BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat
tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diaharapkan. Manusia selalu
dihadapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar
sesamanya. Dalam keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga
keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Oleh
sebab itu reformasi hukum di Indonisia
merupakan jargon yang kian hari kian santer disuarakan dalam rangka melakukan
perbaikan hukum baik dalam arti pembangonan hukum maupun pembinaan hukum, di
dalam hukum maupun konstitusi itu terakumulasi ide-ide tentang keadilan,
inovasi, sanksi, pembebasan, perehabilitasian, dan pembaharuan bagi kehidupan
seseorang atau beberapa orang yang terlibat dalam suatu perkara hukum serta
kepentingan-kepentingam masyarakat bangsa dan negara.[1]
Penegakan ide-ide itu merupakan suatu
keharusan mutlak, sebab jika tidak, maka hakikatnya penegakan hukum itu tak
akan terjadi. Kegagalan ini berpijak pada persoalan kontras normatif dan
empiris yang terjadi. Pada dimensi teoritis noratif, ide-ide itu telah trumus
dengan orientasi makro tetapi tidak pada relita yang ada di dalam masyarakat.
Pada hukum yang responsif keabsahan
hukum didasarkan pada keadilan substansif dan aturan-aturan tunduk pada prinsif
dan kebijaksanaan. Diskrisi dilaksanakan mencapai tujuan. Paksaan lebih tampa
alternatif positif seperti iinsentif positif atau system kewajiban mandiri.
Moralitas yang tanpak adalah “moraliatas kerja sama”, sementara
aspirsi-aspirasi hukum dan politik berada dalam keadaan terpadu. Ketidakadilan
dinilai dalam ukuran dan kerugian-kerugian substantif dan di pandang sebagai
tumbuhnya masalah legitimasi. Kesempatan untuk berintegrasi diperluas melalui
integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial.[2]
Setiap
individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah lakunya diatur oleh
hukum, baik hukum adat di daerahnya maupun hukum yang telah diciptakan
pemerintah. Sebagai patokan hukum dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian
dalam kehidupan bermasyarakat. Tapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat
yang berusaha melanggar hukum. Dalam hal ini pemerintah telah berupaya
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial maka mutlak diperlukan penegak hukum dan
ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Norma dan
kaedah yang berlaku di masyarakat saat ini sudah tidak lagi dipatuhi dan
dihormati sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Untuk
itu masyarakat memerlukan hukum yang berfungsi sebagai pengatur segala tindak tanduk
manusia dalam masyarakat, oleh karena itu,dalam menjalankan fungsi hukum itu
pemerintah dapat menggunakan alat paksa yang lebih keras yaitu berupa
sanksi. Sanksi merupakan suatu akibat yang timbul diberikan dari
reaksi atas suatu perbuatan, contohnya sanksi pidana yang dapat juga diberikan
terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang saat ini merupakan hal yang perlu
sekali mendapat perhatian khusus mengingat dampak-dampak yang dapat ditimbulkan
dari penyalahgunaan narkotika tersebut. Narkotika adalah sejenis zat kimia atau
obat yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan.[3]
Berkembangnya suatu negara berarti begitu banyak hal yang
akan muncul dan masalah yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Masalah
penyalahgunaan narkoba sampai sekarang masih menjadi masalah yang memusingkan
kita semua ditinjau dari berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini merupakan suatu
kejutan baru dimana banyak tenaga ahli diberbagai bidang belum mampu menyikapi
atau mengantisipasi keadaan ini secara optimal. Akibatnya banyak generasi muda
yang terjerumus kedalam narkoba dan kehilangan masa depan. Pada awalnya
narkotika hanya digunakan sebagai alat bagi ritual keagamaan dan disamping itu
juga dipergunakan untuk pengobatan, adapun jenis narkotika pertama yang
digunakan pada mulanya adalah candu atau lazim disebut sebagai madat atau
opium. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk
hal-hal negatif, di dunia kedokteran narkotika banyak digunakan khususnya dalam
proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan zaman
juga, seseorang yang pada awalnya awam terhadap narkotika.
Kejahatan Narkotika telah bersifat tradisional yang
dilakukan oleh modus oprandi yang tinggi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak
hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna
meningkatkan muralitas dan kualitas sumberdaya manosia di Indonisia khususnya
bagi genersi penerus bangsa, meski demikian kejahatan penyalahgunaan narkoba
masih marak terjadi di masyarakat.
Narkotika adalah suatu zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, sintesis atau semi sintesis, apabila seseorang
menggunakannya atau mencobanya pasti akan ketagihan atau ketergantungan atau
bisa disebut juga kecanduan. Karena narkotika mempunyai unsur kecanduan atau
ketagihan maka kita harus waspada dalam bergaul terutama menghadapi para
pengedar narkotika. Banyak cara yang digunakan oleh pengedar agar barangnya
bisa laku, misalnya pengedar mendekati calon korbannya dengan memberi narkotika
secara gratis atau tidak membeli. Setelah korban menggunakan narkotika tersebut
maka korban akan ketagihan mengkonsumsi narkotika. Dengan demikian maka korban
akan mencari maupun membelinya berapapun harganya dan tidak akan mengingat
tentang resiko apapun yang akan ditanggungnya. Sebenarnya banyak resiko yang
disebabkan oleh narkotika, namun bagi pengguna narkotika resiko itu sama sekali
tidak dihiraukan.
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermamfaat
dan diperlukan untuk pengbatan tertentu, dan jika disalah gunakan atau
digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang
sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal
ini akan lebih merugikan jika di sertai dengan penyalaguaan dan peredaran gelap
narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan
nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan
nasional.[4]
Ditinjau dari berbagai aspek kehidupan masalah
penyalahgunaan obat terlarang sangat merugikan bagi generasi muda saat ini.
penyalahgunaan obat terlarang bisa berawal dari kenakalan remaja sendiri,
keluarga yang tidak harmonis, mengikuti tren, lingkungan sekitar, pergaulan
bebas, dan lain-lain. Narkoba terbagi atas dua macam yaitu narkotika dan
psikotropika. Walaupun sanksi hukum sudah ada namun semua itu tidak membuat
orang-orang sadar ataupun takut, kebanyakan orang-orang lebih suka melanggar,
karena mereka lebih mementingkan kesenangan sendiri dan tidak menghiraukan
sangsi yang akan mereka terima.
Kemudian
kalau berbicara mengenai metilon, metilon sendiri merupakan suatu pengembangan
dari senyawa alkaloid katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata
edulis) yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman
dan sekitarnya). Dan kabarnya tanaman ini banyak ditanam di daerah Jawa Barat.
Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa
perangsang sistem syaraf pusat, Jenis baru ini dinamakan Metilon, konon berasal
dari tanaman yang bernama Khat, orang lebih mengenal tanaman ini dengan sebutan
teh arab, dan beberapa orang sudah sering mengkonsumsi teh ini. Konon katanya
teh ini membuat badan lebih fit dan tidak gampang capek.[5]
Terlepas dari itu semua penerapan sanksi pidana
terhadap pemakai metilon yang dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam undang- undang yang mengaturnya, maka sesuai
dengan pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang
dapat dihukum, melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang
ada terlebih dahulu dari pada dari pada perbuatan” artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana
harus di tetapkan undang-undang yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang
dapat di pidana jika ada aturan yang mengatur. Mengonsumsi Metilon bisa memaksa
tubuh bekerja lebih cepat. Denyut jantung menjadi meningkat ke titik yang bisa
membuat penggunanya mengalami palpitasi atau denyut jantung tidak teratur,
bahkan setelah ia berhenti minum obat
Adapaun tujuan yang ingin
dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum,
menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi
penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan
memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi
hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan
ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat
kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht
mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve
belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang
sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala
in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan),
bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).[6]
Bahkan dalam hal ini menurut Jimly Asshiddiqie ada dua
belas ciri penting dari negara hukum untuk mencapai suatu keadilan diantaranya
adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan
kekuasaan, organ eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak.
peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi
manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan
transparansi dan kontrol sosial. Untuk uraian lebih lengkap dari beliau
silahkan [7]
Terlepas dari hal tersebut tujuan dari hukum itu sendiri
adalah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan dengan tercapainya ketertiban dalam
masyarakat, diharapkan kepentingn manusia akan terlindungi dalam mencapai
tujuannya,hukum berfungsi membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam
masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memcahakan masalah hukum sert
memelihara kepastian hukum. Utrecht,
berpendapat hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan
hidup manusia.
Kepastian hukum
disini diartikan sebagai harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna, yang
kemudian tersirat tugas lainnya yaitu agar hukum dapat menjaga agar dalam
masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri. Subekti berpendapat hukum itu mengabdi
pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya
dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam
keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.[8]
Aristoteles “Rhetorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan
hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak
adil. Menurut teori ini buku mempunyai tugas suci dan luhur, ialah keadilan
dengan memberikan tiap-tiap orang apa yang berhak dia terima yang memerlukan
peraturan sendiri bagi tiap-tap kasus. Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan
ada habisnya. Oleh karenanya Hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene
Regels”(Peratuaturan atau ketentuan-ketentyuan umum. Peraturan ini diperlukan
oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian Hukum, meskipun pad
asewktu-waktu dadapat menimbulkan ketidak adilan.[9]
Jadi untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat sesuai
dengan perubahan zaman, hal ini dapat terlihat jelas dalam tatanan peraturan
yang berlaku sejak era repomasi, yang mulai digulikan sejak tahun 1998
sesungguhnya diarahkan dalam pembentukan dalam peraturan rerundang-undangan
yang lama, yang sejatinya merupakan prodak hukum pada era pemerintahan belanda,
dengan perinsif perundang-undangan yang baru sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi, rasa keadilan dan budaya hukum pada masyarakat indonesia supaya
menciptakan bangsa Indonesia berdasarkan asas legalitas dan bukan pada
retorika.
Berbicara
masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai
dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini
legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai
dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan
agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya
sesuai dengan rull yang ada.
Perkembangan hukum Indonesia harus berdasarkan pada
kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak
mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat.
Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama
ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan
tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas
dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.
B.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang
diuraikan di atas bahwa penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon berdasarkan
uandang-undang No 35 tahun 2009 tentang metilon , mengigat metilon
tidakdiatur dalam undang-undang narkotika.
Berdasrakan
permasalahan di atas maka dapat dirumuskan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Apa
akibat hukum terhadap pemakai metilon?
2.
Bagai
mana keberadaan metilon dalam Undang-Undang no 35
tahun 2009 tentang Narkotika.
C.TUJUAN DAN
KEGUNAAN PENELITIAN
a.
Tujuan teoritis
1.
Untuk
merngetahui Apa akibat hukum terhadap pemakai metilon?
2.
Untuk memperdalam pengetahuan penulis Bagai mana keberadaan
metilon dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika
b.
Tujuan Praktis.
1.
Untuk mengetahui secara mendalam bahwa menurut pengalaman
empirik di Indonesia, Apa
akibat hukum terhadap pemakai metilon
2.
Untuk mendapatkan diskripsi kasus-kasus yang berkaitan
dengan para pengguna metilon yang tidak diatura dalam undang-undang narkotika.
c.
Kegunaan atau Manfaat Penelitian
Kegunaan
atau manfaat penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini, penulis bagi
dalam dua aspek, yaitu:
1.
Bagi Keilmuan
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu bagi perluasan wacana dan
pemenuhan referensi keilmuan bagi studi-studi hubungan internasional khusunya
dan masyarakat luas pada umumnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan
supremasi hukum.
2. Bagi Praktek
Penulis berharap dengan adanya penelitian ini, dapat
membantu para penegak hukum dan praktisi hukum seta masyrakat luas untuk lebih
memaksimalkan peranannya dalam mengawal demokrasi. Dan bagi pemerintah,
khususnya pemerintah Indonesia, dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
referensi bagi pihak terkait tersebut dalam mengelola demokratisasi beserta
implikasi-implikasinya.
C.
METODE PENELITIAN
a.
Jenis Dan Pendekatan Penelitian
Jenis
penelitian yang di gunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengkaji UU
RI No.35 tahun 2009 tentang narkotika.
Dengan
penggunaan penelitian yuridis nomatif ini, permasalahan diatas akan dikaji
melalui sejumlah peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut.
b.
Sumber Bahan Hukum
Jenis sumber bahan
hukum dalam penelitian ini bertumpu pada
berbagai hukum antara lain:
Bahan hukum primer
adalah: suatu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau
mutahir atau pengertia baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan
yang digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk kepastian hukum setelah berlakunya
Undang-Unadang RI No.35 tahun 2009
tentang narkotika, yang mengatur khusus tentang tindak pidana narkotika. Bahan
hukum yang di gunakan meliputi:
1.
KUHP
2.
KUHAP
3.
UU RI
No.35 tahun 2009 tentang narkotika.
4.
UU RI No. 5 tahun 1997
tentang psikotropika.
5.
PP No 44 tahun 2010
tentang prekursor badan pengawas obat dan makanan
Bahan hukum sekunder
yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi mengenai bahan primer. Bahan hukum
sekunder yang digunakan peneliti di dapat dari buku-buku, dukumen pendapat
pakar, artikel, jurnal serata bahan buku lainya yang di gunakan uantuk
mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon
menurut unadang-undang no 35 tahun 2009
tentang narkotika
Bahan
hukum tersier adalah suatu bahan yang dibrikan petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang nantinya akan digunakan oleh peneliti.
Sember
bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi sumber bahan hukum
primer dan sekunder dan sumber hukum tersier.
c.
Tehnik Penelusuran
Sumber Bahan Hukum
Teknik memperoleh
sumber bahan hukum dalam penulisan ini, penulis mempergunakan beberapa cara
dalam memperoleh bahan hukum. Diantaranya adalah dengan melakukan rujukan/ penelusuran dokumen dan penelusuran
pustaka dari berbagai sumbar mengenai pemakaian metilon. Setelah berlakunya unadang-undang no 35
tahun 2009 tentang narkotika.
d.
Tehnik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan
tehnik analisis dengan cara menganalisis isi (Content analysis) dari peraturan per-Uandang-Undangan, yaitu menganalisis penerapan
sanksi pidana terhadap pemakai metilon menurut
unadang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika
E.
SISTEMATIKA PENULISAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA.
Sistematika penulisan
hasil penelitian di bagi menjadi beberapa bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan
ini berisi uraian tentang:
a)
Latar belakang masalah
b)
Rumusan masalah
c)
Tujuan penelitian
d)
Mamfaat penelitian
e)
Metode penelitian
Dalam bab ini akan di
uraikan secara jelas tentang latar belakang eksistensi vonis hakim terhadap
tindak pidana korupsi.
BABA
11: KAJIAN PUSTAKA
a). Sanksi pemidanaan
b).
Narkotika
c). Kedudukan Metitilon dalam UU Narkotika
Teori-teori tersebut
akanmenguraikan secra rinci berdasarkan UU
RI No.35 tahun 2009 narkotika,
dan yang berkaitan di dalamya.
BAB
111: PEMBAHASAN
Bagian ini menyajikan
inti dari skripsi tentang:
a)
Apa
akibat hukum terhadap pemakai metilon?
b)
Bagai
mana keberadaan metilon dalam Undang-Undang no 35
tahun 2009 tentang Narkotika?
BAB 1V : PENUTUP
Dalam bab ini akan di simpulkan tentang hasil penelitian yang telah
dilakukan serta saran-saran yang mungkin bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
BAB 11
KAJIAN PUSTAKA
A . SANKSI
PIDANA
1. Pengertian dan Tujuan Sanksi Pidana
1. Pengertian dan Tujuan Sanksi Pidana
Sanksi pidana
adalah untuk nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan
melakukan tindak pidana.[10]
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang
pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang
sengaja dikena-kan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah
melakukan suatu tindak pidana.[11]
Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan
istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang diper-gunakan untuk semua jenis
sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana,
sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi
yang berkaitan dengan hukum pidana.[12]
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap
pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan
penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula
yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.
Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum
pidana), sengaja agar diberikan sebagi nestapa.[13]
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja
dikenakan kepada seorang yang melanggar ketentuan Undang-undang tidak hanya
dimaksudkan untuk memberikan penderitaan, kan tetapi bertujuan agar orang
tersebut merasa jera dan membuat pelanggar kembali hidup bermasyarakat sebagi mana
layaknya.[14]
Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana)
itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum
pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan
oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan
keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat
yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman
(pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang
ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau
perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.[15]
Menurut Herbert L Packer The
Limits of Criminal Sanction is Criminal punishment means simply and particular
disposition or the range or permissible disposition that the law authorizes (or
appears to authorize) in cases of person who have been judged through the
distinctive processes of the criminal
law to be guilty of
ceime.[16]
Pengertian Sanksi Pidana
dalam Black`s Law Dictionary Henry Campbell Black adalah punishment attached to conviction at crimes
such fines, probation and sentences adalah suatu pidana yang
dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat atau kejahatan seperti dengan pidana
denda, pidana pengawasan dan pidana penjara.[17]
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Pengertian Sanksi pidana adalah
pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan
suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan
oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang
dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak
pidana lagi.
Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak
terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan (Kriminology). Didalam Etiology
terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah) tentang sebab-sebab kejahatan antara
lain:[18]
1. Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C. Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada
orang jahat dari sejak lahir dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat
yang menyimpang dari orang-orang biasa.
2. Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne, aliran ini menolak aliran diatas dengan
mengeluarkan pendapat bahwa seseorang pada dasarnya tidak jahat, ia akan
berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak dan sifat masyarakat dimana
penjahat itu hidup.[19]
3. Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E.
Feri, aliran ini merupakan sintesa dari kedua aliran diatas
yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari factor-faktor individual dan
social. Persoalan ini menimbulkan bermacam-macam teori hukum pidana.
Sedangkan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan dikaitkan
dengan kesalahan pembuat, menentukan alasan pengenaan, bentuk dan lamanya
pidana yang dapat dijatuhkan. Tujuan pengenaaan pidana atau pemidanaan selalu
menjadi perdebatan para ahli hukum pidana,dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan
apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat menentukan dengan pasti
tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan pidana atau pemidanaan
itu.berbagai kritik tentang dasar moral dan kinerja hukum pidana dan sistem
peradilan pidana, dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana, juga
diorientasikan kepada tujuan-tujuan ini. Kegagalan menentukan hal ini,
menyebabkan hukum pidana kehilangan dasar moral keberlakuannya.
Mempertahankan keberadaan hukum pidana, baik dalam
masyarakat yang menganut tradisi common law system dan civil law system, sangat
minim.
Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan dasar, yaitu :
Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan dasar, yaitu :
1)
Retributivism dan
2)
Utilitarianism
Sekalipun kedua pandangan ini
umumnya diikuti dan dikembangkan dalam tradisi masing-masing, tetapi baik
negara-negara yang menganut common law
system maupun civil law
system,menjadikan kedua pandangan ini sebagai pangkal tolak penentuan tujuan
pengenaan pidana atau pemidanaan. Baik retributivism maupun utilitarianism
menjadi pangkal tolak dalam menentukan tujuan-tujuan pengenaan pidana atau
pemidanaan. Mengingat umumnya tujuan tersebut tidak dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan, maka para penulis menyebutnya sebagai “teori”. Teori-teori
pengenaan pidana atau pemidanaan merupakan hipotesis yang dirumuskan oleh para
ahli hukum pidana, mengenai esensi pengenaan pidana atau pemidanaan. Teori ini
yang kemudian dijadikan alasan mengapa negara mengenakan tindakan yang sifatnya
menderitakan (nestapa) terhadap seseorang tertentu.[20]
pengenaan pidana sebagai salah satu
fungsi pemerintahan suatu negara. Peletak dasar retributivism adalah Kant.
Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan
tujuan pemidanaan. Pada pokoknya, paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan
pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini umumnya
dijelaskan dengan teori “retributif” atau teori “pembalasan”. Teori ini diikuti
secara luas oleh para ahli hukum pidana.[21]
Van Bemmelen, misalnya mengatakan “pada dasarnya setiap
pidana adalah pembalasan”. Knigge mengatakan, “menghukum pada dasarnya adlah
melakukan pembalasan, dan hal itu bukan suatu hal yang jelek dalam dirinya
sendiri, melakukan pembalasan sebagai reaksi atas perilaku ysng melanggar norma
adlah hal yang teramat wajar” Berbeda halnya dengan utilitarianism yang
diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini terutama menentukan
bahwa, pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat
atau teori tujuan), dan bukan hanya sekadar membalas perbuatan pembuat.
Tujuan hukum pidana memberi system dalam bahan-bahan
yang banyak dari hukum: azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat
dimasukkan dalam satu system. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis
yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut
pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum. [22]
1.
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat
hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah
melindungi kepentingan –kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari
perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang
dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai
kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman,
ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.
2.
Salah satu kesimpulan dari seminar
kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana hendaknya
dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk
perlindungan masyarakat.
3.
Namun demikian, dalam perspektif Barat yang
kehidupan bersamannya lebih didasarkan pada paham-paham seperti individualisme
dan liberalisme. Konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana agaknya
cenderung diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam
kepentingan warga Negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai pemikiran barat
khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas. Sementara itu, ada
pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan diadakannya hukum
pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi bahwa hukum
pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi
kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit)
juga melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.
4.
Hukum pidana dilihat sebagai ilmu
kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan (Kriminology).
2. Macam-macam sanksi pidan
Mengenai landasan yuridis hukuman dan bentuk-bentuknya
telah dijelaskan dalam buku I KUHP bab ke-2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang
kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa
peraturan yaitu:[23]
a.
Reglemen penjara (Stb 1917 No.
708) dan telah diubah dengan LN 1948 No. 77.
b.
ordonasi pelepasan bersyarat (Stb
1917 No. 749)
c.
reglemen pendidikan paksaan (Stb
1917 741)
d.
UU No. 20 tahun 1946 tentang
pidana tutupan.
Macam-macam sanksi pidana pada dasarnya telah diatur dalam
buku 1 KUHP bab ke-2 dimulai dari pasal 10 sampai dengan pasal 43.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari:
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari:
1.
PidanaMati
Pidana mati merupakan hukuman yang
terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal
10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya
berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam
menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan
ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu
sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman
akan merasa takut apabila melakukan perbuatan-perbuatan kejam. Karena menyadari
akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah
dihapuskan darinya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer.
Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam KUHP
sendiri telah memberikan isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk
dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh
gegabah. Isyarat yang diberikan oleh KUHP agar pidana mati tidak terlalu mudah
dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang
diancam degan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya, yaitu
pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20
tahun penjara. Misalnya: dalam KUHP pasal 365 ayat (4), pasal 340 dan
lain-lain.
2.
Pidana Penjara.
Pidana
ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan
terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak
bisa bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat
serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara
minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (pasal 12 ayat (2)), dan dapat melebihi
batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam KUHP pasal 12 (3).
Dalam
hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib
menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan
pelaksanaan yang diatur dalam pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja bagi narapidana
penjara dapat juga dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan, kecuali bagi
narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam pasal 25 KUHP.
3.
Pidana Kurungan.
Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih
ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal
membawa peralatan. Hukuman kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling
sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Persamaan dan perbedaan antara pidana
penjara dan pidana kurungan,
Sedangkan
pidana tambahan terdiri dari:
1.
Pencabutan Hak-hak Tertentu.
Pencabutan
seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata
tidak diperbolehkan (pasal 3 BW). Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap
terpidana menurut pasal 35 ayat 1 KUHP hanya dierbolehkan pada hal-hal sebagai
berikut:
• Hak memegang jabatan
pada umumnya atau jabatan tertentu;
• Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
• Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
• Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
• Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
• Hak menjadi penasihat
umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
• Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
• Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
• Hak menjalankan mata
pencaharian.
Pada
perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat
seseorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan
penguasa lain untuk melakukan pemecatan tersebut.
2. Pidana Perampasan Barang Tertentu
Hukuman tambahan kedua, menurut pasal 39
berupa perampasan barang-barang milik terhukum dan tidak diperkenankan untuk
merampas semua barang milik terhukum. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas
melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi: a)
barang yang diperoleh dengan kejahatan, b) yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan, dan untuk lebih jelasnya hal tersebut telah dijelaskan dalam KUHP
pasal 39.
Untuk pelaksanaan pidana perampasan
barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara , dan bukan
untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat
putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah
penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita. Pada ketentuan
pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan
di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan kas
negara (42)
2.
Pidana Pengumuman Putusan Hakim.
Pidana
putusan hakim hanya bisa dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh
undang-undang, misalnya: pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Seperti
yang kita ketahui bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut
batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah
satu pidana. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi
ekstra dari suatu putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam
pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara
pengumuman tersebut.
Adapun
maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut adalah sebagai usaha preventif
untuk memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan
berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak
menjadi korban dari kejahatan tersebut.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak
yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar
tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan
yang dilakukan oleh terpidana.[24]
Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan
oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan
kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah
pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana
mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan. Teori
gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat.
Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga
tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya. Pidana
bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu
perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana
tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.
Menurut Vos”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus
kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu
takut lagi, karena sudah berpengalaman.”
3. Alasan dan Maksud
pemidanaan.
Pemidanaan merupakan upaya terakhir dan puncak dari proses penegakan
hukum, penjatuhan pidana ini tidak bisa terlepas dari tugas hakim sebagai
aparatur Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menjatuhkan
sanksi pidana terhadap siapa saja yang melanggar aturan hukum.[25]
Dalam hal menjatuhkan dan
menjalankan pidana yang mempunyai hak dan kewenangan untuk itu adalah Negara,
karena Negara adalah organisasi sosial yang tertinggi, yang bertugas dan
berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib atau ketertiban
dalam masyarakat, dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka wajar
jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan
dan menjalankan pidana terhadap orang yang terbukti telah melanggar larangan
dalam hukum pidana. Mengenai teori-teori pemidanaan atau teori hukum pidana yang akan diuraikan di sini adalah
teori-teori pemidanaan yang dapat dijadikan dasar atau pijakan bagi negara
melalui aparat penegak hukumnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana agar tujuan pidana dapat tercapai sebagaimana mestinya[26]
Dalam KUHP tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan
alasan pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP, hanya menyebutkan alasan
penghapusan pidana, Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan
penjelasan alasan penghapusan pidana, dibedakan menjadi: alasan pembenar; yaitu
alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar, dan alasan
pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.[27]
Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan
tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih
dalam tataran yang bersifat teoritis. Alasan pemidanaan
dapat di golongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai termasuk golongan
teori pembalasan, golongan teori tujuan, dan kemudian di tambah dengan golongan
teori gabungan.[28]
a.
Teori pembalasan (teori Absolut)
Teori
pembalasan merupakan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana, terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus di adakan pembalasan yang
berupa pidana. Tidak di per soalaka akibat pemidanaan bagi terpidana. Bahan
pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masalampau, maksudnya masa terjadinya
tindak pidana itu. Masa datang yang di maksud memperbaiki pelaku tindak pidana
tidak di persoalkan. Jadi seseorang pelaku tindak pidana mutlak harus dipidana
sesuai dengan tinka kesalahanya, teori pembalasan ini di bagi menjadi lima
bagian:
2.
Pembalasan berdasarkan tuntutan
mutlak dari ethica (moral-philossophie)
teori ini di kemukakan oleh Emanoel Kant yang
mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan
(etika) terhadap seseorang penjahat. Ahlih pilsafat ini mengatakan bahwa dasar
dari pemidanaan adalah tuntuatan mutalak dari hukum kesusilaan kepeda seorang
penjahat yang telah merugkan orang lain, sehubungan dengan itu, Kant mengatakan
selanjutnya “ walau besok dunia akan kiamat maka penjahat terakhir harus
menjalani pidananya”. Dalam bahasa teori ini di sebut sebagai berikut: een ethesche vergelding. (fiat justitian ruat coelum)
3.
Pembalasan “bersambut” (dialektis)
Teori
ini di kemukakan olah Hegel yang mengatakan bahwa huku adalah perujudan dari
kemerdekaan, sedangkan kejahata adalah merupakan tangtangan kepada hukum dan
keadilan. Karnaya ahli fisafat ini mengatakan untuk mempertahankan hukum yang
merupakan perujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahata-kejahatan secara
mutlak harus di lenyapkan dengan memberikan “ketidak adilan” (pidana) kepada
penjahat dalam bahasa asing teori ini di sebut sebagai “dealectische vergelding”
3.
Pembalasan demi “keindahan” atau
kepuasan (easthetisch)
Teori
ini di kemukakan oleh Herbart yang
mengatakan bahwa adalah merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketik puasan
masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat agar ketidak
puasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan
kembali, dalam bahsa asing di sebut sebagai “easthetische vergelding”
4.
Pembalasan sesuai dengan ajaran
tuhan (agama)
Teori
ini di kemukakan oleh Stahl yang di kemukakan bahwa kejahatan merupakan
pelanggaran terhadap pri keadfilan tuhan dan haru di tiadakan, karena mutlak
harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpilihnya pri-keadilan
tuhan ialah melalui kekuasaan yang diberikan tuhan kepada pengoasa negara.
5.
Pembalasan sebagai kehendak
manosia
Para sarjana dari mashab hukum alam yang
memandang negara sebagai hasil dari kehendak manosia, mendasarkan pemidanaan
juga sebagai peruwujudan dari kehendak manosia. Menurut ajaran ini adalah
merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan
menerima sesuatu yang jahat,
Menurut H. L. Packer, teori
ini berpendapat bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pilihan-pilahan
moralnya masing-masing. Jika pilihannya itu benar ia akan mendapat ganjaran
positif seperti pujian, sanjungan, penghargaan dan lain-lain begitu pula
sebaliknya jika “salah” maka ia harus bertanggung jawab dengan diberi hukuman
atau ganjaran yang negative.[29]
Jelas kiranya baik dari keempat teori
tersebut duluan, yang pada umumnya di kemukakan oleh para sarjana di jermana,
maupu dari teori tersebut terahir pada pokoknya mengotarakan beberapa dasar
pemidanaan yang merupakan tuntutan mutlak yang dalam perwujutanya merupakan
pembalasan terhadap penjahat.
b.
Teori tujuan ( teori relatif,
teori perbaikan)
Teor-teori yang termasuk golongan teori
tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan tergantung kepada tujuan pemidanaan
yaitu: untuk melindungi masyarakat atau pencegahan bagi terjadinya kejahatan.
Perbedaan dari beberapa teori yang ter masuk teori tujuan terletak pada caranya
untuk mencapai pada tujuan dan penilayan terhadap suatu pidana. Diancamkanya
suatu pidana dan dijatuhkanya suatu pidana, dimaksudkan untuk menakut-nakuti
callon penjahat atau penjahat yang bersangkutan untuk memperbaiki penjahat,
untuk menyingkirkan penjahat, menjamin ketertiban hukum dan prevensi umum.
Ditinjau dari tujuan pemidanaan maka
teori ini dapat di bagi menjadi empat:
1.
Pencegahan terjadinya kejahatan
dengan memberikan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti callon
penjahat, seseora yang akan melakukan kejahatanya apabila mengetahui adanya
ancaman pidana yang cukup berat daharpaka akan mengorungkan niatanya. Cara ini
ditujukan secara umum artinya kepada siapa saja agar takut melakukan kejahatan
yang dengan demikian disebut sebagai “prevensi umum”
Tetapi sejana lain berpendapat bahwa
cara menakut-nakuti itu hanyalah ditujukan kepada penjahat itu sendiri supaya
tidak melakukan kejahatan apabila berniat untuk itu atu tidak mengolagi apabila
telah melakukanya.
2.
Perbaikan atua “pendidikan” bagi
para pelaku tindak pidana.
Kepada para pelaku tindak pidana
kejahata diberikan “pendidikan” berupa pidana agar iya kelak dapat kembali
kelingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna.
Perkembangan dari teori ini iyalah agar dirumuskan suatu cara supaya pelaku
tindak pidana merasakan “pendidikan” sebagai pidana cara perbaikan penjahat di
kemukakan ada tiga macam yaitu: perbaikan intlektual, perbaikan moreel, dan perbaikan
juridis.
3.
Menyingkirkan pelaku tindak
pidan(penjahat) dari lingkungan.
Cara inilah kepada para pelaku
tindak pidana (penjahat) yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa
usaha menakut-nakuti, supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama,
bahkan jika perlu pidana mati. Dengan demikian iya akan tersingkirkan dari
pergaulan masyarakat.
4.
Menjamin ketertiban hukum (rechtsord)
Caranya adalah mengadakan
norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma tersebut,
negara menjatuhkan pidana, ancaman pidan akan bekerja sebagai ancaman
peringatan supaya mempunyai efek pencekahan bagi setiap orang yang akan
melakukan tindak pidan tersebut.
c.
Teori gabungan (vereenigings-theorie).
Kemudian
timbul golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori
pembalasan dengan teori tujuan yang di sebut sebagai teori gabungan, diantara
dua teori tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan yang saling meleng kapi di
antara dua teori. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa
kepuasan baik bagi hakim maupun penjahat itu sendiri di samping kepada
masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan
kejahatan yang telah di lakuakan.
Sarjana
hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda
hanya dikenal dengan satu istilah untuk keduanya, yaitu straf. Istilah
hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata,
administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit
yang berkaitan dengan hukum pidana. Tujuan hukum pidana tidak terus dicapai
dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa
tindakan-tindakan pengamanan. Pidana perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena
telah melanggar hukum (pidana). Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan
kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir
tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena
tindakan dapat berupa nestapa juga, tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana
dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.
B . NARKOTIKA
1. Pengertian Narkotika
Sebelum muncul istilah Narkoba,
sebenarnya narkotikalah yang pertama kali muncul kepermukaan. Narkotika secara
umum dapat diartikan suatu zat yang dapat merusak tubuh dan mental manosia
karena dapat merusak susunan syaraf pusat manosia. Dalam kamus bahasa indonesia
secara gamlang menyebutkan bahwa narkotika adalah heroin, sejenis obat bius.[30]
Narkotika merupakan zat atau obat
yang sangat bermamfaat dan diperlukan untuk pengbatan tertentu, dan jika
disalah gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat
menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat
khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika di sertai dengan
penyalaguaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang
lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya
akan dapat melemahkan ketahanan Nasional.[31]
Di dalam undang-undang Republik
Indonesia No. 22 tahun 1997tentang narkotika pada pasal 1 mendifinisikan bahwa
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintesis (buatan) maupun semisintetis (campuran) yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengorangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, serta dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan.
Menurut Soerdjono Dirjosisworo
mengatakan bahwa pengertian narkotika adalah Zat yang bisa menimbulkan
pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam
tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.
Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis
bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang
pembedahan, menghilangkan rasa sakit.[32]
2. Macam-macam Narkotika
Narkotika memiliki banyak jenis
dan macamnya yang sering disalah gunakan oleh para pecandu. Narkotika tersebut
antara lain seperti:[33]
1.
Opiat atau Opium
Opiat
atau opium adalah bubuk yang dihasilkan kangsung oleh tanaman yang bernama
poppy atau papaver somniferum di mana di dalam bubuk haram tersebut terkandung
morfin yang sangat baik untuk menghilangkan rasa sakit dan kodein yang
berfungsi sebagai obat antitusif. Getah opium mengandung phenantheren dan bila di proses secara kimiawi dapat menjadi bahan
obat yang sangat berbahayasebagai narkotika.
Tumbuhan
yang getah buahnya menghasilkan opium pertamakali tumbuh diasia kecil, china,
afrika, india dan dibudidayakan di negara balkan, colombia, hongaria, dan
didaerah segitiga emas (asia).
Opium
dapat dibagi kedalam beberapa macam:
a.
Opium mentah
Opium
mentah merupakan getah buah tanaman papaver somniferum yang membeku sendiri,
getah ini tidak diolah dengan matang. Oleh karena itu, pembungkusan dan
pengangakutan tidak terlalu memperhatikan kader murpinya.
Opium
mentah mempunyai mempunyai ciri sebagai berikut:
§ Bahan kental dan padat
§ Di dalam perdangangan gelap biasanya berbentuk empat persegi panjang
dengan lebar 8 sampai 15 cm, tebalnya sekitar 3 cm.
§ Opium mentah yang beredar biasanya memiliki berat antara 0,3 sampai 2
kg.
§ Warna coklat atau hitam
§ Warnanya khas opium, tidak enak seperti tembakau.
b.
Opium masak
Ada tiga macam opium
masak yakni:
§ Candu
Candu
berasal dari opium mentah yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi
narkotika yang menggiurkan. Pengolahanya biasanya dilakukan melalui pelarutan,
pemansan, dan peragian. Candu di olah dari opium yang ditambahkan bahan lain.
Namun kadang jugak sama sekali tidak di campur bahan lain hal itu tergantung
hal yang di inginkan.
§ Jicing
Jicing
adalah sisa-sisa candu yang telah diisap. Sisa-sisa tersebut kemudian diolah
dan dicampur dengan daun atau bahan lain. Namun, ada juga jicing yang asli
murni dari sisa-sisa candu tanpa campuran apapun.
§ Jicingko
Jacingko
sama dengan jacing yang telah diolah sedemikiar rupa sehingga lebih matang.
2.
Morfin
Mofrin
adalah alkoloida yang merupakan hasil ekstraksi serta isolasi opium dengan zat
kimia tertentu untuk penghilang rasa sakit atau hipnoanalgetik bagi pasien
penyakit tertentu. Dampak atau efek dari penggunaan morfin yang sifatnya
negatif membuat penggunaan morfin diganti dengan obat-obatan lain yang memiliki
kegunaan yang sama namun ramah bagi pemakainya.ciri-cirinya
§ Bentuk serbuk halus atau hablur jarum mengkilap. Bentuk hablur mirip
kristal, keras dan bening seperti kaca.
§ Berwarna putih atau hampir putih.
§ Tidak memiliki bau
§ Jika di jilat rasanya pahit.
3.
Heroin
Heroin
adalah keturunan dari morfin atau opioda semisintatik dengan proses kimiawi
yang dapat menimbulkan ketergantungan / kecanduan yang berlipat ganda
dibandingkan dengan morfin. Heroin dipakai oleh para pecandunya yang bodoh
dengan cara menyuntik heroin ke otot, kulit atau sub kutan atau pembuluh vena,
ciri-cirinya
§ Serbuk putih, kuning coklat, atau coklat.
§ Terkadang berbetuk granol (butiran padi)
§ Baunya mirip cuka
§ Bila dijilat rasanya pahit dan lida terasa tebal.
4.
Kokain atau Cocaine Hydrochloride.
Kokain
adalah bubuk kristal putih yang didapat dari ekstraksi serta isolasi daun coca
(erythoroxylon coca) yang dapat menjadi perangsang pada sambungan syaraf dengan
cara / teknik diminum dengan mencampurnya dengan minuman, dihisap seperti
rokok, disuntik ke pembuluh darah, dihirup dari hidung dengan pipa kecil, dan
beragam metode lainnya. Tanaman kokai Ciri-cirinya:
§ Perdu. Perdu adalah tumbuhan berkayu yang bercabang-cabang, tumbunya
rendah, dekat dengan permukaan tanah, tanaman perdu tidak memiliki batang yang
tegak.
§ Tingginya antara 2 sampai 3 meter.
§ Biasanya, umur tanaman ini mencapai 20 sampai 30 tahun.
§ Letak daunya berselianga, melekat pada tangkai batang.
§ Daunya bebentuk bulat panjang, agak pipih, jorong lidah tombak.
§ Wana daunya hijau kining dengan panjang 2 sampai 6 cm, lebat antara 1
sampai 2 cm.
§ Daunya tidak berambut dan mudah rapuh
§ Tulang daunya memiliki dua jenis:
·
Tulang daun rangkap
·
Tulang daun berbentuk garis yang
hampir sejajar jenis tulang dan daun, sejajarnya tidak terliahat jelas.
§ Bungaya kecil-kecil
§ Buahnya awalnya berwarna hijau kemudian menjadi merah dan keras.
§ Daun yang mudah mengandung kokai yang memiliki pengaruh narkotika.
Kenikmatan
menggunakan kokain hanya dirasakan sebentar saja, yaitu selama 1 sampai 4 menit
seperti rasa senang riang gembira, tambah pede, terangsang, menambah tanaga dan
stamina, sukses, dan lain-lain. Setelah 20 menit semua perasaan enak itu hilang
seketika berubah menjadi rasa lelah atau capek, depresi mental dan ketagihan
untuk menggunakannya lagi, lagi dan lagi sampai mati
5.
Ganja atau Mariyuana atau Kanabis
Mariyuana adalah tanaman semak atau
perdu yang tumbuh secara liar di hutan yang mana daun, bunga, dan biji kanabis
berfungsi untuk relaksan dan mengatasi keracunan ringan (intoksikasi ringan).
Zat getah ganja atau THC (delta-9 tetra
hidrocannabinol) yang kering bernama hasis, sedangkan jika dicairkan menjadi
minyak kanabasis. Minyak tersebut sering digunakan sebagai campuran rokok atau
lintingan tembakau yang disebut sebagai cimenk, cimeng, cimenx, joint, spleft,
dan sebagainya.
Daun ganja dapat memberikan pengaruh
serius tehadap sipemakai pengaruh daun ganja menyebabkan tubuh malas bergerak,
mata merah, rasangantuk yang sangat, tertawa tanpa sebab dan nafsu makan
bertambah.
Mengisab ganja dapat mengakibatkan
seseorang menjadi depresi, menimbulkan rasa ketakutan yang berlebihan, dan bila
sudah kecanduan dapat berakibat fatal seperti melemah daya pikir, merusak organ
tubuh yang vital (jantung, paru-paru dan hatinya ) serta merusak susunan syaraf
pusat sehingga pemakainya mengalami gangguan jiwa. Ciri-cirinya:
§
Termasuk tanaman perdu
§
Tingginya mencapai 3 sampai 4
meter.
§
Betuk daun
·
Tepinya bergerigik, mirip gergaji
·
Bagian bawahnya bebulu halus
·
Jumlah helai daun selalu ganjil,
seperti, 5,7,9 dan seterusnya
·
Memanjang dengan ujung yang lancip
·
Bila diremas-remas menimbulkan bau
tertentu
§ Bentuk buahnya :
·
Kecil-kecil seperti buah merica
·
Warnanya kecolat-coklatan
3. Sanksi Pidana dan Bagi
Pemakai Narkotika.
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi
pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah lain
yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana,
dan hukuman pidana.[34]
Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari "straf" dan istilah
"dihukum" yang berasal dari "wordt gestraf" merupakan istilah yang konvensional.
Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang
inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan
pidana untuk menggantikan kata "wordt
gestraf". Menurut Moeljatno , kalau "straf" diartikan
"hukuman" maka "strafrecht"
seharusnya diartikan sebagai "hukum hukuman". Istilah
"hukuman" yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas.[35]
Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam
bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,
moral, agama dan sebagainya. Oleh karena "pidana" merupakan istilah
yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang
dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan
Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu.
Dalam kamus "Black`s Law Dictionary" dinyatakan bahwa
punishment adalah :"any fine,
or penalty or confinement upon a person by authority of the law and the
judgement and sentence of a court, for some crime of offence committed by him,
or for his omission of a duty enjoined by law" (setiap
denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan
suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu
kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).
pemidanaan dimaksudkan untuk
memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu
juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan
yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking)
dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).[36]
Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention)
dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model
menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh
mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat
akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan
mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.
Dalam konteks hukum pidana pemberian sanksi bagi pelaku
tindak pidana seorang Hakim memiliki suatu peranan dan tanggung jawab yang
lebih besar lagi. Bahwa seorang Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh suatu keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Keyakinan Hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat
yang harus ada bagi proses lahirnya suatu pendirian hukum (vonis). Hakim tidak
boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada fakta atau
keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus, tapi harus betul-betul menyusun
keyakinannya terhadap berbagai fakta dan keadaan objektif tersebut dan
keyakinan bahwa terdakwa memang betul-betul bersalah. Sistem pembuktian pidana
seperti ini mengakibatkan walaupun bukti-bukti dalam suatu kasus sudah
bertumpuk-tumpuk, sudah memenuhi batas minimum pembuktian atau bahkan lebih,
jika Hakim tidak sampai pada keyakinannya terhadap kesalahan terdakwa maka
seharusnya ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa.
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi terdakwah
mengenai syrat-syarat putusan dalampemeiksaan perkara ditutur dalam KUHAP pasal
197 syrat-syarat tersebut dimua dalam sebuah putusan. Bebicar pertimbagan yang
dimuat dalam sutu putusan hakim ada beberapahal yang harus di muat:
a.
Pertimbagan (menimbang) dengan
mengotip isi tuntutan pidana.
b.
Pertimbangan (menimbang) dengan
mengotip pembelaan.
c.
Pertimbangan (menimbang) dengan
mengotip fakta-fakta yang didapet dalam persidangan.
d.
Pertimbangan (menimbang) tentang
tindak pidana yang didakwakan dengan rinci unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan.
e.
Pertimbangan (menimbang) tentang
fakta-fakta yang ada hubunganya dengan unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan.
f.
Pertmbangan-pertimbangan
lain-lainya dalam hubungannya dengan surat dakwaan.
g.
Pertimbangan tentang JPU dalam
surat tuntutan atau repliknya dan pendapat penasehat hukum dalam pleidooi
maupun dupliknya.
h.
Pertimbangan tuntutan pidana JPU.
i.
Pertimbangan tentang terbukti
tidaknya dakwaan.
j.
Pernyataan tentang kesalahan
terdakwah (wajib bila terbukti).
k.
Petimbangan tentang hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan (apabiala menurut majelis dakwaan terbukti).
l.
Pertimbangan tentang lain-lain,
misalnya tentang penahanan, mengenai barangbukti.[37]
Sehingga dari pertimbangan-pertimbangan itulah hakim dapat
memutus sesuai dengan keyakinanya berdasarkan fakta-fakta yang ada di
persidangan. Seorang Hakim hendaknya selalu mendengarkan hati nuraninya ketika
akan memutus suatu perkara. Apabila seorang Hakim belum sampai pada
keyakinannya maka hendaknya ia tidak menjatuhkan vonis terhadap terdakwa.
Apapun isi vonis yang hendak dibuatnya maka Hakim haruslah yakin akan apa yang
diputuskannya, apakah keyakinan terdakwa bersalah dengan menjatuhkan vonis
hukuman, ataupun keyakinan terdakwa tidak bersalah dan kemudian membebaskan
atau melepaskan terdakwa dari segala tuntuan hukum.
Akan tetapi Berdasrkan undang-undang no 35 tahun 2009
tentang narkotika, dalam pasal 127 sangksi pidana bagi penyalaguna narkotika
Pasal 127 ayat (1) setiap
penyalaguana:
a.
Narkotika golongan 1 bagi
dirisendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun:
b.
Narkotika golongan 11 bagi
dirisendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun:
c.
Narkotika golongan 11 bagi
dirisendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun:
Pasal
127 ayat (2) dalam memutus perkara sebagai mana yang di maksud pada ayat (1)
hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 54, pasal
55 dan pasal 130.
§ Bagian kedua rehabilitasi pasl 54.
“ Pecancu Narkotika dan
korban penyalaguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
§ Pasal 55 ayat (1) orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang di tunjuk oleh
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
§ Pasal 55 ayat (2) pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib
melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluaganya kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial yang di tunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
§ Pasal 55 ayat (3) ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagai
mana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah.
§ Pasal 130 ayat (1) didalam tindak pidana sebagai mana yang dimaksud
dlam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal
117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 123, pasal 124, pasal
125, pasal 126, dan pasal 129. Dilakukan olek korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengorusnya, pidan yang dapat di jatuhkan kepada korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagai
mana yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.
§ Pasal 130 ayat (2) selain pidana denda sebagai mana yang dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidan tambahan berupa:
a.
Pencabutan izin usaha; dan atau
b.
Pencabutan setatus badan hukum
Pasal
127 ayat (3) dalam hal penyalaguna sebagai mana yang di maksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalaguna narkotika,
penyalaguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Pasal
128
·
ayat (1) orang tua atau wali dari pecandu yang belu
cukup umur, sebagai mana yang di maksud dalam pasal 55 ayat (1) yang sengaja
tidak melapaor, dipidana dengan pidana paling lama 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Rp 100, 000,00 (seratus juta rupiah)
·
ayat (2) pencandu Narkotika yang belum
cukup umur dan telah di lapaorkan oleh orang tua atau walinya sebagai mana yang
di maksu pasal 55 ayat (1) tidak di tuntut pidana.
·
Ayat (3) Pecandu Narkotika yang
telah cukup umur sebagai mana yang di maksud pasal 55 ayat (2) yang sedang
mejalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter dirumah sakit
dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak di
tuntut pidana.
·
Ayat (4) Rumah sakit dan/atau
lembaga rehabilitasi medis sebagai mana yang di maksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang
ditetapkan oleh mentri.
Pasal
129 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milliar rupiah) setiap orang yang tanpak hak melawan hukum:
a.
Memiliki, menyimpan, mengoasai,
atau menyediakan Prekursur Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
b.
Memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurka Prekursur Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
c.
Menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi pelantara dalam jual beli, menokar, atau menyerahkan
Prekursor narkotika untuk pembutan Narkotika;
d.
Membawa, mengirim, mengangkut,atau
mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Dari beberapa pasal diatas menunjukan behwa sanksi bagi
penyala guna Narkotika tergantung pada besar kecilnya kesalaha yang dilakuakan
oleh pelaku tindak pidana narkotika, sesuai dengan tingkat kesalahanya.
C. PENGERTIAN METILON DAN
AKIBAT METILON
1. Pengertian Metilon.
Metilon merupakan suatu pengembangan dari senyawa alkaloid
katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata edulis)
yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman dan sekitarnya),
Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa
perangsang sistem syaraf pusat.[38]
katinon memiliki suatu gugus keton disana. Efek farmakologi dari katinon
sendiri sama juga dengan amfetamin yaitu perangsang sistem syaraf pusat dengan
cara meningkatkan pengeluaran katekolamin. Katekolamin sendiri adalah suatu istilah
yang digunakan untuk merujuk sekolompok hormon yang memiliki gugus katekol
(orto hidroksi fenol). Jika katekolamin ini banyak keluar maka akan dapat
mengurangi depresi, mengontrol kegemukan (nafsu makan turun), mengurangi
kelelahan, dan meningkatkan semangat. Me-til-on yang mempunyai rumus molekul
C11H13NO3 dan Ka-tin-on yang mempunyai rumus molekul C9H11NO. Me-til-on ini
merupakan turunan dari katinon.
Metilon, sebagai turunan dari katinon sintetis, sangat
mirip dengan ekstasi (MDMA). Sedikit perbedaan hanya pada gugusan belakang
konfigurasi struktur kimianya. Bila ekstasi (MetilDioksiMetamfetamin) gugusan
belakangnya adalah amfetamin, maka metilon (MetilenDioksiMetilKatinon) gugusan
belakangnya adalah katinon. Efek kedua zat ini sama bahkan dikatakan metilon
lebih dahsyat.[39]
Ekstasi (MDMA) adalah zat adiktif yang merupakan
psikostimulan susunan syaraf pusat (otak). Efeknya bisa menimbulkan rasa segar,
gairah, gembira bertaraf euforia yang bisa sampai ekstase. Zat berbentuk tablet
keras ini dipakai dengan cara diminum dengan aqua yang tersedia di
diskotik-diskotik. Biasanya dengan mendengarkan “house music” bertempo ritme
tinggi karena “dibelakang” musik itu ada musik lain yang lebih indah yang hanya
bisa dinikmati dengan menenggak MDMA itu. Karena itu termasuh “party drug”,
beda dengan heroin yang dinikmati dengan menyendiri dalam suasana sepi di
kamar. Ekstasi dipakai oleh orang-orang kalangan atas yang sudah bosan dengan
berbagai kesenangan dan kegembiraan, dan ingin suatu kegembiraan yang lebih tinggi
lagi yang bisa dicapai dengan menenggak MDMA ini.
Ekstasi bisa meningkatkan kadar neurotransmiter serotonin
sekaligus dopamin sehingga menimbulkan kegembiraan luar biasa bertaraf ekstase,
tapi sekaligus juga dengan ilusi warna warni dan halusinasi penglihatan dan
pendengaran yang indah-indah menakjubkan. MDMA ini bisa menggairahkan seks,
tapi kenikmatan memakai ekstasi sudah melebihi orgasme sehingga biasanya para
pemakainya yang lagi “tripping” sudah ogah atau tak terpikir untuk melakukan
hubungan seksual. Para penggunanya biasa pindah-pindah tempat hiburan malam
bila efek ekstasi menurun, lalu menenggak lagi dengan aqua sampai pagi.
Penuturan pasien-pasien saya, laki-laki bisa kuat 4 tablet ekstasi semalam,
sedang wanita baru 2 tablet biasanya sudah jatuh menggelepar dan dibawa ke UGD
RS dini hari. Semua efek MDMA ini terdapat pada metilon bahkan dikatakan lebih
kuat lagi.
Dampak buruk ekstasi bagi fisik dan mental, tentunya
metilon lebih buruk lagi, adalah tekanan darah meningkat tinggi sampai stroke,
geraham gemeretak, depresi berat dan rasa hampa pagi harinya sampai ingin bunuh
diri, anoreksia, sulit tidur, halusinasi-halusinasi mengerikan esok paginya,
dan gangguan irama jantung. Kematian terbanyak karena aritmia kordis ini.
Bedanya dengan heroin, bila heroin harus dipakai tiap hari beberapa kali
suntik, sedang ekstasi seperti juga sabu bisa beberapa hari sekali, bahkan
seminggu sekali.
2. kedudukan Metilon dalam
Undang-undang Narkotika
Kemudian
kalau berbicara mengenai metilon, metilon sendiri merupakan suatu pengembangan
dari senyawa alkaloid katinon yang ditemukan pada tumbuhan khat (Chata
edulis) yang berasal dari Afrika (Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman
dan sekitarnya). Dan kabarnya tanaman ini banyak ditanam di daerah Jawa Barat.
Katinon sendiri memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa
perangsang sistem syaraf pusat, Jenis baru ini dinamakan Metilon, konon berasal
dari tanaman yang bernama Khat, orang lebih mengenal tanaman ini dengan sebutan
teh arab, dan beberapa orang sudah sering mengkonsumsi teh ini. Konon katanya
teh ini membuat badan lebih fit dan tidak gampang capek.[40]
Terlepas dari itu semua penerapan sanksi pidana
terhadap pemakai metilon yang dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam undang- undang narkotika yang mengaturnya,
maka sesuai dengan pasal 1 kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu
perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terlebih dahulu dari pada dari pada perbuatan” artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus
di tetapkan undang-undang yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang
dapat di pidana jika ada aturan yang mengatur. Mengonsumsi Metilon bisa memaksa
tubuh bekerja lebih cepat. Denyut jantung menjadi meningkat ke titik yang bisa
membuat penggunanya mengalami palpitasi atau denyut jantung tidak teratur,
bahkan setelah ia berhenti minum obat.
Adapaun tujuan yang ingin
dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum,
menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi
penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan
memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi
hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan
ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat
kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E
Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya
pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam
peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah
konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena
adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan
karena tercela).[41]
BAB 111
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN
METILON DALAM UNDANG-UNDANG NARKOTIKA.
Dalam kehidupan,
hukum saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang
pertama tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih
diwarnai nuansa kolonial. Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa
untuk membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat
undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai
yang eksak, pasti dan steril.[42]
Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak
menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum ini
memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori
dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara
norma dan fakta sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering
membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara
mendalam. Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan
menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja. Castberg F.
memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini,
yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai
suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang
dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realitas.
Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang didasarkan pada
fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan kesadaran akan
kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat
psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti digambarkan
Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein. Suatu kenyataan
bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu sama lain.
Persepsi Normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa
yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang
sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita
sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan,
janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan. Janganlah peraturan hukum itu
diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila yang demikian terjadi maka
sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang demikian
itu setiap hari dibuktikan kebohongannya. Agar tidak termakan oleh mitos-mitos
itu maka kita harus mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat.
Fakta sosial yang ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya
melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan
pemikiran spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian
empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam
mempelajari obyek studi. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan
penyelidikan sosiologi.
Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang
berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu
pengetahuan. Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur
karena norma hukum adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan
fakta sosial yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang
sesuatu, tidak dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.
Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum
telah dijadikan sebagai aturan main (fair
play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara
ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya.[43]
Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah sentral dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.Masalah itu
muncul oleh karena adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sen, dimana
Negara mengklaim sebagai Negara hukum demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping dan
penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati dan penegakan
hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di persimpangan jalan
panjang.
Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak
terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi
hukum dan tujuan hukum, yang sebesar-besarnya buat kemanfaatan, kebahagiaan dan
kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Abdul Manan (2009:189), menyatakan bahwa supremasi hukum merupakan doktrin
sentral yang menjadi reason of existence hukum Eropa Barat. Secara embrio
doktrin supremasi hukum sudah mulai berkembang sejak abad VII M.
Lebih lanjut dikatakan bahwa term dan doktrin supremasi
hukum telah dikenal sejak abad XI M, bahkan jauh sebelum itu pada abad VI M,
Islam telah membawa misi reformasi besar untuk menegakkan supremasi hukum yang
mengacu kepada upaya penciptaan kedamaian dan kesejahtraan yang mengantarkan
manusia secara individu dan masyarakat sukses dan bahagia menjalani kehidupan
dan selamat bahagia hidup di akhirat kelak (Abdul Manan,2009:190).
Prinsip Negara hukum mengajarkan bahwa komunikasi dan
interaksi sosial yang terdiri dari berbagai elemen komunitas berinteraksi dan
bertransaksi untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Bahwa tatanan
kehidupan dan komunikasi antar individu dalam suatu komunitas mengacu kepada
aturan main yang disepakati dan dipakai sebagai acuan dan referensi para pihak
dalam melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Tidak pihak yang merasa dizalimi
atau menzalimi(Soetandyo,2002:448).
Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan danmenerapkan hukum serta melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum,
baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts
resolution), bahkan penegakan hukum dalam arti yang lebih luas lagi, termasuk
kegiatan penegakan hukum yang mencakup segala aktivitas yang bermaksud agar
hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek
hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar
ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
Demi supremasi hukum, maka supremasi hukum tidak boleh
ditawar-tawar. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang
mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus
difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia.Bukan justru dengan cara yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi
manusia.
Namun tidak berhenti
sampai disitu saja, akan tetapi berkelanjutan dengan pembangunan elemen-elemen
hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai bangunan hukum yang dapat
menaungi kepentingan segenap elemen bangsa dan dilakukan penegakan untuk
menciptakan suasana yang kondusif dan memulihkan gangguan-gangguan yang timbul.
Untuk itu semua, maka komitmen dari segenap elemen bangsa mutlak diperlukan
untuk mendukung supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, agar kita
tidak menjadi bangsa yang mengingkari dan bahkan menghianati pilihannya sendiri
untuk bernegara dalam sebuah Negara hukum.[44]
Terlepas dari itu, penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon yang
dalam hal ini tidak ada satu pasal dalam
undang- undang narkotika yang mengaturnya, maka sesuai dengan pasal 1
kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang dapat dihukum,
melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih
dahulu dari pada dari pada. perbuatan”
artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus di tetapkan undang-undang
yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat di pidana jika ada
aturan yang mengatur. Mengonsumsi
Metilon bisa memaksa tubuh bekerja lebih cepat. Denyut jantung menjadi
meningkat ke titik yang bisa membuat penggunanya mengalami palpitasi atau
denyut jantung tidak teratur, bahkan setelah ia berhenti minum obat.[45]
Metilon
sendiri merupakan suatu pengembangan dari senyawa alkaloid katinon yang
ditemukan pada tumbuhan khat (Chata edulis) yang berasal dari Afrika
(Ethiopia) dan Semenanjung Arab (Yaman dan sekitarnya). . Katinon sendiri
memiliki kemiripan struktur dengan amfetamin, suatu senyawa perangsang sistem
syaraf pusat, Jenis baru ini dinamakan Metilon, konon berasal dari tanaman yang
bernama Khat, orang lebih mengenal tanaman ini dengan sebutan teh arab, dan
beberapa orang sudah sering mengkonsumsi teh ini. Konon katanya teh ini membuat
badan lebih fit dan tidak gampang capek.[46]
Berbicara
masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai
dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini
legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai
dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan
agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya
sesuai dengan rull yang ada.
Perkembangan hukum Indonesia harus berdasarkan pada
kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak
mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat.
Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama
ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan
tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas
dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.
B. KEBERADAAN SANKSI PIDANA BAGI PEMAKAI METILON
Dewasa ini maslah hukum pidana banyak
dibicarakan dan menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan
bahkan ada usaha untuk menyusun kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional.
Usaha tersebut adalah usaha untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan
yang ada dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang yang
merupakan peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai
pada zaman sekarang ini.yang ternyata banyak pengaturan didalamnya yang sudah
tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 45 maupun degan kondisi dan
situasi masyarakat pada saat ini.
Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana
adalah masalah pemidanaan. Bukan merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan
hanya mengatur norma tanpa diikuti dengan suatu ancaman pidana. Pidana yang
dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus
dijalaninya, walaupun demikian sanksi pidana bukanlah semata-mata bertujuan
untuk memberikan rasa derita. Meskipun pidana pada hakikatnya itu merupakan
suatu nestapa, namun pemidanahan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Pemidanaan merupakan suatu proses, dan sebelum
proses ini berjalan peranan hakim penting sekali karena dia yang menjatuhkan
pidana kepada terdakwa dalam kasus tertentu. Telah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana
pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana adalah norma yang tidak
tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai di
pertanggung jawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility atau Criminal
liability)
Namun sebelum itu, mengenai dilarang
dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri,
mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas yaitu asas
yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya
asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak
ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)
Adapun pada hukum pidana positif cara
penerapan asas legalitas untuk semua hukuman adalah sama yaitu suatu hal yang
menyebabkan timbulnya kritikan-kritikan terhadapnya. Pada mulanya hukum pidana
positif memakai cara pertama (dalam hukum pidana Islam) untuk semua perbuatan
pidana, namun hal ini menyebabkan para hakim tidak mau menjatuhkan hukuman
berat terhadap perbutan yang tidak gawat setelah mereka mengingat aturan-aturan
pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan demikian
hukum pidana positif mengambil cara yang kedua (dalam hukum pidana Islam) yaitu
dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam menentukan
tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum.
Dalam sejarahnya tidak menunjukkan
perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum
pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum
uulla poena sine praevia lege ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum
pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi
dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht. Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.
Tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal ituterlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan-aturan undang-undang.
2.
Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3.
Aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.
Dalam
menjatuhakan sanksi harus aturan-aturan dan undang-undang jadi aturan hukum
tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana
dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam
perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa
perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab
disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah
diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang-orang
tertentu dan sementara saja. P. 14 A. 2 dijelaskan “tidak seorang taupun
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali karena aturan hukum yang
sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah
aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak
tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan
Negara.
Menurut
Mulyatno batas antara tafsiran extensief dan analogi dapat ditentukan sebagai
berikut, dalam tafsiran extensief kita berpegang kepada aturan yang ada. Disitu
ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat
sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang yang dibentuk. Dalam
menggunakan analogi, pangkal pendirian kita ialah: bahwa perbuatan yang menjadi
soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Sesungguhnya jika jika
digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada satu
perbuatan yang tertentu, bukan lagi aturan yang ada, tapi ratio, maksud, inti
dari aturan yang ada.
Ada
perbedaan yang besar diantara keduanya ini, yaitu yang pertama masih tetap
berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada
perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu penggunaannya: karena
itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti hlanya dengan cara interprestasi
yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang. Yang kedua sudah
tidak berpegang kepada aturan yan ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari
padanya. Karena ini bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini
mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasar.
Keberadana
pemakai metilon tidak diatur dalam undang-undang narkotika No. 35 tahun 2009
tentang narkotika, sehingga perlu ada peraturan baru atau perubahan peraturan
yang di dalamnya mengatur terntang
keberadaan metilon,
Sehingga pemakai, pengidar dan yang memporoduksi
barang tersebut bisa dijerat dan di adili. Agar supaya tercipta keadilan bagi
seluruh rakyat in donesia. Hal ini tersirat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
tersimpul “ tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) sebelum ada
undang-undang yang mengatur tentang suatu perbuatan tersebut (asas legalitas) “
. Dari kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat dipidana
apabila telah ada aturan yang menentukan dapat dihukum atau tidaknya suatu
perbuatan tersebut, hal tersebut juga bermakna “lex temporis delicti”
artinya suatu perbuatan pidana hanya dapat diadili menurut undang-undang pada
saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud disini ialah undang-undang yang
mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tudak berlaku surut
(mundur).[47]
Berbicara
masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah setatis melainka dinamis sesuai
dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab itu pemerinta yang dalam hal ini
legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus mempuyai prodak hukum yang sesuai
dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman pada saat ini. Hal ini dimaksukan
agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah zaman agar segal sesuatunya
sesuai dengan rull yang ada.
Perkembangan hukum
Indonesia harus berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan
penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada
yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih
banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan
yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud
apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya
tanpa campur tangan kekuasaan.
Dari pernyataan
diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan
bahwa : dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada
undang-undang yang mengaturnya. Maka hal ini sesuai dengan Asas Legalitas
berdasarkan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ,
artinya tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Asas ini tampak dari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP. Bahkan Utrech berpendapat bahwa jika ada tindak pidan tapi tidak
ada aturan yang mengatur maka hal ini akan menyulitkan hakim pidana yang
mengadili, apabila suatu perbuatan itu patut
dipidana namun tidak dapat
dipidana (tidak ada ketentuan pidanaya).
BAB 1V
PENUTUP
A . KESIMPULAN
Tujuan dari penulisan sikripsi ini adalah untuk mengetahui
keberadaan sanksi pidana terhadap pemakai metilon menurut undang-undang No.35
tahun 2009 tentang Narkotik dan memperdalam pengetahuan penulis mengenai proses
peradilan terhadap pemakai metilon.
Dari hasil analis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya
penulis dapat menyimpulka beberapa hal yang berkaitan dengan eksistensi sanksi
pidana terhadap pemakai metilon.
1.
Penerapan sanksi pidana terhadap pemakai metilon yang dalam
hal ini tidak ada satu pasal dalam
undang- undang narkotika yang mengaturnya, maka sesuai dengan pasal 1
kitab undang-undang hukum pidana “ tidak suatu perbuatan yang dapat dihukum,
melainkan atas ketenyuan-ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih
dahulu dari pada dari pada. perbuatan”
artinya bahwa ketentuan ketentuan pidana harus di tetapkan undang-undang
yang syah, dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat di pidana jika ada
aturan yang mengatur.
2.
Keberadaan sanksi pidana bagi
pemakai metilon masih menjadi tanda tanya besar bagi kalabgan fraktisi hukum,
karana tida ada satu pasalpun yang menyebut metilon bagian dari narkotika. Maka
dalam hal ini, penerapan sanksi bagi pemakai, pengidar dan yang memproduksi
metilon tidak bisa di kenakan sangsi pidana. Hal ini
tersirat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
tersimpul “ tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) sebelum ada
undang-undang yang mengatur tentang suatu perbuatan tersebut (asas legalitas) “
. Dari kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat dipidana
apabila telah ada aturan yang menentukan dapat dihukum atau tidaknya suatu
perbuatan tersebut, hal tersebut juga bermakna “lex temporis delicti”
artinya suatu perbuatan pidana hanya dapat diadili menurut undang-undang pada
saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud disini ialah undang-undang yang
mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tudak berlaku surut
(mundur).
B.
SARAN
Berbicara masalah perkembangan hukum, Hukum tidaklah
setatis melainka dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada, oleh sebab
itu pemerinta yang dalam hal ini legeslaif, eksekutif dan yudikatif harus
mempuyai prodak hukum yang sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kemajuan zaman
pada saat ini. Hal ini dimaksukan agar pemerintah tidak ketinggal denga perubah
zaman agar segal sesuatunya sesuai dengan rull yang ada
Perkembangan
hukum Indonesia harus berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan
penguasa. Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada
yang berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih
banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan
yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud
apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya
tanpa campur tangan kekuasaan.
Dari beberapa aturan dan
peraturan yang ada saat ini perlu dadanya perubaha sesuai dengan perkembangan
zaman, supaya melindungi hak-hak seluruh masyarakat indonesia seutuhnya. Untuk
itu pemerintah harus segera meperbaiki tatanan hukum salah satunya:
1.
Pemerintah dalam hal ini
(legeslatif, eksekutif dan yudikatif) harus fro aktif dalam membuat suatu
aturan, agar supaya tidak terjadi keabsenan hukum untuk menjerat untuk menjerat
seseorang ketika melakukan tidak pidana khususnya yang berkaitan dengan
narkotika.
2.
Untuk menciptakan keadilan bagi
seluruh rakyat indonisia, aparatur negara harus meberikan kepastian hukum
kepada warganya agar supaya tercipta
suatu keadilan dalam dunia peradilan. Maka dalam hal ini, penegakan hukum harus
sesuai dengan aturan-atuaran yang ada supaya tercipta yang namaya keadilan.
Kemudian mengingat metilon merupakan obat zat baru yang membahayakan maka
pemerintah harus bergeraka cepat untuk melindungi seluruh warga negara agar
terhindar dari barang-barang terlarang tersebut dengan cara memper baharui
aturan dan peratuan yang mengatur tentang obat-obatan ( metelon) supaya
mempunyai legal formal.
[1] Perbedaan arti pembangunan hukum dan pembinaan hukum dikemukakan oleh
Baharuddin Lopa, kejahatan korupsi dan
penegakan hukum penerbit kompas,2001,jakarta, h. 132-133.
[2] Umar said sugiharto, penegakan
hukum dan permasalahanya, jurnal dinamika hukum , fakultas hukum unisma,
2004. Hal 35
[4] Penjelasan UU No 35 tahun 2009 tentang
Narkotika
[5] http://bayu-setyaji.blogspot.com
/2012/05/07. Pukul 09.00
[9] http://velanthin.blogspot.com/2011/03
/selasa, pukul 06,24
[11] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 2005), hal. 1.
[14] Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam
Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 12
[19] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta, 2002, hlm.15-20
[24] aypratama.blogspot.com/2012/02
[26] CST. Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9,
Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 97
[28] Sianturi “asas-asas hukum pidana di indonisia dan penerapanya”alumni
ahaem-patehaem jakarta 1989 h 59-63
[30] Hami.M.Hikmat.awas narkoba para
remaja waspadalah. Grafitri Bandung 2007. h 6
[31] Penjelasan UU No 35 tahun 2009 tentang
Narkotika
[35] Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam
Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 12
[37] Adami chazawi, 2006, kemahiran dan keterampilan praktek hukum
pidana, bayumedia publishing, malang hal. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar