dan tidak gampang capek.[46]
Berbicara masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya sesuai dengan rull yang ada.
Perkembangan hukum Indonesia harus berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.


B. KEBERADAAN SANKSI PIDANA BAGI PEMAKAI METILON
Dewasa ini maslah hukum pidana banyak dibicarakan dan menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada usaha untuk menyusun kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional. Usaha tersebut adalah usaha untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang yang merupakan peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai pada zaman sekarang ini.yang ternyata banyak pengaturan didalamnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 45 maupun degan kondisi dan situasi masyarakat pada saat ini.
Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah masalah pemidanaan. Bukan merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan hanya mengatur norma tanpa diikuti dengan suatu ancaman pidana. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalaninya, walaupun demikian sanksi pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk memberikan rasa derita. Meskipun pidana pada hakikatnya itu merupakan suatu nestapa, namun pemidanahan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Pemidanaan merupakan suatu proses, dan sebelum proses ini berjalan peranan hakim penting sekali karena dia yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa dalam kasus tertentu. Telah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai di pertanggung jawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility atau Criminal liability)
Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)
Adapun pada hukum pidana positif cara penerapan asas legalitas untuk semua hukuman adalah sama yaitu suatu hal yang menyebabkan timbulnya kritikan-kritikan terhadapnya. Pada mulanya hukum pidana positif memakai cara pertama (dalam hukum pidana Islam) untuk semua perbuatan pidana, namun hal ini menyebabkan para hakim tidak mau menjatuhkan hukuman berat terhadap perbutan yang tidak gawat setelah mereka mengingat aturan-aturan pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan demikian hukum pidana positif mengambil cara yang kedua (dalam hukum pidana Islam) yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum.
Dalam sejarahnya tidak menunjukkan perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum uulla poena sine praevia lege ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht. Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.    Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal  ituterlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan-aturan undang-undang.
2.    Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3.    Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
            Dalam menjatuhakan sanksi harus aturan-aturan dan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. P. 14 A. 2 dijelaskan “tidak seorang taupun dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan Negara.
          Menurut Mulyatno batas antara tafsiran extensief dan analogi dapat ditentukan sebagai berikut, dalam tafsiran extensief kita berpegang kepada aturan yang ada. Disitu ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang yang dibentuk. Dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita ialah: bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Sesungguhnya jika jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada satu perbuatan yang tertentu, bukan lagi aturan yang ada, tapi ratio, maksud, inti dari aturan yang ada.
          Ada perbedaan yang besar diantara keduanya ini, yaitu yang pertama masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu penggunaannya: karena itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti hlanya dengan cara interprestasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang. Yang kedua sudah tidak berpegang kepada aturan yan ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari padanya. Karena ini bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasar.
          Keberadana pemakai metilon tidak diatur dalam undang-undang narkotika No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, sehingga perlu ada peraturan baru atau perubahan peraturan yang  di dalamnya mengatur terntang keberadaan metilon,
Sehingga pemakai, pengidar dan yang memporoduksi barang tersebut bisa dijerat dan di adili. Agar supaya tercipta keadilan bagi seluruh rakyat in donesia. Hal ini tersirat dalam pasal  1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tersimpul “ tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) sebelum ada undang-undang yang mengatur tentang suatu perbuatan tersebut (asas legalitas) “ . Dari kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat dipidana apabila telah ada aturan yang menentukan dapat dihukum atau tidaknya suatu perbuatan tersebut, hal tersebut juga bermakna “lex temporis delicti” artinya suatu perbuatan pidana hanya dapat diadili menurut undang-undang pada saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud disini ialah undang-undang yang mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tudak berlaku surut (mundur).[47]
Berbicara masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya sesuai dengan rull yang ada.
          Perkembangan hukum Indonesia harus berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.
          Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa : dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Maka hal ini sesuai dengan  Asas Legalitas berdasarkan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali , artinya tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas ini tampak dari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP. Bahkan Utrech berpendapat bahwa jika ada tindak pidan tapi tidak ada aturan yang mengatur maka hal ini akan menyulitkan hakim pidana yang mengadili, apabila suatu perbuatan itu patut dipidana namun tidak dapat dipidana (tidak ada ketentuan pidanaya).



















BAB 1V
PENUTUP
A . KESIMPULAN
Tujuan dari penulisan sikripsi ini adalah untuk mengetahui keberadaan sanksi pidana terhadap pemakai metilon menurut undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotik dan memperdalam pengetahuan penulis mengenai proses peradilan terhadap pemakai metilon.
Dari hasil analis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya penulis dapat menyimpulka beberapa hal yang berkaitan dengan eksistensi sanksi pidana terhadap pemakai metilon.
1.        Penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon yang dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam  undang- undang narkotika yang mengaturnya, maka sesuai dengan pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari pada dari pada. perbuatan”  artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus di tetapkan undang-undang yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat di pidana jika ada aturan yang mengatur.
2.        Keberadaan sanksi pidana bagi pemakai metilon masih menjadi tanda tanya besar bagi kalabgan fraktisi hukum, karana tida ada satu pasalpun yang menyebut metilon bagian dari narkotika. Maka dalam hal ini, penerapan sanksi bagi pemakai, pengidar dan yang memproduksi metilon tidak bisa di kenakan sangsi pidana. Hal ini tersirat dalam pasal  1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tersimpul “ tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) sebelum ada undang-undang yang mengatur tentang suatu perbuatan tersebut (asas legalitas) “ . Dari kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat dipidana apabila telah ada aturan yang menentukan dapat dihukum atau tidaknya suatu perbuatan tersebut, hal tersebut juga bermakna “lex temporis delicti” artinya suatu perbuatan pidana hanya dapat diadili menurut undang-undang pada saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud disini ialah undang-undang yang mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tudak berlaku surut (mundur).
B.            SARAN
          Berbicara masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya sesuai dengan rull yang ada
          Perkembangan hukum Indonesia harus berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.
          Dari beberapa aturan dan peraturan yang ada saat ini perlu dadanya perubaha sesuai dengan perkembangan zaman, supaya melindungi hak-hak seluruh masyarakat indonesia seutuhnya. Untuk itu pemerintah harus segera meperbaiki tatanan hukum salah satunya:
1.    Pemerintah dalam hal ini (legeslatif, eksekutif dan yudikatif) harus fro aktif dalam membuat suatu aturan, agar supaya tidak terjadi keabsenan hukum untuk menjerat untuk menjerat seseorang ketika melakukan tidak pidana khususnya yang berkaitan dengan narkotika.
2.    Untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat indonisia, aparatur negara harus meberikan kepastian hukum kepada warganya  agar supaya tercipta suatu keadilan dalam dunia peradilan. Maka dalam hal ini, penegakan hukum harus sesuai dengan aturan-atuaran yang ada supaya tercipta yang namaya keadilan. Kemudian mengingat metilon merupakan obat zat baru yang membahayakan maka pemerintah harus bergeraka cepat untuk melindungi seluruh warga negara agar terhindar dari barang-barang terlarang tersebut dengan cara memper baharui aturan dan peratuan yang mengatur tentang obat-obatan ( metelon) supaya mempunyai legal formal.






[1] Perbedaan arti pembangunan hukum dan pembinaan hukum dikemukakan oleh Baharuddin Lopa, kejahatan korupsi dan penegakan hukum penerbit kompas,2001,jakarta, h. 132-133.
[2] Umar said sugiharto, penegakan hukum dan permasalahanya, jurnal dinamika hukum , fakultas hukum unisma, 2004. Hal  35
[4] Penjelasan UU No 35 tahun 2009 tentang  Narkotika
[5] http://bayu-setyaji.blogspot.com /2012/05/07. Pukul  09.00
[11] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.
[13] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal 109-110.
[14] Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 12
[16]http://zamrul.wordpress.com/2009/02/24/perbedaan-kejahatan-dengan-pelanggaran/#more-239

[19] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002, hlm.15-20
[24] aypratama.blogspot.com/2012/02
[26] CST. Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 97
[28]  Sianturi “asas-asas hukum pidana di indonisia dan penerapanya”alumni ahaem-patehaem jakarta 1989 h 59-63
[30] Hami.M.Hikmat.awas narkoba para remaja waspadalah. Grafitri Bandung 2007. h 6
[31] Penjelasan UU No 35 tahun 2009 tentang  Narkotika
[35] Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 12
[37] Adami chazawi, 2006, kemahiran dan keterampilan praktek hukum pidana, bayumedia publishing, malang hal. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar